"Kemarin kamu terlihat setengah hati menerima kesepakatan pernikahan kontrak yang saya tawarkan. Walaupun kamu sudah menandatangani surat kontraknya, saya memutuskan untuk menunda pernikahan kita, sampai kamu benar-benar paham keuntungan yang bisa kamu dapat jika memiliki status sebagai istri saya."
Briana nyaris mendengkus sinis saat mendengar kalimat panjang itu. Bagaimana dia tidak menandatangani surat kontrak itu jika ancaman ada di depan matanya? Namun, kalimat nyinyir itu hanya Briana simpan di kepalanya. Dia sedang merenungkan kalimat panjang yang Areez katakan. Apa benar laki-laki ini akan membantunya menyelamatkan papanya?
"Menurut Anda, apa harta karun itu benar-benar ada?" Briana penasaran dengan pemikiran Areez saat ini.
"Kamu percaya?" tanya Areez balik sembari mengangkat kedua alisnya. Dan jawaban Briana adalah gelengan kepala. Siapa yang akan percaya dengan berita konyol itu? Jika memang ada harta karun, kenapa kabarnya baru datang sekarang? Terlalu mengada-ada.
"Hanya orang bodoh yang percaya." Areez masih setia menatap wajah Briana yang tampak semakin manis saat tengah berpikir keras seperti sekarang. Tanpa sadar ada senyum tipis yang laki-laki itu sunggingkan. Namun, senyum itu lenyap saat mata Briana beralih padanya.
"Tapi kenapa orang-orang itu percaya?" Briana tidak paham dengan pemikiran orang yang mudah dihasut dengan berita semacam itu.
"Karena mereka serakah, tidak pernah merasa cukup dengan hasil yang mereka dapatkan." Areez menjawab secara mudah karena sikap manusia zaman sekarang memang seperti itu.
Briana mengangguk-anggukkan kepalanya. "Jadi mereka mau merebut hotel untuk menghancurkannya?"
Kali ini Areez menganggukkan kepalanya. "Tapi tujuan orang di balik ini bukan itu."
Briana mengerutkan keningnya. "Lalu apa?"
Areez mengedikkan bahu. "Masih saya prediksi dan belum menemukan jawaban. Tapi intinya orang ini hanya ingin menghancurkan papa kamu."
Briana mengerjabkan matanya. Jadi papanya benar-benar memiliki musuh?
"Semua orang di dunia ini memiliki musuh, apalagi di dunia bisnis seperti yang saya dan papa kamu geluti."
Briana merasa ngeri dengan kalimat yang Areez katakan. Bukan tentang dunia bisnis, melainkan cara laki-laki itu yang seperti selalu tahu isi kepalanya. Apa jangan-jangan Areez ini memiliki kekuatan membaca pikiran?
Areez yang ditatap dengan pandangan aneh langsung mengangkat alis bingung. "Kenapa?"
"Anda ini, punya kekuatan membaca pikiran orang lain?"
Areez nyaris meledakkan tawa saat mendengar kalimat itu. Namun, seperti biasa, dia bisa menahan diri dan akhirnya hanya senyuman miring sarat akan cemooh yang terlihat.
"Bukan saya yang bisa membaca pikiran, tetapi kepala kamu yang terlalu transparan, dan mudah dibaca. Saya yakin bukan hanya saya yang bisa dengan mudah membaca pikiran kamu." Areez berdiri, merasa pembahasna mereka sudah selesai.
Briana mengakui, tetapi hanya dalam hati. Bian juga sering bisa menebak isi kepalanya, apa benar isi kepalanya bisa dengan mudah ditebak seperti itu? Ditatapnya wajah Areez yang tampak lelah hari ini.
"Sebaiknya kamu istirahat, Jonas akan mengantar kamu kembali." Areez sudah berniat pergi, tetapi urung saat Briana menahannya.
"Tunggu!" Gadis itu tampak ragu, tetapi memberanikan diri untuk bertanya, "Apa Anda benar bisa membantu papa saya?"
Areez mengangguk yakin, dia bisa dengan mudah menemukan dalang di balik ini semua.
"Syaratnya yang tadi itu?" tanya Briana hati-hati. Jika menikah dengan Areez memang bisa membantu papanya, maka dia akan melakukannya dengan senang hati. Lagi pula, pernikahan itu hanya di atas kontrak, mereka hanya akan memiliki status sebagai suami istri dalam jangka waktu tertentu bukan?
Areez kembali menganggukan kepalanya. "Karena saya butuh status untuk membantu kamu."
Briana mencoba memikirkannya lagi. "Sesuai kontrak yang tertulis, kan?"
"Kamu bisa memikirkannya lagi."
Briana menggelengkan kepalanya cepat. "Saya sudah putuskan."
Areez diam, menunggu kalimat Briana yang dia yakini belum selesai.
"Saya bersedia menikah dengan Anda," ujar Briana lirih. "Di atas kontrak," lanjutnya untuk memperjelas status yang akan mereka jalani.
Areez mengangguk, menunjukkan senyuman tipis. "Kamu bisa katakan pernikahan seperti apa yang kamu inginkan, tulis di daftar dan saya akan mewujudkan semuanya."
"Impian saya menikah dengan orang yang saya cintai." Briana hanya bergumam sendiri, tidak berharap Areez akan mendengarnya. "Oke, saya akan segera tulis daftarnya," ujar gadis itu lantang.
Areez tersenyum tipis, lalu memanggil Jonas untuk mengantar Briana kembali ke kamarnya.
*
"Pernikahan impian?" gumam Briana sembari melangkah pelan di lorong yang tadi dilewatinya. Kini dia harus melewatinya lagi untuk kembali ke kamar. Jadi lorong ini sejenis jalan rahasia? Yang menghubungkan dua rumah? Mana yang lebih aman, tempat yang ditinggalinya saat ini atau tempat Areez?
Jonas yang diam-diam mendengar gumaman Briana hanya tersenyum sembari mengamati langkah gadis di depannya yang seperti tidak terlalu fokus pada jalanan di depannya. Pencahayaan remang, seharusnya Briana lebih hati-hati. Dan lagi, sebenarnya Jonas salut dengan gadis ini yang tidak merasa takut dengan kondisi yang ada di sekitar mereka. Jonas nyaris jatuh saat Briana tiba-tiba menghentikan langkah dan memutar tubuh ke arahnya.
"Tempat mana yang lebih aman?" tanya Briana sembari mendongak. Tinggi Jonas sepertinya lebih dari Areez, atau sama? Entahlah, kedua laki-laki ini membuatnya seperti kurcaci saat harus berdiri berhadapan seperti ini.
Jonas langsung menundukkan kepalanya. "Maaf, saya tidak paham maksud Nona."
"Lorong ini jalan rahasia, kan?" Jonas mengangguk sebagai pembenaran. "Lalu, mana yang termasuk rumah rahasia. Rumah yang saya tempati, atau yang Areez tempati?"
Jonas tersenyum tipis mendengar kalimat tanya seperti itu. "Rumah yang Anda tempati," jawabnya yakin.
Briana memicingkan mata, tidak percaya dengan kalimat yang laki-laki di depannya katakan. "Kamu nggak lagi bohong?" Entah mengapa Briana merasa lebih nyaman saat harus mengobrol dengan Jonas. Apakah karena status laki-laki ini yang hanya bawahan Areez?
"Tidak Nona," jawab Jonas sabar, sekilas memberanikan diri untuk menatap wajah Briana, tetapi langsung menunduk saat gadis itu ternyata tengah menatapnya. "Rumah yang Anda tempati, adalah rumah rahasia yang Tuan bangun untuk melindungi dirinya jika ada kondisi mendesak."
Briana yang merasa heran kenapa Jonas tidak mau menatap wajahnya mencoba menelengkan wajah untuk mendapat fokus laki-laki itu. "Lantai lebih menarik dari pada wajah saya?"
Jonas langsung menatap wajah Briana saat mendengar kalimat itu. "Maaf," katanya.
"Nggak usah terlalu formal, saya bukan majikan kamu." Briana menyandarkan punggungnya ke tembok, kakinya sedikit pegal. Padahal jarak yang mereka tempuh tidaklah jauh. Dia hanya sedang merasa lelah dengan hidup yang dijalaninya sekarang. Semua hal terasa melelahkan, bahkan berbicara dengan Areez pun melelahkan karena harus menggunakan bahasa formal.
"Lebih baik Anda segera istirahat." Jonas tidak bisa berlama-lama berada di tempat ini karena yakin ada yang mengawasi.
"Sedang apa kalian?"
Briana berjengit kaget saat mendengar suara tanpa manusia itu. Dari mana asalnya? Jonas yang melihat Briana terkejut dengan cara yang lucu hanya bisa menahan senyum.
"Silakan Nona," kata laki-laki itu sembari mengisyaratkan Briana untuk melangkah.
"Itu suara hantu?" tanya Briana dengan nada berbisik. Jonas yang tahu pertanyaan itu tidak serius hanya tersenyum tipis tanpa menanggapi.