Karin membalikkan badan dan melihat Miranda tidak ada lagi di tempatnya. Melalui tatapan Karin bertanya pada Jekie dan dengan tatapan juga cowok itu menunjuk ke arah ruang ICU. Karin pun menyusul masuk ke dalam ruangan.
Saat sampai di dalam, Karin melihat Miranda sedang memeluk papanya dan masih menangis. Dari keadaan papa Miranda, bisa dia bayangkan betapa parahnya kecelakaan yang dialaminya. Banyaknya luka di tubuhnya, seakan mempresentasikan terlukanya Miranda saat ini.
Karin mendekat ke arah Miranda dan makin melihat keadaan papa Miranda. Lambat laun, hatinya juga merasa hancur. Selama ini Karin memang tidak begitu dekat dengan papa Miranda karena dia selalu sibuk membangun bisnisnya. Berada di rumah saja hanya ada saat malam hari.
Sekalinya ada waktu libur, dia ingin mengajak anak dan istrinya untuk menghabiskan waktu bersama. Namun Miranda memilih untuk mengalah, dia ingin papa dan mamanya menghabiskan waktu berdua. Kenyataan sekali lagi membuat pemilik harapan kecewa. Bukannya makan malam romantis, keduanya malah berakhir di ruangan dingin, serba putih dan bau obat itu.
"Mir, sudah," kata Karin sambil mengusap lembut bahu cewek itu. "Papa kamu pasti enggak suka ngeliat kamu nangis begini. Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau papa kamu selalu ngasih apa yang kamu mau karena dia enggak mau kamu nangis. Artinya dia enggak suka liat kamu nangis. Jangan begini terus Mir."
Miranda malah menepis tangan Karin, cewek itu marah dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Karin. Miranda melihat Karin dengan tatapan tajam. "Rin, kamu enggak pernah tau rasanya kehilangan orang tua karena kamu enggak pernah punya dari awal!"
Bentakkan dari Miranda membuat Karin mematung beberapa saat. Karin benar-benar tidak percaya bahwa kata-kata menyakitkan itu akan dia dengar di depan wajahnya dan orang yang berkata begitu adalah orang yang sudah dianggap sebagai keluarganya sendiri. Pada akhirnya, Karin tetaplah orang luar yang tidak punya siapa pun.
Setelah tersadar dari keterkejutannya, Karin melihat ke sekeliling dan mendapati beberapa pasang mata sedang melihat ke arahnya. Tidak ingin perdebatan ini terus berlanjut, Karin pun tidak membalas ucapan Miranda dengan kemarahan juga. Perkataan menyayat hati itu dia telan begitu saja.
"Kalau kamu sudah merasa tenang, kamu bisa ke luar. Aku bakalan tunggu di sana." Karin mundur beberapa langkah sebelum akhirnya dia membalikkan tubuhnya.
langkah pertama setelah melewati pintu ICU, setetes air mata Karin turun begitu saja. Pernyataan Miranda tadi seakan menyadarkannya kalau keputusan yang dia buat untuk mengurus Emily memang tepat. Karin tidak akan membiarkan anak itu merasakan perasaan terbuang seperti yang sering dia alami.
"Gimana Miranda?" tanya Jekie sambil melangkah menghampiri Karin.
Tangan Karin pun segera mengusap pipinya yang sempat dilewati oleh air matanya. Tidak seharusnya Karin cengeng seperti ini, dia sudah pernah melewati banyak hal yang menyakitkan. Apa yang dikatakan Miranda tadi sama sekali tidak ada apa-apanya.
"Rin, Miranda gimana?" tanya Jekie lagi karena tidak kunjung dapat jawaban dari Karin.
"Kita tunggu aja di selesaikan urusannya di dalam."
"Apa kamu masih mau nunggu dia?"
"Ya," jawab Karin dan diikuti anggukkan kepala. "Apa kamu sudah mau pulang?"
"Aku tinggal nggak apa-apa? Aku ada kuliah pagi besok dan ada kuis."
"Kamu pergi aja, biar nanti aku pulang dengan cara sendiri. Lagian, aku enggak bisa tinggalin Miranda."
"Bisa tetap kabarin aku, kalau kamu mau pulang terus sampai rumah? Karena aku pasti bakalan kepikiran soal kamu."
Karin memaksakan untuk tersenyum melihat Jekie. "Oke, aku pasti bakalan kabarin. Oh ya jangan lupa sampaikan ucapan terima kasih aku ke mama kamu karena udah jagain Emily."
"Iya, pasti aku sampaikan. Aku pergi dulu ya."
*****
Wajah Miranda masih memancarkan kesedihan saat tiba di rumahnya. Beberapa keluarga terdekat juga berdatangan setelah mendengar kabar duka ini. Semua orang mengucapkan belasungkawa ke Miranda dan hanya ditanggapi dengan anggukan saja. Sedangkan pertanyaan lainnya, dibantu oleh Karin yang menjawab.
Saat jam menunjuk ke angka dua belas lewat, Karin mendapat telepon dari Jemmi. Karin sempat melihat kalau Miranda menengok ke layar ponselnya saat benda itu berbunyi. Karin pun segera mengusap layar untuk menerima telepon itu dan melangkah sedikit lebih jauh dari Miranda.
"Kenapa?"
"Anak kamu nih nangis terus, aku enggak ngerti cara diamkannya," kata Jemmi.
"Apa, aku nggak salah dengar? Kamu bilang itu anak aku?" tanya Karin dengan nada bicara yang menyindir.
Terdengar decihan dari Jemmi. "Bisa pulang sekarang? Apa kamu enggak kasihan dia nangis terus?"
Apa yang dikatakan Jemmi memang benar, Karin bisa mendengar suara tangis Emily yang mengiringi setiap perkataan cowok itu. Ada perasaan bingung dalam memilih untuk pergi atau menetap. Karin pikir, Miranda masih membutuhkannya di sini karena dia tidak cukup dekat dengan keluarganya yang lain. Akan tetapi, Emily di sana juga membutuhkannya.
"Pulang aja."
Karin menoleh saat mendengar suara Miranda sangat dekat. Cewek itu tepat berdiri di belakangnya. Ternyata, Karin tidak bisa lagi menyembunyikan soal ini pada Miranda.
"Kamu milih buat bertanggung jawab untuk anak itu, jadi jangan setengah-setengah. Apa kamu mau pengorbanan yang udah kamu lakukan sia-sia aja?"
"Mir, apa kamu masih marah sama aku yang ngelepaskan kesempatan untuk masuk kedokteran demi ngerawat anak itu?"
Sebenarnya, Karin tidak ingin mencari masalah di saat keadaan berduka seperti ini. Namun dari tadi, setiap perkataan yang keluar dari mulut Miranda selalu menyinggung perasaannya. Kalau terus begitu, Karin juga tidak tahan.
"Kamu bisa pulang, aku punya banyak keluarga di sini." Miranda menoleh ke arah ruang tamu, tempat di mana keluarga dari ayahnya berkumpul.
Lagi-lagi, Karin merasa tersinggung dengan ucapan Miranda. Dengan suara yang bergetar karena menahan tangis, Karin pun menjawab, "Yah, kamu benar. Kamu punya banyak keluarga di sini. Enggak kayak anak itu dan aku yang ditinggalkan sama keluarganya. Semoga mereka yang ada di sini bisa peduli sama kamu ya, Mir."
Bukannya Karin tidak tahu, walaupun suasana rumah Miranda ramai tidak ada seorang pun yang peduli dengan cewek itu selain dia. Om, tante, dan sepupu Miranda tidak ada yang menyukai Miranda dan ibunya. Mereka datang hanya untuk formalitas.
Karin tidak memilih lagi untuk menetap, mungkin memang lebih baik dia tidak datang mnghampiri sahabatnya itu. Pertemanan mereka sudah berubah semenjak Karin memilih melepaskan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan dan memutuskan mengurus Emily. Biar pun begitu, Karin tetap menerima dan menjalankan keputusannya.
Melepaskan sebuah pertemanan demi anggota keluarga baru yang tidak pernah Karin miliki selama ini. Setidaknya, dari Emily Karin bisa menaruh harapan kalau dia akan diterima menjadi bagian keluarga. Sehingga dia tidak lagi dianggap sebagai orang luar seperti apa yang dilakukan oleh orang lain.