Briana yang baru saja membuka matanya langsung beringsut bangun saat dilihatnya sosok Areez kini tengah duduk di tepi kasur. Laki-laki itu bahkan memandangi wajahnya dengan sorot datar.
"Apa Anda tidak tahu sopan santun?" Briana kesal dengan sikap Areez yang semaunya ini. "Bisa nggak, jangan masuk saat saya masih tidur?"
Areez tidak memberikan reaksi berarti, hanya menjauhkan tubuhnya dari tepi kasur. "Anda takut saya akan macam-macam?"
Awalnya Briana ingin menyentakkan kata ya, tetapi urung setelah otaknya memutar kembali apa yang didapatkannya tadi malam. Laki-laki ini penyuka sesama jenis, dan menurut Briana sangat masuk akal. Areez tidak pernah terlihat canggung atau pun gugup saat berada di dekatnya. Bahkan tidak berani macam-macam kepadanya padahal mereka sering terjebak di tempat sepi berdua seperti sekarang ini.
"Tadinya iya, tapi ...." Briana sengaja mengantung kalimatnya. Menikmati wajah penasaran yang Areez tunjukkan saat ini. "Sekarang udah enggak lagi."
Areez mengerutkan kening tidak paham kenapa Briana bisa tidak takut padanya. "Kenapa bisa berubah seperti itu?"
"Saya nggak takut karena saya baru tahu kalau Anda nggak akan pernah tertarik sama saya."
Kening Areez berlipat semakin dalam saat ini. "Maksudnya?"
"Anda nggak usah ngeles atau cari alasan nggak masuk akal lain. Karena saya udah tahu apa alasan Anda ingin menikah kontrak dengan saya." Gadis itu tersenyum penuh kemenangan, seolah-olah sudah mendapat satu kartu kunci yang bisa digunakan untuk mempermalukan Areez.
"Apa itu?" tanya Areez tanpa minat. Laki-laki itu sudah tahu isi kepala Briana saat ini. Gadis ini pasti mencari tahu tentangnya di internet, dan menemukan satu berita yang tidak baik tentangnya. Areez sudah berkali-kali memblokir berita yang muncul, tetapi selalu muncul yang baru lagi.
"Karena Anda itu terong makan terong."
Areez menahan diri untuk tidak melepaskan tawanya mendengar istilah itu. Tidak, dia tidak akan dengan mudahnya tertawa hanya dengan hal receh itu.
"Kalau saya bilang ya, Anda akan langsung menerima tawaran saya?"
Briana diam, masih memikirkan apakah ini memang keputusan yang baik? Apakah kebebasan yang Areez katakan itu benar-benar akan laki-laki ini wujudkan? Jika ya, sepertinya tidak masalah dia menjalani pernikahan kontrak ini. Namun, apakah hasilnya benar-benar sepadan? Apakah pengorbanan ini benar-benar sudah keputusan yang paling tepat?
"Anda sudah memiliki jaminan untuk tetap aman di tempat ini dengan kondisi saya." Areez menunjukkan seringai tipis. "Anda jaga rahasia saya, dan saya membantu Anda melakukan apa yang menjadi cita-cita Anda selama ini. Bukankah hal ini saling menguntungkan?"
"Jadi, Anda benar-benar belok?" Briana tidak bisa mencari perumpamaan yang tepat. Hanya mengatakan apa yang melintas di kepalanya saja.
"Anggap saja seperti itu." Jawaban yang tentu saja tidak memuaskan Briana. "Jadi bagaimana? Ada pasal yang harus ditambahkan?"
Briana menghela napasnya, masih merasa ini bukan keputusan yang tepat. Atau, dia pura-pura setuju saja, setelahnya bisa dipikirkan lagi.
"Oke, saya setuju." Briana menyilangkan jemarinya di belakang punggung. Hal yang selalu dilakukannya tanpa sadar jika tengah berbohong.
Areez mengangguk pelan sembari mengamati wajah Briana. Dia yang sudah terlalu sering berhubungan dengan orang-orang munafik sadar jika persetujuan yang Briana berikan adalah sesuatu yang tidak tulus.
*
"Ada pasal yang perlu ditambahkan?" tanya Areez saat Briana menyerahkan kertas berisi contoh kontrak.
Briana mengangguk, untuk meminimalisir kecurigaan Areez, tentu saja dia harus bersikap seolah-olah benar menyetujui kesepakatan ini. Sudah ditambah beberapa poin yang dia inginkan pada kertas itu.
"Saya sudah berkata akan membebaskan kamu, untuk apa menulis kebebasan ini di pasal lagi?" Isi pasal tambahan memang berisi tentang kebebasan Briana untuk melukis. Padahal di atas sudah ada pasal yang mengatakan jika masing-masing pihak berhak melakukan kegiatan yang diinginkan di luar sana tanpa terkecuali. Dengan catatan, apa yang dikerjakan tidak akan membuat orang salah paham.
"Saya hanya berjaga-jaga," jawab Briana santai. Dan Areez pun mengangguk setuju.
"Akan segera saya perbaiki, dan malam ini bisa kamu tandatangani." Areez mengatakan itu sembari mengamati wajah Briana yang dia tahu sedang merencanakan sesuatu.
"Emm, sekarang, boleh saya ke sanggar seni? Saya sudah lama bolos, tangan saya kaku karena nggak melukis berhari-hari." Briana melirik Areez yang memusatkan penuh perhatian ke arahnya. Gadis itu pikir Areez akan melarang, ternyata laki-laki itu dengan mudahnya menganggukkan kepalanya.
"Pulang tepat waktu, karena malam ini kita akan menghubungi papa kamu setelah kontrak kerja sama kita tandatangani."
Briana mengangguk cepat, tentu saja dia akan pulang tepat waktu, tetapi ke tempat lain. Dan selamat tinggal dengan pernikahan kontrak gila ini. Meski aksi kabur ini Briana yakini berisiko, tetapi dia optimis bisa kabur.
*
"Na, akhirnya." Sambutan lega itu Briana dapat dari laki-laki berkaca mata di depannya. Wajah teduh yang dimiliki oleh pengurus sanggar bernama Sabian Anggara ini adalah salah satu hal yang selalu Briana rindukan. Sudah dari lama gadis itu menjadikan laki-laki dengan rambut sedikit gondrong khas seniman ini sebagai idola untuk banyak hal.
"Aku nggak papa, kok, Kak. Cuman kecapean aja." Briana rasanya ingin menghambur ke pelukan Bian untuk mengurangi strees yang kini dirasakannya. Menceritakan apa yang terjadi pada hidupnya, siapa tahu laki-laki ini bisa membantunya. Namun, rasanya itu bukan keputusan yang baik. Briana tidak boleh menarik siapa pun ke dalam masalah hidupnya kali ini. Untuk tempat kabur, dia sudah menghubungi temannya yang berada di luar kota sebagai tempat tinggal baru sementara waktu.
"Tapi, kayaknya aku bakalan nggak masuk—" Kalimat Briana terputus saat pemilik sanggar yang tidak lain adalah kakak Bian masuk.
"Hai, Bri," sapa wanita itu ramah. Briana pun mengangguk ramah pada wanita yang hampir mirip dengan Bian ini.
"Bian, orang yang Mbak bilang tadi malem udah datang. Kamu temuin sekarang, ya. Mbak masih ada keperluan soalnya." Sera, wanita berusia tigapuluh lima tahun itu mengatakan hal tersebut sembari menoleh ke arah Briana. "Ditemenin Brian, ya."
Briana yang bingung hanya mengangguk, lalu meminta penjelasan apa yang terjadi pada Bian.
"Ada yang mau jadi donatur baru di sanggar. Dana yang diberikan cukup besar, jadi kita bisa nambah kelas untuk anak-anak yang nggak mampu. Kelasnya pun akan semakin beragam," jelas Bian yang tentu saja adalah satu kabar baik.
Selama ini sanggar berniat membuka kelas gratis untuk anak-anak kurang mampu. Belum bisa terwujdu karena dana masih kurang. Hanya beberapa anak saja yang bisa masuk ke jalur gratis.
"Bagus, dong. Kalau gitu kita temuin orangnya." Briana begitu bersemangat saat mengatakan itu. Bian pun sampai tertawa geli, satu hal yang dia sukai dari gadis ini adalah sifat antusias yang sering muncul jika berhubungan dengan membantu sesama. Namun, semangat dan juga senyum lebar gadis itu surut seketika saat melihat siapa orang yang kini duduk di sana, di ruangan pribadi milik Sera. Areez, laki-laki itu di mata Briana sungguh terlihat seperti jelmaan iblis berkedok malaikat yang bisa muncul di mana pun, tentu saja pada waktu yang tidak tepat.