Chereads / EXILE : yang terbuang / Chapter 12 - Terhina

Chapter 12 - Terhina

Suara musik berpadu dengan suara tawa beberapa orang, belum lagi dengan dentingan gelas kaca. Lampu terlihat berkelap-kelip, berwarna murah muda, biru dan ungu. Semua itu hanya bisa Karin lihat lewat layar ponselnya.

Video yang diunggah Jekie ke akun sosial media dengan durasi masing-masing video selama lima belas detik. Ternyata yang datang ke reunian malam ini banyak juga. Bukan hanya yang satu angkatan dengan Karin, tapi ada juga yang berada satu tingkat di atasnya dan juga tingkat bawah. Entahlah, Karin tidak mengingat semua teman sekolahnya dulu.

Karin sebenarnya ingin pergi ke acara reuni itu, tapi apalah daya. Emily membuatnya tertahan di dalam apartemen ini sendirian. Karin tidak mungkin datang dan pulang dengan keadaan mabuk. Sekarang dia bukan lagi seorang yang bebas tanpa tanggung jawab.

Sedang asik menonton unggahan video di akun Jekie, seseorang menelepon Karin. Dahinya berkerut melihat layar ponselnya karena panggilan dari nomor yang tidak disimpan. Walaupun ragu, Karin tetap menerima panggilan itu.

"Halo, ini siapa?"

["Apa benar ini dengan Nona Karin?"]

"Ya, benar." Karin otomatis menganggukkan kepalanya walaupun orang yang sedang berbicara dengannya tidak melihat.

["Ada paket atas nama Nona Karina Arsyifa, bisa diambil di resepsionis."]

"Oke, saya ambil sekarang." Karin pun bangkit dari posisi tidurnya. Sebelum ke luar dari kamar, Karin menengok sebentar ke arah Emily. Memeriksa sebentar untuk memastikan bahwa anaknya itu masih tertidur dengan nyenyak.

***

"Katanya, ada barang titipan atas nama saya," kata Karin pada salah satu resepsionis yang sedang berjaga dan tidak melayani siapa pun.

"Dengan atas nama siapa?"

"Karina Arsyifa."

"Oh, di sebelah sana." Pegawai itu menunjuk ke arah ujung meja.

Karin melihat ke arah ujung meja resepsionis dan berjalan ke sana. Terdapat sebuah stroller anak berwarna biru muda. Pada pegangan tangannya tergantung sebuah kartu ucapan. Dibukanya kartu nama itu dan ada nama Karin di sana.

Selain itu, saat Karin membuka bagian atas stroller masih ada tiga kotak yang ada di dalamnya. Karin memeriksa semua kotak yang terbungkus dengan mengangkatnya. Tidak terlalu berat. Karin bisa menduga itu bukan barang pecah belah.

Karin bertanya lagi pada resepsionis yang lain. "Apa masih ada lagi?"

"Hanya itu yang kami terima."

"Boleh tau dari siapa?"

"Dari orang yang mengantar tadi bilang itu dari J Fairus."

Karin mengangguk sambil berkata, "Terima kasih."

Stroller itu pun dia dorong masuk ke dalam lift. Beruntungnya dia hanya sendiri di sana. "J Fairus? Cih. Namanya terlalu bagus untuk orang yang sifatnya kaya Jemmi. "

Pintu lift kembali terbuka sebelum Karin sampai di lantainya. Seseorang akan masuk, Karin pun meminggirkan stroller-nya agar tidak menggangu orang yang ingin masuk.

"Eh, Karin."

Karin mendongak melihat orang yang memanggil namanya. Senyumnya pun melebar saat melihat orang itu. "Tante."

Bukan hanya mama Jekie yang dia temui kali ini, melainkan juga papa Jekie dan barang kali neneknya karena wajah perempuan satunya jauh lebih tua dari Jekie. Mereka bertiga masuk ke lift dan menekan nomor lantai mereka.

"Tante kira, kamu ikut acara reuni sama Jekie."

Karin menggeleng dan masih tersenyum lebar. "Saya enggak bisa tinggalkan Emily, Tante."

"Ini, kamu habis beli ya?" tanya Mama Jekie sambil menyentuh stroller milik Karin. "Bagus."

"Ini, kiriman dari papanya Emily."

"Memangnya, papanya ke mana?" tanya wanita tua itu.

Karin tidak bisa berkata apa pun. Kemarin dia bilang dengan Jekie kalau ada yang menanyainya soal papa Emily di mana, mungkin dia akan membalas bahwa papanya sudah meninggal. Tetapi, seperti biasanya manusia perbuat : lebih mudah mengatakan dari pada melakukan.

"Lia, apa ini yang kamu ceritakan sama Kiki kalau punya anak tanpa menikah?" tanya wanita tua itu pada mama Jekie.

Mama Jekie nampak tidak nyaman dengan pertanyaan itu dan juga bingung menjawabnya. Berkali-kali dia melirik wanita tua itu dan juga Karin secara bergantian. Karin tahu kalau mama Jekie sedang menjaga perasaannya.

Sebelum menjawab, Karin berdeham keras agar perhatian orang-orang ini mengarah padanya. "Mungkin saya memang pernah melakukan kesalahan, tapi saya bukan orang jahat yang membuang atau membunuh anak yang enggak tau apa-apa. Sekarang...."

Bunyi lift membuat Karin tidak jadi menyelesaikan ucapannya. Dia malah melanjutkan dengan kata yang lain. "Sekarang, saya sudah sampai. Permisi."

Masih dengan senyuman Karin meninggalkan lift. Sebelum pintu lift itu tertutup, Karin sempat mendengar percakapan singkat antara Mama Jekie dan wanita tua itu.

"Ma, kenapa sih harus ngomong gitu?"

"Kamu itu yang salah. Dia itu bukan cewek baik-baik. Jangan biarkan Jekie berteman sama dia."

Setelah pintu lift tertutup, langkah kaki Karin terhenti. Tangannya makin menggenggam erat pegangan stroller. Setetes air matanya tiba-tiba saja menetes begitu saja dan diiringi dengan Isakkan.

Takut ada yang melihat, Karin kembali lagi berjalan dan mendorong stroller itu sampai ke dalam unitnya. Setelah di dalam, Karin meletakkannya ke dekat sofa lalu dia masuk ke kamar. Dia merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur sambil tatapannya ke arah tempat tidur kecil milik Emily.

Kini Karin bisa mengerti kenapa mamanya memutuskan untuk bunuh diri karena dirinya. Hinaan dari orang lain kadang kali seperti pisau yang menancap langsung ke dalam hati. Padahal, jika dilihat lagi, Karin tidak pantas untuk mendapatkan hinaan itu. Di sini, dia sebagai penolong agar Emily tidak merasa sendirian tapi orang lain berpendapat yang salah.

Orang-orang yang hanya mengetahui sebaris dari seluruh cerita hidupnya, dengan gampang mengatakan hal yang tidak-tidak. Karin membayangkan apa yang didapatkan dulu oleh mamanya. Terbersit rasa beruntung pada diri Karin.

Ini pertama kalinya Karin merasa beruntung karena sudah dilahirkan ke dunia ini. Setidaknya, selama sembilan bulan bertumbuh di dalam rahim. Mamanya memilih untuk mempertahankannya atau mungkin mamanya juga sempat melakukan percobaan pembunuhan? Karin tak tahu. Dia hanya ingin merasa beruntung telah hidup ke dunia.

Karin menghapus air matanya. Setelah sekian lama, akhirnya Karin tidak lagi membenci ibunya. Hinaan tadi malah menyadarkannya kalau pasti menjadi ibunya sangat tidak mudah. Maka dari itu, Karin harus bisa lebih kuat. Soal bunuh membunuh, tidak akan dia lakukan.

Kesalahan yang pernah dilakukan mamanya, tidak akan Karin lakukan pada Emily atau anaknya di masa mendatang. Hinaan dari perempuan tua itu mungkin hanya awal dari kehidupan baru Karin ini. Bersama Emily sudah pasti dia akan lebih kuat dari sebelumnya.

Kehilangan apa pun akan Karin relakan asalkan jangan kehilangan Emily. Selain itu, dia juga akan melakukan apa pun agar Emily dan dia bisa hidup nyaman. Sehingga tidak akan ada lagi orang lain yang bisa merendahkannya.