Siang hari Karin ditemani Jekie pergi ke tempat Miranda untuk menghadiri acara pemakaman papa Miranda. Soal Emily, Karin titipkan pada mama Jekie. Untungnya perempuan itu menyukai anak kecil dan dia langsung menawarkan diri untuk menjaga Emily saat mengetahui Karin ingin pergi ke pemakaman papa Miranda.
"Kamu enggak mau ke sana?" bisik Jekie pada Karin yang duduk di sampingnya.
Karin menoleh pada Jekie dengan satu alis yang terangkat.
"Itu, duduk di samping Miranda."
Tatapan Karin beralih ke Miranda, cewek itu hanya duduk sendirian di kursi paling depan sambil memperhatikan orang yang sedang berbicara di dekat peti jenazah papanya. Orang itu adalah sepupu papanya yang ini kedua kalinya Miranda temui. Laki-laki itu sedang melakukan khotbah sebagai penghiburan untuk orang terdekat.
Miranda terlihat hanya bisa menatap kosong, seakan air matanya telah kering karena terlalu sering menangisi papanya. Karin ingin menghampiri Miranda, namun dia takut itu akan berdampak buruk. Rasanya tadi malam sudah cukup bagi Karin untuk mendengarkan kalimat pedas soal keluarga dari mulut Miranda. Karin tidak ingin jadi membenci cewek itu hanya karena ucapan emosi sesaat.
"Enggak deh," kata Karin yang akhirnya bisa menjawab pertanyaan Jekie. "Miranda masih dalam suana hati yang nggak bagus. Biasanya, sifatnya jadi buruk. Lebih baik aku biarkan dia sendiri aja sekarang."
Lebih baik begini menurut Karin. Menjauh bukan karena tidak peduli tapi karena dia menghindari rasa sakit hati dan juga kehancuran dalam pertemanannya. Begini saja hubungan mereka sudah merenggang, Karin tidak mau persahabatannya dengan Miranda makin hancur.
Setelah melewati berbagai prosesi, sampai akhirnya penguburan. Barulah Karin berani menghampiri Miranda. Itu pun, ditemani dengan Jekie. Pembicaraan awal juga dibuka oleh cowok itu.
"Semoga kamu bisa lebih kuat ya, Mir," kata Jekie.
"Makasih, kalian sudah mau datang," kata Miranda sambil melihat ke arah Jekie dan Karin secara bergantian.
"Oh ya, Mir. Aku tau ini enggak tepat ngomongnya, tapi angkatan kita mau ngadain reuni. Kalau bisa, kamu datang aja. Siapa tau ketemu teman-teman lama bisa bikin kamu terhibur."
"Reuni?"
Jekie mengangguk. "Soal waktu sama tempatnya, nanti aku kabarin lagi."
Bisa dilihat kalau Miranda berusaha untuk tersenyum menanggapi ucapan Jekie. "Makasih."
"Kalo gitu, aku pergi dulu ya Mir." Setelah berkata begitu pada Miranda, Jekie lalu menoleh pada Karin. "Mau ikut aku pulang sekarang?"
Pertanyaan Jekie tidak langsung dijawab oleh Karin, karena dia malah menoleh pada Miranda. Karin menunggu reaksi Miranda selama beberapa detik namun tidak ada hal yang menunjukkan bahwa Miranda ingin Karin harus tinggal. Maka dari itu, Karin mengangguk pada Jekie dan berpamitan pada Miranda.
"Jemmi, titip salam buat kamu. Dia ada urusan lain jadi enggak bisa ke sini," kata Karin.
Miranda masih juga tidak bereaksi apa pun.
"Aku pulang dulu ya Mir," kata Karin yang akhirnya memilih segera berpamitan pada cewek itu. Setelahnya, dia pun berjalan bersama dengan Jekie meninggalkan Miranda.
Saat sudah berjalan jauh, Karin kembali menoleh dan melihat Miranda yang kembali duduk di samping pusaran ayahnya. Dia tetap di sana, walau semua orang telah pergi. Beginilah kenyataan, mau sesedih apapun kamu waktu tetaplah bergerak maju. Orang lain terus melanjutkan hidupnya.
"Kalau masih tetap di sini, aku bakalan tungguin kamu," kata Jekie yang kembali menghampiri Karin. Tadinya dia sudah berada di dekat mobilnya tapi kembali lagi karena melihat Karin berhenti berjalan dan memperhatikan Miranda.
Lagi-lagi Karin menolak untuk menghampiri Miranda. Walaupun dia tau kalau Miranda membutuhkan seorang teman, tapi Karin juga sangat mengetahui kalau Miranda bisa berbicara hal buruk saat sedang kecewa atau sedih. Untuk sekarang, Karin harus lebih memikirkan perasaannya sendiri dari pada orang lain.
Sedikit lebih egois bisa menyelamatkan diri dari sakit hati.
"Kita pulang aja sekarang. Takut mama kamu kerepotan ngurusin Emily."
****
"Rin, aku boleh tanya soal suami kamu?" tanya Jekie saat mereka sedang berada di dalam mobil dalam perjalanan pulang.
"Hah?" Karin menoleh pada cowok itu karena merasa bingung dengan pertanyaannya.
"Iya ... soal papanya Emily." Jekie juga melihat ke arah Karin dengan tatapan bingung dan sungkan. "Eh, tapi ... kalau kamu enggak mau ngebahas laki-laki itu, enggak masa-"
"Dia cowok yang pengecut," kata Karin memutus ucapan Jekie.
Awalnya Karin bingung dengan pertanyaan Jekie karena dia lupa soal statusnya sebagai ibu Emily. Apa lagi, Karin merasa dia tidak pernah menikah dan memiliki suami. Namun belakangan, Karin mengerti dan ingin memberi tahu Jekie dengan info yang umum. Setidaknya bisa membuat cowok itu bisa mengerti keadaan dia.
"Waktu dia tau, dia punya anak dan harus bertanggung jawab, dia malah serahkan semuanya ke aku karena takut ketahuan sama keluarganya," jelas Karin. Orang yang ada di pikiran Karin jelas saja itu Jemmi saat menjelaskan soal ayah dari Emily.
"Dan dia meninggalkan kamu sama Emily?" tanya Jekie.
"Meninggalkan?" Karin balik bertanya sambil memikirkan jawabannya. "Sejauh ini....."
Ucapan Karin tidak berlanjut karena ponselnya berbunyi. Karin mengeceknya dan melihat pesan dari Jemmi. Hanya ada satu pesan tulisan dan pesan gambar. Pesan gambar itu adalah bukti transfer untuk uang belanja Karin dan Emily selama beberapa waktu ke depan. Pesan lainnya bertuliskan ["Kalau butuh sesuatu kabarin aja, untuk sekarang aku cuma bisa kasih segitu dulu"]
Karin tersenyum melihat layar ponselnya, setelah itu dia kembali lagi pada Jekie. "Sampai mana tadi?"
"Aku tanya, jadi apa dia pergi gitu aja tinggalkan kamu sama Emily?"
"Kalau dibilang pergi gitu aja enggak juga. Dia masih mau tanggung jawab soal kebutuhan aku sama Emily. Cuma, dia enggak mau mengakui kalau itu anaknya."
"Jadi beban pengakuan anak itu, dilimpahkan ke kamu?"
Karin menarik napas panjang dan mengembuskannya. "Ya, begitulah kira-kira."
"Apa kamu enggak merasa keberatan Rin?"
"Keberatan? Aku rasa lebih baik Emily sama aku dari pada enggak sama siapa pun."
"Kalian enggak nikah dan punya anak, di negara hal yang begini sering jadi bahan omongan. Kamu tau itu kan?"
Karin tertegun. Sebelumnya dia tidak pernah memikirkan soal ini. Hal yang dia fokuskan adalah untuk menjaga anak itu agar dia merasa tidak sendirian di dunia ini atau merasa terbuang seperti yang pernah Karin rasakan.
"Mungkin, kalau nanti orang-orang tanya ke mana papa Emily, aku bisa bilang dia sudah meninggal," jawab Karin.
"Kamu ini ternyata benar-benar hebat ya," kata Jekie.
"Hebat gimana?"
"Dulu, tiap pengumuman murid peringkat tiga besar di setiap kelas, nama kamu kan selalu ada. Waktu nama kamu dipanggil aku selalu dengar ada yang ngomong kalau kamu itu hebat. Sori ya, semua orang tau kamu enggak punya orang tua tapi kamu bisa survive dan lebih hebat dari pada anak yang punya orang tua lengkap. Contohnya, aku. Orang tua lengkap, fasilitas ada tapi enggak pernah dapat juara kelas."
Penjelasan Jekie malah membuat Karin terbengong. "Apa aku sehebat itu?"
"Ya," jawab Jekie dengan yakin. "Apa kamu enggak sadari itu? awalnya pun aku enggak percaya. Cuma waktu udah ngobrol langsung sama kamu dan dengan pembahasan hal pribadi gini aku jadi tau kalau kamu beneran orang yang hebat."
Karin tidak pernah menyangka akan mendengar hal yang mengagumkan seperti ini. Dia pikir orang-orang hanya menganggapnya sebagai anak yatim piatu yang butuh dikasihani. Akan tetapi pujian dari Jekie tidak membuat Karin menjadi percaya diri.
"Kalau aku hebat, aku enggak mungkin jatuh ke tangan papanya Emily."
"Dia terlalu brengsek. Gimana kalau kamu sama aku aja?"