Briana mengedar pandang seluruh ruangan yang kini ada di sekitarnya. Mencoba mencari keberadaan Areez. Namun, laki-laki itu tidak ada di mana-mana. Untuk mengetahui apa yang terjadi pada ayahnya, dia harus menemui laki-laki itu.
"Nona."
Briana berjengit kaget mendengar namanya dipanggil. Sosok Jonas keluar entah dari mana, sepertinya ada pintu rahasia di rumah ini.
"Ada yang Nona butuhkan?" tanya laki-laki dengan badan tegap itu.
"Saya mau ketemu Areez." Briana pikir permintaannya akan ditolak dan dia perlu memohon, ternyata tidak. Laki-laki itu langsung mengangguk dan memintanya untuk mengikuti.
Briana pun segera mengikuti langkah Jonas yang begitu lebar. Briana memiliki tinggi tubuh standar, tidak tinggi seperti Rameeta yang seorang model, tetapi tidak juga pendek. Namun, saat dihadapkan dengan Jonas dan Areez, gadis itu merasa seperti kurcaci.
"Tinggi kamu berapa?" Entah mengapa Briana malah menanyakan hal tidak penting semacam itu. Kalau boleh jujur sebenarnya dia takut karena Jonas mengajaknya berjalan di lorong yang sedikit gelap. Dan sekarang, mereka melewati sebuah pintu rahasia yang tersembunyi di belakang lemari. Briana merasa seperti berada di film-film detektif saat ini.
"Seratus sembilan puluh," jawab Jonas dengan wajah datar, tidak jauh dengan bosnya.
"Bisa pelaninn dikit langkahnya? Kamu nggak liat saya udah ngos-ngosan?" Briana benar-benar sedikit terseok mengikuti langkah Jonas yang berjalan di depannya.
Jonas pun segera memelankan langkahnya. "Maaf, Nona. Silakan." Laki-laki itu mempersilakan Briana untuk berjalan terlebih dulu. Dan tanpa banyak memprotes, Briana pun segera melangkah terlebih dulu. Sesekali menoleh ke belakang takut jika Jonas tiba-tiba menghilang. Kini mereka melewati lorong dengan pencahayaan temaram, jika laki-laki ini pergi secara tiba-tiba, dia bisa mati di tempat ini karena tidak tahu jalan keluar.
"Saya tidak akan meninggalkan Anda. Silakan tetap menghadap ke depan." Jonas seperti paham kekhawatiran Briana. Dan gadis itu pun mengangguk, percaya jika Jonas tidak akan meninggalkannya begitu saja.
Dan setelah perjalanan yang terasa panjang karena mungkin melalui jalan yang begitu misterius, Briana sampai pada sebuah pintu. Dia berhenti, menunggu Jonas memasukkan kode angka lalu pintu di depan mereka pun terbuka.
"Nona tunggu di sini. Saya panggilkan Tuan."
Briana mengangguk, memilih duduk di kursi yang tersedia di ruangan ini. Tempat ini seperti perpustakaan pribadi. Banyak buku yang terjajar rapi di rak-rak besar dengan berbagai ukuran.
"Kamu menemui saya lebih cepat dari yang diperkirakan."
Fokus Briana teralih pada sosok yang masih mengenakan kemeja sama seperti tadi. Waktu sudah menunjuk pukul sebelas, tetapi sepertinya Areez masih sibuk melakukan sesuatu.
"Ada apa?" tanya Areez sembari menarik kursi di meja kerjanya untuk duduk. Lalu mempersilakan Briana untuk beralih duduk di kursi depannya. Tanpa banyak memrotes, gadis itu segera bangkit dan duduk di kursi yang Areez tunjuk.
"Saya mau menanyakan soal kondisi hotel papa saya." Briana yakin Areez tahu banyak hal tentang masalah di hidupnya.
Areez tampak menunjukkan senyuman tipis. "Kenapa kamu yakin saya tahu?"
"Dan Anda mau bilang kalau Anda nggak tahu? Saya nggak akan percaya."
Areez tertawa kecil mendengar nada ketus di suara Briana. "Bukankah seharusnya kamu bisa bersikap lebih manis kalau mau mencari tahu informasi penting?"
"Sayangnya saya bukan orang yang bisa berlaku lembut seperti gadis lain." Briana memberanikan diri untuk menatap wajah Areez yang ternyata memiliki tahilalat di bawah mata sebelah kiri.
Areez kembali menunjukkan senyuman tipis, merasa takjub pada gadis di depannya. Briana mungkin satu-satunya gadis yang tidak terpikat oleh wajahnya yang katanya tampan ini, dan juga tidak merasa takut saat harus berhadapan denganya. Tingkahnya benar-benar mengingatkan pada seseorang yang keberadaannya sudah tidak lagi ada di dunia ini. Briana hadir membawa sedikit penawar untuk rindu yang selama ini terpendam.
"Jadi apa yang terjadi dengan hotel milik papa saya?" tanya Briana lagi saat Areez malah hanya diam sembari memperhatikan wajahnya. Seolah-olah ada yang menarik di sana, sedikit mampu membuat Briana salah tingkah, tetapi beruntung tidak terlalu kentara.
Areez menarik arah pandangnya saat sesuatu di dalam hatinya seperti menggeliat. Perasan yang sudah lama mati ini seolah mendapatkan setitik ramuan untuk menghidupkan kembali mata hatinya.
"Hotel papa kamu sedang mengalami beberapa kecurangan. Ada pesaing bisnis yang menyusupkan orangnya untuk menghancurkan hotel milik keluarga kamu secara perlahan. Dan kalau saya tidak salah tebak, ini ada hubungannya dengan ibu tiri kamu."
Mata Briana melebar saat itu juga. Jadi papanya sedang berada dalam kesulitan? Lalu apa saja yang dilakukan sebagai anak selama ini?
"Orang-orang itu juga terus mengintai kamu, berusaha untuk mencelakai kamu."
Briana terlalu syok sehingga tidak bisa berkata-kata. Jadi ini maksud papanya membiarkannya tinggal di rumah Areez? Dan demi memastikan keselamatannya, papanya mengirim Mbok Sumi untuk menjaganya.
"Orang-orang itu mengincar kamu untuk dibunuh, agar Pak Wildan tidak memiliki pewaris. Baru setelah itu, target mereka adalah Pak Wildan sendiri."
Briana benar-benar tidak percaya jika ada masa segenting ini dalam hidupnya. "Apa nilai hotel papa saya sebegitu berharganya?"
Areez menganggukkan kepalanya. "Ada rumor yang mengatakan jika di salah satu ruagan hotel itu menyimpan harta karun."
Briana mengernyitkan dahinya, tidak paham. "Maksudnya?"
"Ada orang yang sengaja menyebarkan berita kalau di bawah hotel papa kamu itu menyimpan harta karun yang nilainya fantastis," jelas Areez sabar. Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya, mungkin hanya pada Briana, dan juga seseorang di masa lalunya.
Briana mencoba berpikir, lalu berujar, "Ada yang percaya, dengan berita konyol seperti itu?"
Areez mengangguk pelan, "Banyak," katanya.
Mata Briana seketika memicing curiga. "Termasuk Anda?"
Awalnya Areez hanya mengangkat alisnya, lalu tertawa kecil. "Kamu pikir saya sebodoh itu?"
Briana mengedikkan bahu, saat dalam kondisi seperti ini, bukankah dia perlu mewasdai semua orang yang ada di sekitarnya. Bagaimana jika Areez pun sebenarnya sedang mengincar nyawanya?
"Kamu tidak akan hidup sampai sekarang kalau saya mengincar nyawa kamu," ujar Areez seolah-olah bisa membaca pikiran gadis di depannya. Hal yang tentu saja membuat Briana takut untuk berpikir macam-macam.
"Pikiran kamu terlalu mudah ditebak." Areez menyeringai sinis saat wajah Briana semakin menunjukkan sesuatu yang tidak menyenangkan.
Briana pun langsung mengubah ekspresinya menjadi datar, walaupun tidak sepenuhnya berhasil. Dia bukan orang tanpa hati seperti Areez yang bisa mengubah ekspresinya dalam hitungan detik.
"Kamu tidak perlu takut selama ada di samping saya," ujar laki-laki itu mencoba meredam kekhawatiran Briana. "Bahkan papa kamu juga mempercayakan kepercayaan keselamatan kamu pada saya."
Briana tidak merespon, mulai berpikir apakah benar laki-laki ini bisa dipercaya? Namun, jika memang benar Areez berencana membunuhnya, bukankah kesempatannya sangat banyak? Jadi sepertinya ketakutan itu tidak beralasan sama sekali.
"Saya juga bisa membantu kamu untuk menyingkirkan orang-orang itu." Areez menunjukkan wajah yang sangat serius saat mengatakan itu. Briana pun kembali menatap penuh ke wajah Areez yang tampak—gadis itu menggelengkan kepalanya saat satu pemikiran tidak penting muncul.
"Apa syaratnya?" Briana tahu tidak ada yang gratis di dunia ini, termasuk untuk bantuan yang Areez tawarkan.
"Percepat pernikahan kita."