Chereads / Menikah dengan Om Genit di Masa Depan / Chapter 8 - Wejangan dari mama mertua

Chapter 8 - Wejangan dari mama mertua

"Yoga aja, Ma! Disamping rumah!" Kania menjawab setengah berbisik. Ragu dia mengucapkan panggilan mama tersebut untuk kata Oma atau justru untuk kata mama.

"Huu, udah mulai bentuk badan lagi ya! Yoga bagus sih, aku juga pilih itu dulu habis lahiran." Kali ini Marsha yang memberikan komentar. "Tapi hati-hati lo, jangan milih olahraga yang terlalu berat. Nanti bisa pendarahan bahaya."

"Tapi bagi mama kalau bisa kamu janganlah membentuk badan cepat-cepat. Kasihan nanti asi Mikaela terhambat. Olahraga boleh, diet jangan ya?!"

Kania hanya senyum-senyum saja menghadapi kecanggungan tersebut. tidak tahu harus bertingkah seperti apa. beruntung dari halaman rumah Kania mendengar suara mobil dari Genta. Kania langsung menghampiri suaminya tersebut.

"Om, ada mamanya Om!" bisik Kania pada laki-laki itu.

Genta menaikkan alisnya kemudian melirik mobil yang terparkir di halaman rumah. "Sama yang lain juga ya?" tebak Genta.

Kania menganggukkan kepalanya dengan matanya yang meminta bertolongan. Seperti biasa Genta memberikan senyuman manis menenangkan Kania. Meletakkan tangannya di bahu perempuan itu kemudian mengusapnya. Seolah memberikan isyarat Genta ada untuk melindunginya. Ia akui itu sangat membantu.

"Duh pasangan ini, patut dicontoh nih. Suami pulang langsung disamperin." Marsha sekali lagi berkomentar tidak lupa memberikan kedipannya.

Genta berdecak kecil sebagai tanggapan kemudian menyalami ibunya tersebut. "Kenapa enggak bilang sih mau kesini?"

"Apalagi Mas, mama kangen sama cucunya." Talitha menjawab.

"Cucunya yang itu ada!" ujar Genta merujuk pada Ezra.

"Apalah daya Om. Udah lama kasta sebagai cucu kesayangan aku digantikan. Memang gitu nasib jadi cucu tertua." Ezra berujar sekenanya sambil memakan cemilan yang sudah disiapkan bibi untuk tamu di rumah tersebut.

"Yang lain mana?" tanya Genta merujuk pada keponakannya yang lain dan para iparnya yang tidak Genta temui wajahnya..

"Yang sopir aja Om yang diajak. Selebihnya sama bapaknya." Sekali lagi Ezra berkata. Kania dan Genta hanya tersenyum mendengar perkataan itu.

"Ini kapan nih papanya Mikaela dapat giliran menggendong anaknya." Genta berkomentar lagi pada keluarganya yang mengerubungi bayi gembul empat bulan itu.

"Gantian dong, Ta. Kamu kan udah sering. Mama jarang-jarang," ujar mamanya membawa sang cucu untuk duduk. Karena berat Mikaela tidak kuat lagi untuk wanita tua itu mengangkat-angkat cucunya lama-lama.

"Aku siapin lagi makanan untuk … mama dan Aunty." Kania ragu-ragu berkata. Ia kemudian menatap suaminya. " eeehmmm … Mas Genta sekalian?"

Genta menganggukkan kepalanya. "Boleh."

Kania memasuki dapur. Membuka lemari dan mengeluarkan kue-kue yang dimilikinya. Ia juga mengambil pudding yang ada di lemari pendingin kemudian memotongnya. Untuk hal-ha seperti ini Kania bisa. Dia sudah ahli dari dulu belajar bersama bibi.

"Tidak perlu serepot ini. Kayak kami orang lain aja." Talita menghampiri Kania dengan senyuman khas keibuannya.

"Enggak apa-apa, Aunty. Jarang-jarang juga rumah ini ramai." Kania membalas.

Talita tersenyum kecil membantu meletakkan kacang ke dalam toples. Sebagian yang lain sudah di babat habis oleh Ezra di ruang tamu. "Mbak, sama Mas Genta baik-baik ajakan?"

Pertanyaan Talita membuat Kania tergugu. Sejujurnya ia tidak baik-baik saja. "Baik-baik aja, Aunty." Tapi Kania malah mengeluarkan kalimat kebohongan. Bukan apa-apa, Kania merasa perlu menjaga wibawa Genta saja dihadapan keluarganya membuatnya menyembunyikan keresahan apa yang dirasakannya.

"Kalau ada apa-apa bilang aja. Aku lebih muda lagi saat melahirkan Ezra. Umur delapan belas tahun. Apalagi Mas Genta orangnya dingin." Tapi Talitha tidak berhenti menawarkan dirinya membuat Kania terenyuh.

"Benar enggak ada apa-apa Aunty. Om Genta, maksudku Mas Genta baik bangat, dia tidak sedingin itu." Hanya Genit saja. tentu saja hal yang terakhir tidak Kania katakan pada adik Genta itu. "Bahkan Mas Genta lebih telaten menjaga Mikaela. Mas Genta banyak sekali membantu." Untuk yang terakhir itu dia tidak berbohong sama sekali.

Talita melirik perempuan itu beberapa saat kemudian menganggukkan kepalanya. "Syukurlah kalau kamu merasa seperti itu. Aku khawatir Mas Genta akan dingin dan kaku. Kamu tahu sendirilah, Mbak. Bapak meninggal saat kami muda, Mas Genta yang menjadi kepala keluarga saat itu. Membuat dia menyembunyikan segala keegoisannya dan lebih mengutamakan kami. Selalu menjadi laki-laki tegar yang jarang menunjukkan sisi lemahnya. Aku khawatir saja sikap Mas Genta seperti itu mempengaruhi pernikahan kalian."

Kania tersenyum tipis. Sejenak dia merasa bersalah pada Genta atas perlakuannya dalam beberapa hari terakhir pada laki-laki itu. Mungkin saja Genta banyak terluka atas sikapnya. Kania seharusnya bisa bersikap lebih tenang. Membicarakan semuanya lebih baik dengan Genta.

Mereka kemudian menghidangkan makanan tersebut di hadapan para keluarga. Ezra sudah tidak ada dalam kumpulan itu. Dia lebih memilih teras rumah Kania berbicara dengan Mamang. Mungkin dia juga risih dengan para ibu dan neneknya yang berisik. Juga sudah ada makanan dan minuman yang bibi hidangkan disana membuat Kania lega.

"Asinya lancar-lancar aja kan, Mbak?" Marsha bertanya pada Kania. Mungkin karena Ezra sudah tidak ada disana, jadi mereka lebih nyaman memasuki pada pembahasan itu. Meski sebenarnya Ezra sudah cukup dewasa untuk mendengar itu semua. Jika umur Kania di masa ini 22 tahun, maka Ezra sudah 24. Mungkin karena laki-laki itu masih lajang.

Kania melirik pada Genta dulu sebelum menjawab. "Sempat agak macet dikit sih, Tan. Tapi bibi juga rutin nyuruh aku makan sayuran. Konsultasi juga ke dokter. Cuma ya sekarang sedang pake breast pumb dulu buat Kania. Lagi lecet," Kania berbisik untuk yang terakhir.

Mereka melirik pada Kania tersenyum. "Kuat ya Mikaela nyusunya. Tuh Ta! Berat jadi ibu. Jangan membebankan semua ke Kania aja. apalagi isteri kamu masih muda dan kalian baru mendapatkan anak pertama. Dukungan kamu penting."

Genta menganggukkan kepalanya. "Iya, Ma! Ini Genta juga berusaha ngurangin jadwal kantor biar lebih banyak punya waktu sama Kania dan Mikaela."

"Mungkin Kania butuh pembiasaan aja," ujar perempuan itu tidak enak melihat Genta jadi sasaran ibunya.

"Tetap saja, nak! Genta harus tahu perannya bukan hanya mencari uang saja sebagai seorang ayah dan suami. Perhatian dan kasih sayang sangat penting juga. Dia harus sadar dengan tanggung jawabnya yang lain." nyonya Hirawan itu masih mengomel, khas ibu-ibu sekali.

"Iya ma," ujar Genta tanpa bantahan apapun. Dia menerima semua nasehat yang diberikan oleh mamanya.

Setelah banyak wejangan seputar rumah tangga untuk Genta dan Kania, mereka pulang juga. Kania merasa bersalah menatap suaminya tersebut. "Maaf ya Om jadi sasaran!"

Genta menyerngitkan hidungnya. "Tapi dekat keluarga aja manggil saya Mas. sekarang udah Om lagi."

"Masa harus nunjungin di depan mereka? Nanti Om semakin banyak lagi dikasih ceramah. Gini-gini aku juga ngertiin posis om tahu." Kania mendengus tipis.

Genta berdecak kecil memegangi dagu isterinya tersebut. "Makasi ya sudah membela saya di depan mama. Makasi juga sudah menjadi sedikit dewasa dengan menyembunyikan aib keluarga kita." Cup …