"Isi surat kontrak pernikahan kita." Areez meletakkan beberapa lembar kertas ke depan Briana yang baru saja selesai dengan sarapannya. Gadis itu terpaksa melahap makanan yang disediakan karena butuh energi agar otaknya bisa bekerja untuk memikirkan cara kabur dari rumah ini.
Briana mendongak untuk melihat wajah Areez, tatapan datar tengah laki-laki itu sematkan ke arahnya. Lalu gadis itu tanpa minat membuka lembar demi lembar surat kontrak yang kini berada di tangannya. Banyak sekali pasal yang tertera di sana, dan dia sama sekali tidak tertarik untuk membacanya. Tidak ada sedikitpun pemikiran ingin menerima kontrak pernikahan ini muncul di kepalanya. Yang sekarang Briana pikirkan hanyalah bisa kabur dari tempat ini. Bagaimana caranya?
"Kamu bisa baca pelan-pelan. Kalau ada yang ingin ditambahkan silakan, kamu bisa tulis, nanti saya perbaiki." Areez mengatakan itu sembari meletakkan pulpen ke atas pangkuan Briana. Lalu setelahnya melangkah pergi, tetapi langkah laki-laki itu tertahan di ambang pintu kamar Briana.
"Saya kasih batas waktu sampai besok malam. Setelah penandatangan kontrak, kita akan menemui papa kamu." Setelah selesai dengan kalimatnya Areez benar-benar pergi.
Briana membuang pulpen serta kertas di tangannya. Siapa yang sudi menandatangani surat itu. Siapa juga yang sudi menikah di atas kontrak? Kisah klise dalam novel yang sering dibacanya tidak akan menjadi kenyataan. Namun, bagaimana caranya dia kabur saat ini? Di tengah kekalutan itu sebuah pesan masuk ke ponselnya. Kali ini dari Bian, kakak senior Briana di kampus dulu. Orang yang kini mengajaknya untuk mengikuti kelas melukis di sanggar. Orang yang—mampu membuat seorang Briana langsung menarik senyum di bibirnya hanya karena satu pesan dengan nada khawatir.
Kak Bian : Na, kamu hari ini nggak masuk? Sakit lagi?
Satu-satunya orang yang memanggilnya dengan sebutan lain, di saat banyak orang memotong namanya di kata Bri, atau Brian, Bian memanggilnya dengan panggilan Na. Sungguh istimewa, setidaknya itu yang Briana rasakan. Gadis itu pun segera mengetikkan pesan balasan, tidak mungkin menceritakan kondisi yang dialaminya sekarang. Karena sepertinya percuma, orang-orang di luar sana tidak akan ada yang mungkin membantunya.
'Aku lagi nggak enak, badan, Kak. Izin dulu, ya. Besok aku usahain masuk.'
Briana menghela napasnya, berharap besok memang benar-benar bisa keluar dari penjara ini. Bagaimana caranya? Hanya itu yang terus dipikirkannya.
"Nona." Ketukan di pintu serta suara seorang wanita terdengar, dan setelah Briana mengatakan untuk masuk, seorang wanita berbaju pelayan dengan seragam biru masuk. "Tuan memperbolehkan Nona Brian keluar."
Mata Briana tentu saja langsung berbinar senang mendengar kalimat itu. Apakah dia sudah dibebaskan?
*
Kesenangan Briana terhenti saat ternyata arti keluar yang Areez maksudkan adalah keluar dari kamar, bukan dari rumah yang baru dia tahu memiliki kolam renang serta taman bunga yang begitu luas di belakang rumahnya. Sungguh pemandangan indah andai saja dia tidak sedang dikurung di sini.
"Nona boleh ke tempat ini untuk menghilangkan jenuh, tapi dilarang masuk ke tempat itu." Pelayan wanita yang kini mengekori Briana menunjuk sebuah rumah kecil yang berada di seberang kolam. Briana memicingkan mata untuk mengamati rumah dengan nuansa pink itu.
"Memang kenapa? Tuan kalian ngumpetin orang di sana?" tanya Briana ketus. Dan pelayan yang mendampinginya hanya menundukkan kepala, lalu menggeleng.
Briana mendengkus kesal karena rumah itu bukan hal yang menarik, dia sedang mengedar pandang untuk bisa kabur, hanya itu yang dibutuhkannya kali ini. Taman tempatnya berdiri kali ini sangatlah luas, tembok yang mengelilingi dihiasi oleh tanaman rambat. Apakah ada pintu kecil di balik tembok penuh tanaman itu?
"Saya nggak perlu diikutin terus, saya juga nggak akan bisa kabur." Briana menatap kesal pelayan wanita di belakangnya.
"Maaf, Nona. Ini sudah tugas saya," ujar wanita itu dengan wajah menunduk. Briana yang sudah tahu itu memang tugas wanita ini hanya bisa berdecap kesal, lalu mengayunkan langkah untuk mengitari tempat kini dirinya berada.
Bukan melihat-lihat bunga seperti layaknya gadis lain, Briana tidak tertarik dengan keindahan semacam itu. Apalagi kondisinya sekarang dia sedang ingin mencari pintu keluar. Maka sejak tadi Briana lebih tertarik dengan pagar tanaman di sampingnya. Pasti ada pintu keluar di sini.
"Saya mau ke toilet," ujar gadis itu saat tidak menemukan apa pun. Dia harus mencari di tempat lain.
"Mau kembali ke kamar Anda, atau—"
"Yang deket sini," potong Briana cepat. Sebenarnya dia bukan tipe orang yang senang berlaku ketus pada seorang pelayan. Namun, kali ini suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja. Dan jangan salahkan dia yang akan melampiaskannya pada orang-orang di sekitarnya. Salahkan saja Areez karena laki-laki itu yang kini mampu membuatnya sangat kesal.
Pelayan wanita itu pun segera menunjukkan toilet terdekat. Dan apa yang Briana lakukan membuahkan hasil, dia menemukan pintu keluar.
*
"Boleh saya makan di luar?" tanya Briana saat pelayan yang menjaganya mengatakan akan segera mengantar makan malam.
Briana pikir pelayan wanita itu perlu bertanya pada majikannya dulu untuk memutuskan, ternyata tidak. Dia langsung mendapat izin, dan Briana pun tidak membuang waktu, langsung keluar dari kamarnya. Menuju meja makan besar yang tidak terdapat siapa pun di sana. Apakah Areez benar-benar tinggal sendiri di istana mewah ini? Tempat yang sungguh terasa sepi dan dingin. Rumahnya yang tidak sebesar ini tentu saja lebih menyenangkan untuk ditinggali andai saja dua nenek sihir itu tidak ada.
"Saya boleh jalan-jalan ke taman itu lagi?" tanya Briana setelah menyelesaikan makan malamnya. Kali ini dia tidak bisa memaksakan mulutnya untuk menelan banyak makanan. Keinginan kabur membuat Briana enggan menelan apa pun. Dia terlalu semangat untuk bisa kabur dari tempat ini.
Pelayan wanita itu langsung mempersilakan Briana untuk berjalan sendiri ke tempat tadi. Hal yang sebenarnya sungguh aneh, tetapi gadis itu tidak memedulikan firasat buruknya.
Briana terus melangkah, sesekali menoleh, dan memang tidak seorang pun mengekorinya. Gadis itu mengerutkan kening dalam langkahnya, lalu mendongak untuk mencari-cari keberadaan CCTV. Aneh, tidak satu pun dia temukan. Memang tidak ada, atau Areez yang terlalu pintar menyembunyikan keberadaan kamera pengawas itu sehingga tidak akan dengan mudah ditemukan? Briana menggelengkan kepalanya, tidak peduli jika kini dia sedang diawasi. Yang penting adalah berjalan keluar melalui pintu yang tadi dilihatnya.
Gadis yang senang mengenakan kemeja serta celana jeans itu terus melangkah, sesekali menoleh untuk memastikan tidak ada yang mengikutinya. Mencoba menghalau rasa ngeri karena tempatnya kini memijak tidak memiliki pencahayaan yang terang. Dia tidak takut gelap, andai saja kondisinya tidak seperti sekarang. Dengan napas sedikit tersengal, gadis itu mencoba membuka gembok yang kini menggantung di pintu depannya. Jangan bertanya di mana dia belajar aksi pencuri ini, dia pernah mempelajarinya dari seseorang saat berusaha kabur dari gudang tempatnya dihukum oleh ayahnya. Dan setelah perjuangan yang begitu melelahkan, akhirnya Briana berhasil. Dia bebas. Namun, senyum yang mengembang itu lenyap seketika saat sosok dengan senyum mengejek itu kini berdiri di depannya.