Beberapa jam sebelumnya ....
"Non, udah ditunggu di meja makan." Suara Mbok Sumi terdengar dari balik pintu. Briana yang sedang memeriksa jadwal kelas melukis yang diam-diam dia ikuti pun, segera bangkit dan turun karena papanya sedang menunggunya di meja makan.
Makan malam bersama di meja makan, dengan keluarga utuh yang berkumpul menjadi satu mungkin impian banyak orang. Itu juga termasuk impian Briana, dulu saat ibunya masih hidup, mereka sering melakukannya. Sekarang, kebiasaan itu masih terus papanya lakukan, tetapi formasi yang ada di meja tentu saja sudah berubah. Mereka tidak hanya berdua, tetapi berempat dengan ibu tiri serta saudara tiri yang tidak pernah Briana sukai kehadirannya.
"Malem, Pa." Briana menarik satu kursi untuk duduk, mengacuhkan keberadaan dua wanita yang kini duduk di depannya.
"Besok kamu bisa resign dari tempat kamu kerja sekarang. Sudah waktunya kamu mengurus hotel kita. Papa sudah siapkan posisi untuk kamu tempati."
Kalimat itu mengurungkan niat Briana untuk menyendok nasi ke piringnya. Ditatapnya wajah papanya yang sama sekali tidak mengarah kepadanya saat mengatakan kalimat perintahnya itu.
"Mana bisa langsung resign? Lagian aku nggak tertarik sama urusan hotel." Briana bahkan enggan menginjakkan kakinya di hotel tersebut karena terlalu banyak kenangan dengan mamanya. Wanita yang melahirkannya itu juga meninggal di sana, dan Briana masih ingat betul bagaimana ibunya yang sekarat sebelum nyawanya Tuhan ambil. Tidak, Briana masih trauma dan tidak tahu sampai kapan bisa menghapus bayangan mengerikan itu.
"Kalau bukan kamu siapa lagi yang akan menggantikan Papa nantinya?" Kali ini mata papanya menatap ke arahnya.
Sebenarnya Briana suka mendengar kalimat yang papanya katakan karena itu seperti papanya sedang tidak menganggap keberadaan anak tirinya. Namun, Briana benar-benar belum sanggup untuk melakukan pemintaan papanya.
"Pa, kalau memang Brian nggak mau, kan, masih ada Meta. Meta ini sudah Papa anggap anak juga, kan?" Risti mulai beraksi, juga merasa tersinggung oleh ucapan suaminya.
Wildan tampak menghela napas, meletakkan sendoknya ke piring lalu menatap wajah istrinya. "Rameta tidak pernah terjun ke dunia bisnis. Dan lagi apa dia tertarik sama pengurusan hotel? Bukannya jadwal modelnya sekarang sedang padat?"
"Brian juga nggak pernah terjun ke dunia bisnis, kan? Dan sekarang malah jadi penyiar radio, apa Papa pikir dia juga bisa mengurus hotel?" Risti tidak mau kalah jika anaknya sudah dibandingkan.
"Setidaknya Briana pernah kuliah di bidang itu. Jadi Papa yakin dia bisa asalkan dia mau." Wildan melempar tatapan pada anaknya yang kini enggan menatapnya. "Ya sudahlah, kita bahas nanti saja," ujar laki-laki itu lagi seraya bangkit.
Briana pun ikut bangkit sebelum kedua anak dan ibu itu kembali membuat ulah.
"Mama ini suka sembarangan kalau ngomong," ujar Rameta setelah sosok ayah tirinya dan Briana sudah menghilang dari pandangan.
"Sembarangan bagaimana? Ini untuk masa depan kamu. Ingat, Mama nggak punya harta apa pun untuk diwariskan ke kamu. Dan satu-satunya cara kalau kita mau sejahtera di masa depan, kamu harus menjadi bagian dari hotel ayah kamu." Risti menikahi Wildan karena laki-laki itu adalah pengusaha hotel bintang lima yang cukup ternama. Dan jangan sampai tujuan itu berakhir sia-sia dengan dia yang tidak mendapatkan apa pun.
"Kalau sampai Brian yang mendapatkannya, maka kamu akan tersingkir."
Rameta menghela napas kesal. "Penghasilanku jadi model juga udah cukup, lagian aku juga, kan, nggak ngerti soal bisnis."
"Karir model kamu itu nggak akan berjalan lama. Kamu harus pikirkan cara untuk menghasilkan uang dengan cara lain."
"Tinggal cari aja suami kaya, beres, kan?" Rameta memang seperti itu, dia sebenarnya tidak terobsesi dengan usaha ayah tirinya.
"Kamu itu kalau ngomong suka ngawur. Udah kamu diem aja, nanti biar Mama pikirkan cara untuk menyingkirkan Brian dari rumah ini."
"Terserah Mama aja." Rameta memilih untuk masuk ke kamarnya.
*
Briana baru saja akan membaringkan tubuhnya saat terdengar suara ribut dari luar. Andai saja namanya tidak disebut, tentu saja gadis itu tidak akan peduli sama sekali. Dan saat suara ribut itu pindah ke depan kamarnya, mau tidak mau Briana segera bangkit dari pembaringan dan membuka pintu.
"Papa harus geledah kamarnya untuk mencari bukti!" Teriakan Risti terdengar saat Briana membuka pintu kamarnya. Gadis itu tentu saja bingung dengan apa yang terjadi saat ini.
"Mbok, periksa kamar Brian." Perintah Wildan, Briana yang merasa tidak melakukan kesalahan, tidak berniat menghalangi langkah siapa pun untuk masuk ke kamarnya.
"Ada apa ini?" tanya gadis itu bingung.
"Kamu mau ngeracunin Meta, kan?" teriak Risti dengan mata berapi-api.
Briana mengerutkan keningnya karena tidak merasa melakukan tuduhan itu. "Ngeracunin gimana?"
"Meta tadi muntah-muntah, dan pas saya bawa ke rumah sakit dokter bilang dia keracunan makanan."
Briana memutar bola matanya malas, merasa bosan dengan aksi licik ala-ala sinetron ini. Sungguh cara yang super kampungan dan sangat norak, Briana memutuskan untuk melebarkan daun pintu, meminta Mbok Sumi masuk.
"Ada, Mbok?" tanya Wildan saat ART yang sudah bekerja lama di rumahnya itu terdiam di sudut ruangan.
Briana sama sekali tidak terkejut saat Mbok Sumi menemukan sebuah botol yang diduga racun itu. Risti dan Rameta pasti sudah mengatur ini semua.
"Itu bukan racun, tapi obat pencuci perut. Kenapa juga Rameta bisa muntah-muntah?" ujar gadis itu sembari menyandarkan tubuhnya pada kusen pintu.
"Jadi kamu ngaku mau ngeracunin Rameta?" Risti menunjuk wajah Briana yang langsung gadis itu tepis. Hidupnya memang bak cinderela, tetapi dia tidak mau ditindas.
"Dia nggak mati, kan?"
"Brian!" tegur papanya karena kata-kata Briana kali ini sangat kasar. "Kamu renungi kesalahan kamu, jangan keluar kamar sampai Papa izinin kamu keluar."
Briana sama sekali tidak memrotes, atau pun berniat membela diri karena dia tahu itu semua percuma. Maka sebelum semua orang di depan kamarnya itu pergi dia sudah menutup pintu kamar dengan begitu keras. Tidak peduli dengan kesopanan karena tidak ada yang memedulikan perasaannya.
*
"Mama baju aku!"
Teriakan itu benar-benar memekakkan telinga, Briana sudah tidak lagi heran dengan tingkah Rameta yang seperti ini. Sebentar lagi, anak dan ibu itu pasti akan menghampiri kamarnya dan membuat ulah. Menyalahkannya entah untuk apa lagi, dan setelahnya hukuman mengurung diri di kamar ini akan ditambah lagi oleh papanya. Terkadang Briana bingung dengan papanya yang seperti mudah sekali dibodohi oleh dua wanita itu. Trik-trik konyol yang Rameta dan ibunya gunakan sungguh murahan, dan mengherankan jika dipercaya.
"Non." Terdengar ketukan di pintu serta suara Mbok Sumi. Hanya wanita ini yang peduli pada Briana di rumah ini.
"Masuk, Mbok!" ujar Briana sedikit berteriak, dan pintu kamarnya pun terbuka. Memunculkan Mbok Sumi yang membawa nampan berisi makanan serta segelas air.
"Non Brian makan dulu, ya." Mbok Sumi melangkah mendekat, dan meletakkan nampan ke atas meja.
"Kadang aku bingung apa fungsinya aku makan. Andai akau mati sekarang juga papa pasti nggak akan peduli." Kalimat putus asa itu sudah terdengar beberapa kali dari bibir Briana.
"Non, jangan ngomong kayak gitu." Mbok Sumi merasa khawatir setiap kali anak majikannya ini mengatakan hal tersebut. "Nyonya pasti sedih di atas sana kalau tahu Non Brian kayak gini."
"Kalau gitu bantu aku kabur dari rumah."