Karin merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Menyusun peralatan dan juga mengurusi Emily benar-benar dia lakukan sendirian. Jemmi hanya ada di apartemen ini beberapa waktu saja. Setelahnya dia pergi dengan berbagai macam alasan yang menurut Jemmi akan Karin percaya.
Rasa kesal ditinggalkan Jemmi mau tak mau harus mereda karena cowok itu memesankan banyak makanan untuknya sendiri. Kini perut Karin sudah terisi penuh, begitu juga dengan Emily. Mungkin Karin juga harus melakukan apa yang Emily lakukan setelah perutnya kenyang, yaitu tidur.
Akan tetapi, keadaan tidak membuat Karin bisa langsung mencicipi dunia mimpi. Baru saja ingin terlelap, ponsel Karin yang ada di atas meja sebelah tempat tidur berbunyi keras. Dengan malas Karin bangun dari tempat tidur dan mengambil ponselnya.
"Miranda?" kata Karin bertanya saat melihat layar ponselnya. Ibu jarinya segera menggeser tombol hijau dan mendekatkan benda persegi itu ke telinganya. "Ada apa Mir?"
"Ibu sama papaku tabrakan," ucap Miranda dan diiringi suara tangis.
"Kirim lokasi kamu sekarang, biar aku ke sana."
Lelah Karin seketika hilang saat dia mengetahui kalau sahabatnya sedang kesusahan. Akan tetapi, sebuah kebingungan segera menghampirinya saat matanya tertuju ada ranjang kecil yang ada di pojok kamarnya.
"Siapa yang jaga Emily?" Karin mencoba berpikir cepat. "Jekie!"
Karin mengambil jaket dan tas yang tergantung di dekat pintu, lalu segera ke luar dari unit miliknya. Memasuki lift dan menekan tombol lantai tempat Jekie. Sampainya di lantai itu, Karin segera menghampiri nomor unit milik cowok itu.
Beberapa kali Karin menekan bel tanpa jeda, dia tahu apa yang dilakukannya ini tidak sopan. Namun Karin enggan untuk memikirkan hal itu sekarang. Apa yang terpenting untuknya saat ini, bisa segera bertemu dengan Miranda.
"Ya, ada apa?" tanya seorang wanita saat membuka pintu.
"Apa ini benar unit Jekie?"
"Siapa Ma?" Terdengar suara Jekie dari dalam. Tidak lama kemudian cowok itu muncul di belakang perempuan yang membuka pintu.
"Aku boleh minta tolong?" Karin menyatukan kedua ke depan dada, dengan artian memohon pada Jekie dan mamanya.
"Apa?"
"Orang tua Miranda kecelakaan dan aku harus ke tempat dia sekarang."
"Ya udah, Je kamu antar dia. Kasian teman kamu ini."
Karin menggeleng. "Bukan itu Tante, saya ke sini tadinya minta Jekie buat jagain Emily."
"Emily?" Jekie sempat mengerutkan dahinya tapi kemudian dia mengangguk. "Anak kamu itu ya?"
"Em..." Karin mengangguk kaku, dia masih belum biasa menganggap kalau Emily adalah anaknya. Bagaimana mungkin bisa secepat itu, dia baru bertemu dengan Emily kurang dari dua puluh empat jam. Selain itu, dia juga belum merasakan hamil dan juga melahirkan.
"Je, kamu antar teman kamu ini. Biar Mama yang jaga anaknya." Mama Jekie menoleh pada Karin. "Di mana anak kamu?"
"Ada di kamar saya Tante."
"Ayo antar Tante ke sana. Je, kamu siap-siap."
"Tunggu aku di depan gedung," kata Jekie.
Karin mengangguk, kemudian dia bersama dengan mama Jekie pergi ke kamarnya. Dia menjelaskan letak peralatan milik Emily yang mungkin saja akan dibutuhkan nantinya. Sebab Karin pun tidak mengetahui berapa lama dia bersama dengan Miranda nantinya.
"Iya, kamu tenang aja. Kamu bisa pergi sekarang."
"Makasih Tante." Setelah berkata begitu, Karen segera mengambil sepatunya dan pergi ke depan gedung untuk menemui mobil Jekie yang sudah terparkir di sana.
"Aku antar kamu ke mana?"
"Rumah sakit Medika," kata Karin sambil melihat pesan Miranda di ponselnya.
***
Sampainya Karin di rumah sakit, Karin sedang melihat Miranda duduk sendirian di depan ruang ICU. Perlahan Karin mendekati Miranda dan duduk di sebelahnya. Satu tangan Karin menyentuh Miranda dan cewek itu menoleh melihat ke arah Karin.
Saat itu juga tangis yang sendari tadi ditahan Miranda akhirnya pecah. Cewek itu memeluk Karin dan pelukannya langsung di balas oleh Karin. Tentu saja Karin tidak akan membiarkan Miranda sendirian dalam menghadapi masalah ini.
Selama berteman, Miranda dan keluarganya banyak membantu Karin. Sehingga mustahil bagi Karin untuk membiarkan Miranda sendirian dalam keadaan yang seperti ini. Apa pun akan Karin lakukan agar dia bisa menemani sahabatnya itu.
Tidak lama kemudian, seorang perawat keluar dari ruangan ICU. Karin menepuk bahu Miranda dan keduanya pun berdiri menghadapi perawat itu. Jekie yang dari tadi berdiri memperhatikan Karin dan Miranda yang saling berpelukkan juga ikut mendekat. Namun sebelum perawat itu mulai berbicara bunyi ponsel dari saku celana Karin menyela.
"Maaf," kata Karin sambil merogoh saku celananya. Mau tidak mau Karin harus menepi dan menjauh untuk menerima panggilan telepon itu.
Jemmi. Nama itulah yang tertera di layar Karin saat dia melihatnya.
Lagi-lagi dia harus berurusan dengan cowok ini. Walaupun kesal, Miranda tetap menerima panggilan itu.
"Kenapa lama banget angkat teleponnya?" protes Jemmi saat Karin baru saja mendekatkan ponselnya ke telinga.
"Mau apa?"
"Kenapa kamu biarkan orang asing buat ngerawat Emily?" Walaupun terdengar protes tapi suara Jemmi terdengar seperti orang yang sedang berbisik.
"Miranda," ucap Jekie dan ikuti dengan pecahnya suara tangis cewek itu.
Karin segera menoleh, ucapan protes Jemmi seakan lenyap begitu saja. Tanpa menunggu lama dia menghampiri Miranda sudah duduk di lantai. Jekie terlihat ingin membantu menopang tubuh Miranda agar tidak terjatuh terlalu keras ke lantai.
"Enggak mungkin," Miranda meraung dan suaranya menimbulkan gema di koridor ini. "Suster pasti bohong."
"Kenapa ini?" tanya Karin sambil membantu Jekie mengangkat Miranda.
"Papanya enggak bisa diselamatkan," ucap Jekie.
Kalo saja Karin dia tidak sedang membopong tubuh Miranda ke kursi, mungkin dia juga akan terdiam atau mungkin terjatuh seperti Miranda tadi. Dia sama sekali tidak menyangka kalau itu akan terjadi.
Setelah Miranda didudukan ke kursi tunggu, Karin bertanya lagi pada perawat untuk memastikan ucapan Jekie. "Apa itu benar sus?"
"Pendarahannya cukup parah. Kami sudah berusaha tapi tetap tidak bisa melawan takdir."
"Lalu, mamanya? Apa ada kemungkinan selamat?"
Karin belum tahu seberapa parah kecelakaannya, tapi jika sudah sampai merenggut nyawa ... tidak perlu dipertanyakan lagi seberapa parah.
"Dokter sedang mengupayakan yang terbaik untuk kedua pasien."
"Saya mohon, selamatkan Ibu saya ya Sus." Karin menggenggam tangan suster itu tanpa di sadari ya kalau ponsel yang dari tadi dipegangnya masih tersambung dengan Jemmi.
Saat perawat itu kembali masuk ke ruangan ICU, Karin baru menyadari soal ponselnya. Dia pun kembali mendekatkan benda itu ke telinga. "Jem, kamu masih ada di sana?"
"Kamu urus aja Miranda malam ini. Biar soal Emily aku yang jaga."
Karin sempat melongo beberapa detik saat mendengar Jemmi berkata seperti itu. Ternyata cowok ini bisa juga menurunkan egonya dan sedikit mengalah. "Makasih."