"Ini salinan kontrak." Areez meletakkan map berisi salinan kontrak pernikahan mereka ke atas pangkuan Briana yang kini tengah duduk di sampingnya.
"Silakan kamu periksa," ujar laki-laki itu lagi sembari menyalakan mobilnya, melajukan kendaraan roda empat itu meninggalkan sanggar tempat Briana biasa menghabiskan waktu untuk mengasah bakat lukisnya.
Briana tanpa mengatakan apa pun langsung membuka surat kontraknya. Saat merasa enggan membaca isinya, gadis itu menutupnya lagi, lalu meletakkan map itu di dasboard mobil.
"Jangan diletakkan sembarangan," ujar Areez sembari mengambil alih berkas itu. "Saya akan letakkan di kamar kamu nanti."
Briana masih diam, memutuskan untuk melempar pandang ke luar jendela. Bayangan bagaimana Bian menyatakan perasaannya tadi masih jelas teringat di benaknya. Bayangan bagaimana laki-laki itu menatapnya dengan sorot terluka dan juga kecewa, kini menghantui kinerja otaknya. Kenapa harus seperti ini jalan hidupnya? Briana menanyakan dosa besar apa yang pernah dilakukannya sehingga harus terjebak dengan permainan gila seperti ini.
"Panggil saja saya dengan nama saat nanti kita bertemu dengan ayah kamu." Areez menoleh sekilas ke arah Briana yang malah memejamkan mata. Namun laki-laki itu tahu jika gadis itu mendengarkan kata-kata yang diucapkannya.
"Jangan merusak rencana karena saya bisa melakukan apa pun untuk menghancurkan orang-orang yang kamu sayangi dalam satu jentikan jari."
Kali ini Briana membuka mata, lalu melirik sengit Areez yang tengah menunjukkan senyuman miring. Jika seperti ini wajah itu terlihat seperti iblis bermuka dua.
*
"Kenapa di sini?" tanya Briana dengan wajah cemas saat mobil Areez berhenti di lobby hotel milik keluarganya. Tidak, dia belum bisa menginjakkan kakinya di tempat ini. Bayangan ibunya yang tengah sekarat dengan buih yang muncul di bibir masih terekam jelas di benaknya. Keringat dingin mulai menitip di sela-sela dahi dan juga telapak tangan Briana.
Areez mengamati gerak-gerik yang Briana tunjukkan. Gadis ini seperti ketakutan apalagi saat menatap lobby hotel. "Kamu—"
"Saya nggak baik-baik saja, tolong jangan di sini." Briana nyaris menangis saat mengatakan itu. Bahkan kepalanya mulai pening saat bayangan ibunya yang tengah sekarat mulai muncul.
Areez tanpa pikir panjang langsung melajukan kembali mobilnya untuk meninggalkan hotel milik keluarga Atamir itu. Dalam benak mencoba memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada gadis di sebelahnya ini. Briana tidak menunjukkan jika dia hanya sedang berakting, gadis ini sungguh-sungguh menunjukkan ketakutan. Areez pun menepikan mobil, lalu menghubungi orang kepercayaannya.
"Jonas, cari tempat lain untuk bertemu dengan Pak Wildan. Kamu segera kabari beliau perpindahan tempatnya." Areez lalu menatap Briana yang masih menutup mata sembari memutus sambungan teleponnya. Apa yang sebenarnya terjadi pada gadis ini?
"Minum dulu." Areez menyorongkan botol air mineral kemasan yang selalu ada di mobilnya.
Briana tidak menolak karena memang dia butuh air minum saat ini. Namun, tidak akan mengucapkan terima kasih karena semua ini terjadi karena Areez.
Dalam diam Areez mengirim perintah pada Jonas untuk mencari tahu tentang hal yang pernah terjadi di hotel Atamir yang berhubungan dengan Briana.
*
Jonas : Istri Pak Wildan meninggal di hotel tersebut, saat itu Briana berada di sana. Dan kemungkinan besar merasa trauma.
Areez menutup layar ponselnya, lalu menoleh ke arah Briana yang tengah melamun di tempatnya. "Turun!" katanya sembari membuka sabuk pengaman yang dikenakan gadis itu agar Briana terkejut. Berhasil, tanpa banyak memrotes, gadis itu turun dan mengekorinya.
Briana sempat terkejut saat tangannya digenggam oleh Areez, tetapi hanya sebentar, selebihnya gadis itu memilih diam karena segala protes yang akan diajukannya juga hanya berakhir percuma.
"Jangan bertindak ceroboh dan membuat papa kamu curiga," bisik Areez saat matanya melihat kehadiran papa Briana yang masuk dari pintun lain restoran mewah ini. Tdak menyangka jika laki-laki itu begitu cepat sampai di tempat ini. Laki-laki itu berjalan seorang diri.
Briana tidak berani menatap wajah papanya saat akhirnya mereka berdiri berhadapan. Laki-laki yang pernah menjadi cinta pertamanya itu tampak marah padanya, dan tanpa sadar tangan Briana melingkar di lengan Areez, seolah-olah tempat itu bisa dijadikan tempat sembunyi dari murka sang ayah.
"Selamat malam Pak Wildan." Areez mengulurkan tangan pada ayah Briana, tetapi laki-laki itu tidak menyambutnya, melainkan menatap tajam putrinya yang kini menundukkan wajah.
"Tolong jangan membuat putri Anda takut, dengan susah payah saya berhasil menemukan dia." Areez memulai aktingnya.
"Jelaskan apa yang terjadi sebenarnya?" Pak Wildan menanyakan hal tu sembari melirik putrinya yang langsung menundukkan kepalanya semakin dalam.
"Apa tidak sebaiknya kita duduk?" Areez yang mengajukan inisiatif itu dan Pak Wildan pun segera melangkah ke meja yang sudah Areez pesan.
*
"Sebenarnya kami sudah berpacaran selama dua tahun ini." Areez mengatakan itu sembari melempar senyum lembut pada Briana yang hanya bisa menunjukkan senyuman tipis. Dalam hati merasa waswas dengan setiap ucapan yang akan laki-laki itu keluarkann dari bibirnya.
"Briana kabur dari rumah untuk menemui saya," ujar Areez lagi. Kali ini Briana menendang kaki laki-laki itu karena alasan yang dikatakan sungguh tidak masuk akal sama sekali. Namun, Areez terlihat tidak peduli.
"Tadinya Briana sama sekali tidak tahu siapa saya. Yang dia tahu, saya hanya pengusaha kecil yang tidak memiliki pendapatan pasti. Itu kenapa dia takut Anda tidak akan menyetujui hubungan kami." Areez seperti sudah sangat terlatih untuk mengatakan banyak kebohongan. Lihat saja, sejak tadi tidak sedikit pun menunjukkan kegugupan. Namun, alasan yang laki-laki itu berikan sungguh konyol, papanya tidak mungkin akan mempercayainya.
"Saya sudah melamar Briana dan dia setuju. Dan hari ini saya datang untuk meminta persetujuan Anda." Areez meremas tangan Briana, seolah-olah tengah menunjukkan betapa dia sedang gugup untuk menunggu sebuah restu.
Wildan tampak berpikir, ditatapnya wajah sang putri yang terlihat tertekan, tetapi sepertinya ini keputusan yang baik. Sebagai ayah dia hanya pelu memastikan keberadaan putrinya kini benar-benar aman.
"Kamu benar-benar mencintai dia?" Pertanyaan itu tentu saja membuat Briana terkejut. Tidak berpikir ayahnya malah akan mengajukan pertanyaan ini.
"Sayang." Areez berusaha mendapatkan fokus Briana. "Papa kamu tanya."
"Emm, i-iya, Pa." Hanya itu yang bisa Briana lakukan, tidak ada jalan mundur karena Areez akan melukai siapa pun jika kini dia memilih mundur.
"Kalau begitu saya setuju." Mata Briana kali ini melebar tidak percaya. Ini benar ayahnya yang mengatakan kalimat itu?
Areez tersenyum, mengangguk, lalu untuk memuluskan aktingnya, laiki-laki itu mencium lembut punggung tangan Briana. Tanpa memedulikan pandangan sengit yang gadis itu tunjukkan.