Chereads / Terjerat Gairah Semu / Chapter 4 - Pertemuan Tidak Sengaja

Chapter 4 - Pertemuan Tidak Sengaja

Seperti biasa, keesokan paginya Guntur sarapan sendirian tanpa ditemani istrinya, Dara terlihat masih tertidur pulas di atas kursi sofa ruang tengah. Guntur tidak ingin mengganggunya.

Beberapa hari ini Guntur merasa ada perubahan pada istrinya. Kadang nampak lelah, kadang menampakan muka cerah dan ceria. Mungkin Dara sudah sampai di puncak kekesalan hati, hingga menyerah terhadap keadaan, Guntur hanya mampu pasrah, segala usaha telah ia lakukan untuk mengembalikan kesaktian tongkat pusakanya, tetapi masih juga belum menunjukan hasil yang signifikan.

"Ma! Papa pergi, ya!' Guntur menepuk bahu istrinya itu pelan, Dara nampak menggeliat, matanya yang sayu itu menatap Guntur sesaat lalu menganggukan kepalanya pelan sembari berkata, "Iya, hati-hati!"

Malas-malasan, Dara menyalami Guntur. Lalu dengan perlahan bangkit, mengikuti langkah suaminya ke depan teras rumah sampai mobil yang dikendarai Guntur tidak nampak lagi dalam pandangan.

Dara kembali masuk ke dalam rumah menuju ke dalam kamarnya, lalu perlahan merebahkan badannya dan kembali terlelap hingga waktu makan siang tiba,.

Dara terbangun oleh suara ketukan dan panggilan keras bi Lastri yang mengetuk pintu kamarnya. Seperti biasa, Bi Lastri sudah menyiapkan santap siang untuknya. Dara lalu bergegas ke kamar mandi, membersihkan badannya dan menuju ke meja makan.

Setelah makan siang, Dara bersantai sejenak di halaman belakang rumah. Angin kejenuhan mulai menyapanya dengan nada tajam, ia ingin melepaskan penat, menghibur diri sendiri. Sembari merenung, ia berbincang dengan dirinya sendiri, "Jalan-jalan ke Mall sepertinya seru, ya? Cuci mata sembari refreshing, bosan rasanya diam saja di rumah," ucap Dara dalam hati.

Dara segera bangkit dari kursi teras belakang rumah dan bergerak menuju ke dalam kamarnya dan bergegas merapikan diri. Kedua kakinya melangkah santai menuju ke tempat gantungan kunci mobil sembari berteriak ke arah Bi Lastri, "Bi! aku keluar dulu sebentar, ya!"

"Iya, hati-hati!" seru bi Lastri sembari tergesa-gesa menghampiri Dara tanpa banyak bertanya. Bi Lastri lalu membukakan pintu gerbang dan kembali menutupnya setelah mobil yang dikendarai Dara keluar garasi dan menghilang.

Di Mall pusat pembelajaan tengah kota, satu teriakan terdengar di telinga Dara.

"Dara!"

Dara yang tengah melihat beberapa pakaian yang tergantung di sebuah super market itu, segera menoleh ke arah asal suara.

Mata Dara menyapu ke sekitar mencari asal suara yang memanggilnya. Lalu sesaat kemudian darahnya tersirap. Dilihatnya seorang lelaki tampan yang pernah dikenalnya di tempat Gym, menghampirinya sembari tersenyum.

"Kalau tidak salah, itu Farhat, ya?" tanya Dara dalam hati, "wuih, masih ganteng aja …." desisnya pelan tanpa sadar.

"Hai Dara!" Sapa lelaki itu, mendekati Dara sembari melemparinya dengan sebuah senyuman yang memikat hati. Dara membalas senyuman itu dengan memasang wajah manis, keduanya lalu bersalaman penuh keakraban.

"Hai! Farhat, ya? Apa kabar?" ucap Dara balik bertanya.

Lelaki itu tersenyum menatap Dara, "Aku baik, terima kasih," sahut Farhat tersenyum ramah.

Dara mengangguk pelan, pura-pura kembali menyibukan diri memilih pakaian yang di pajang di supermarket itu, lalu kembali bertanya. "Kamu mau kemana? Sendirian?' tanya Dara basa-basi.

"Iya, kebetulan aku kerja di sini," ucap Farhat.

"Oh, begitu, ya."

"iya"

Farhat, lelaki keturunan Bombay yang bertubuh tegap, berwajah ganteng dan berkulit sedikit gelap itu kembali melebarkan senyumnya. Tanpa basa-basi, ia kemudian bertanya, "Aku dengar, kamu sudah menikah, ya?"

"Iya, baru tiga bulan." sahut Dara, tiba-tiba nadanya terdengar tidak bersemangat, seakan malas membahas hal itu, lalu balik bertanya, "kamu sendiri?"

"Semenjak aku dikecewakan, aku tidak pernah punya keinginan untuk menikah atau pacaran. Aku hanya ingin menikmati hidup, tidak mau diganggu hal-hal semacam itu lagi," cerita Farhat, terdengar santai seolah tanpa beban.

"Ah masa, sih! Tidak mungkin!?" tukas Dara, melirik sesaat ke arah Farhat, lalu kembali bertanya, "Sampai sekarang sama sekali tidak ada keinginan untuk berumah tangga? Punya keluarga sendiri, gitu?"

"Tdak ada. Pokoknya, sekarang aku malas menjalin hubungan serius yang mengarah ke pernikahan. Kecuali, hmm ... kalau kawin … kawin mah hayuk! Ahahahaa." Seru Farhat sembari tertawa terbahak, mengerlingkan sudut matanya ke arah Dara, seolah sedang ingin menggodanya.

"Ih, dasar!"

Dara tersenyum simpul, tiba-tiba di dadanya terasa desiran aneh saat menatap senyum Farhat yang manis itu, pun begitu Farhat, ia sedari dulu memang pernah suka kepada Dara, hanya saja belum sempat ia utarakan.

"Oh, iya" kata Farhat kembali, "ngomong-ngomong kamu sama siapa? Sendirian?"

"Iya! Aku sendirian. Pusing di rumah selalu ada saja masalah. Males aku, jenuh sekali di rumah," ucap Dara

"Mengapa? Ada masalah?'

"Males, aja."

Farhat tersenyum ringan, lalu menaikan alisnya sesaat, ia tidak ingin mendesak Dara lebih jauh, terlebih menyangkut masalah di dalam rumah tangganya. Farhat terdiam sebentar, lalu mengamati tubuh Dara sembari tersenyum, "Tapi, sudah 'isi'?" tanyanya.

"Isi apan? angin? gimana mau hamil? Huuft, suamiku tidak bisa," sahut Dara pelan, nampak wajahnya tiba-tiba berubah muram.

"Tidak bisa? Tidak bisa apa?"

"Yaa ... gitu, deh! aku malas cerita. Udah, ah jangan bahas suamiku. Ngomong-ngomong, kamu tinggal di mana sekarang?" Tanya Dara, mengalihkan topik pembicaraan.

"Oke, tidak apa. Jangan dibahas kalau tidak mau cerita ... hmmm aku di Bubat Regency, mampir 'lah kalau sempat." Ucap Farhat tersenyum tipis, basa-basi sembari memancing dalam air keruh. Farhat menduga rumah tangga Dara sedang tidak baik-baik saja. Dalam hati ia masih sedikit berharap, rasa penasaran itu masih ada.

"Oh daerah sana, ya. Siap. Nanti kalau waktunya pas, aku mampir. Shareloc aja lokasi rumahnya." kata Dara. Tiba-tiba di dalam kepalanya seolah ada yang berbisik pelan, otak nakalnya mulai bekerja. Ia berharap menemukan petualangan hebat bersama lelaki di depannya ini.

"Oke! Nomor Whatsapp kamu masih yang lama? Nanti aku kirim lokasinya, ya! Sekarang aku harus masuk ke ruang kerjaku, nih! Kamu hati-hati di jalan, oke?" ujar Farhat, menepuk pundak Dara pelan, lalu berlalu setelah melemparkan senyum ke arah Dara.

Dara hanya membalas senyuman Farhat sembari menganggukan kepalanya pelan. Tidak terasa, dadanya berdebar kencang.

Semenjak pertemuannya dengan Farhat, hati Dara selalu terasa berdesir indah. Kadang ia terlihat melengkungkan senyum sendirian, membayangkan lelaki ganteng yang berkumis tipis dan berkaca mata hitam itu memeluknya dengan penuh gairah.

"Gagah, pasti sangat kuat dan kencang!" Bisik Dara dalam hati. Tanpa disadari, Guntur mulai tersingkirkan dari hati dan pikirannya. Sepertinya ia sudah tidak memperdulikan lagi keadaan suaminya yang tidak bisa memberi nafkah batin kepadanya.

Dara mulai sibuk dengan pikiran dan khayalannya sendiri. Fantasi tentang permainan hasrat yang nakal semakin berkembang liar di kepalanya.

Tetapi, status Dara sebagai seorang istri, membuatnya tidak bisa berbuat banyak. Ia harus tetap berusaha bertahan dan memaksa dirinya bersabar melayani suaminya walau dengan berat hati.

Guntur sebenarnya dapat merasakan, istrinya semakin hari semakin menjauhinya. Bahkan hanya untuk menemani dan melayaninya makan saja, Dara terlihat melakukannya seperti malas-malasan.

Dara merasa sudah jenuh dengan kehidupan rumah tangganya, semakin hari semakin terasa hambar, tanpa ada sedikitpun gairah di dalamnya.

Pikiran dan khayalanya selalu terpaut kepada sosok Farhat, lelaki keturunan Bombay itu telah berhasil menumbuhkan hasrat yang selama ini terpendam dalam dada.

"Kata orang banyak, barang pusaka milik orang bombay itu panjang dan besar, apa benar? Hmm, kalau begitu, punya si Farhat juga dong!? Duuhh ...." Dara kembali berbisik dalam hati, tiba-tiba darahnya bergejolak saat membayangkannya. "Seandainya aku bisa main dengan Farhat, pasti semua hasrat dan khayalanku dapat tersalurkan dengan sempurna! Telah lama aku ingin merasakan bagaimana nikmatnya kepuasan batin yang selama ini tidak aku dapatkan dari suamiku." Ucapnya, terdengar melantur dalam hati, nampak seutas senyum terlukis di wajahnya yang tiba-tiba memerah.