Gerakan pinggul Guntur kembali menghentak, kali ini, ia menjatuhkan tubuhnya ke atas tubuh Dara. Tubuh mereka kini begitu rapat seolah tanpa sekat.
Suara ranjang yang berderit terdengar cukup kencang saat Guntur mendorong dan menarik pinggulnya secara teratur. Tiga bulan penantian membuat Guntur berlaku sangat buas dan liar terhadap istrinya. Ia ingin memuaskan istrinya malam ini.
Napas keduanya terdengar semakin memburu, mereka memacu hasrat yang meledak-ledak dalam dada tanpa lelah, seakan berlomba saling memberi dan menerima rangsangan, demi meraih puncak kenikmatan.
Setelah beberapa kali dorongan dan tarikan pinggul Guntur menghantam organ intim kewanitaan Dara dengan pola teratur, Guntur nampak mulai mempercepat gerakannya. Sesuatu dalam dirinya mulai terasa seakan ingin segera mendesak keluar dan meledak saat itu juga.
"Aaaaaahhh ... sayang ... a-akuu mau keluaaar!" teriakan tertahan terdengar pelan dari mulut Guntur, semakin lama hentakannya semakin kencang, hingga akhirnya tubuhnya menegang untuk sesaat, lalu melemas setelah memuntahkan lahar panas ke dalam organ intim kewanitaan istrinya.
Bersamaan dengan itu, Dara nampak meliuk-liukan tubuhnya sembari mendesis penuh kenikmatan. Tanpa sadar ia mendesah sembari memanggil nama Farhat, "Sssssshhh ... Aaaaahhhh ... Farhaaat! a-aakuu mau ke-keluaaar!" Teriak Dara tanpa sadar.
Alam imaji di dalam dunia khayal seolah menggerakan alam bawah sadarnya, hingga tidak terasa ia medesah lirih memanggil nama Farhat.
Kedua bola mata Guntur seketika membulat sempurna, darahnya mendidih penuh amarah. Dengan tergesa-gesa Guntur segera mencabut batang kelelakiannya dan bangkit berdiri dengan muka yang memerah. Nampak sekali dari raut wajahnya kemarahan yang memuncak, meluap hingga membuncah dalam dada.
"Apa?!! Siapa Farhat?! Hah?! Wanita jalang! rupanya kamu ada main di belakangku Hah!?" Teriak Guntur tidak bisa menahan amarahnya yang tiba-tiba meledak dengan sempurna.
Kedua tangna Guntur kini sudah diletakan di atas pinggangnya sembari melotot ke arah istrinya yang nampak terkaget.
Dara segera duduk di tepian ranjang, kedua tangannya ia silangkan di atas dada, sedangkan kepalanya nampak menunduk lemas. Dalam hati ia mengutuk dirinya sendiri. Terdengar suaranya berkata pelan, "eh, ga-gaak, bu-bukan be-begitu ... Ma-ma ma ga- gak ber-bermaksud be-begitu, Pa," ucap Dara terbata-bata, ia nampak terkesiap. sembari menutup mulutnya, Dara kemudian kembali memaki kebodohan diri.
"Bohong! jangan-jangan ... saat aku menelepon, sebenarnya kamu bukan sedang kepedesan, 'kan?! Suara kamu di telepon sama persis dengan suara mendesahmu barusan! Sebenarnya aku sudah curiga … dasar wanita jalang gatal!" Maki Guntur. Suaranya terdengar menggelegar menahan amarah, kedua matanya membulat sempurna menatap tajam ke arah Dara yang tertunduk lemas. Lalu, dengan tergesa-gesa Guntur segera mengenakan kembali pakaiannya.
Dara sudah tidak mampu berkelit lagi, semuanya sudah terbongkar akibat kebodohannya, sepertinya ia terlalu mengkhayati alam imajinya sendiri hingga tanpa sadar memekik memanggil Farhat saat ia sedang melakukan penyatuan diri dengan suaminya.
Pengkhianatan yang ia lakukan akhirnya harus terkuak dengan sendirinya. Terlebih ketika Guntur meminta ponsel Dara dan memeriksa semua pesan masuk dari aplikasi berbagi pesan, Guntur menemukan ruang chat antara istrinya dengan Farhat. Betapa rasa sakit itu begitu mengiris hati Guntur. Sebagai lelaki dan kepala rumah tangga, ia sudah merasa gagal membangun mahligai rumah tangga yang harmonis penuh kemesraan seperti yang selalu ia impikan.
Semuanya akibat kelemahan pada syahwatnya, Guntur mengakui hal itu, tetapi kenapa harus pada saat ia sudah mulai sembuh?
Kedua mata Guntur nampak semakin memerah menahan rasa benci dan amarah, hatinya kini benar-benar kusut, sekusut rambut dan raut di wajahnya. Beberapa kali ia melangkahkan kaki tanpa arah. Bolak-balik di hadapan istrinya yang masih nampak tertunduk lemas.
Sembari beruraian air mata, Dara akhirnya mengakui perselingkuhannya.
"Ma-maafkan a-aku, Pa … a-aku khi-khilaf," ucap Dara terbata-bata. Ia tidak tahu lagi harus berkata apa. Dara nampak sudah pasrah, apapun keputusan suaminya harus ia hadapi sebagai konsekuensi atas perbuatan yang terlarang itu.
Guntur lalu duduk di kursi samping ranjang dengan perasaan yang tidak menentu. Perlahan, ia menarik napasnya, berusaha meredam emosi yang bergejolak dalam jiwa, lalu ia berkata dengan sangat pelan, "Pakai bajumu, sekarang juga tinggalkan rumah ini, besok aku akan segera urus perceraian kita," ucap Guntur, menundukan kepalanya dengan lesu.
Ia sangat kecewa, karena merasa sudah gagal membangun rumah tangganya. Kini ia akan menyerahkan kembali Dara kepada orang tuanya, atau kemanapun Dara akan pergi, Guntur sudah tidak perduli.
"Oh, iya. Kamu hanya bisa membawa mobil pemberian orang tuamu saja, aku tidak akan memberimu apa-apa!" Lanjut Guntur masih dengan amarah yang tertahan.
Mendengar ucapan Guntur, Dara nampak semakin lemas, tabungan di rekeningnya sudah sangat menipis. Tidak mungkin ia kembali ke rumah orang tuanya dan menceritakan semua yang terjadi di dalam rumah tangganya bersama Guntur.
Dara tidak ingin menceritakan aibnya sendiri kepada orang tuanya. Bukan dekapan dan uluran tangan yang akan ia terima, tetapi gamparan dan kemarahan yang meledak-ledak, terlebih dari Papinya yang tidak pernah bisa menahan emosi walau ke anaknya sendiri.
Dengan perlahan, Dara bangkit menuju tepian ranjang dan mengenakan kembali pakaiannya dengan lesu. Raut wajahnya masih menampakan penyesalan.
Semua yang terjadi memang salahnya, ia sudah terbuai dan terlena dengan alam imaji dan dunia khlayal yang ia ciptakan sendiri.
Dan ketika khayalannya menjadi nyata, Dara semakin tenggelam ke dalam gairah dan hasrat liar yang tertahan selama usia pernikahannya.
Hanya ada sedikit kata yang terucap dari bibir Dara saat ia bangkit dan berdiri, bersiap untuk melangkah keluar dari kamar, "Maafkan Mama, Pa ...." ucapnya lemah, dari kedua matanya nampak beberapa tetes air yang mulai membasahi pipi.
Guntur menatap sekilas ke arah istrinya, menghela napasnya dalam-dalam berusaha mengusir segala kemarahan dan kekecewaan dalam diri. Ia sama sekali tidak menyangka Dara akan berbuat senekad itu. Mencari kepuasan di luar rumah, saat ia berusaha keras untuk dapat segera menyembuhkan kelemahannya.
"Semua sudah terjadi, aku tidak sepenuhnya menyalahkanmu. Untuk saat ini aku hanya ingin sendiri, kamu jangan khawatir, secepatnya aku akan urus perceraian kita. Aku tidak dapat menerima pengkhiantan yang telah kamu lakukan. Disaat aku sudah mulai sembuh? Tega kamu Dara!" Seru Guntur sembari mendengus kesal.
Ingin rasanya ia mencabik-cabik muka cantik istrinya itu, lalu berlari dan melabrak lelaki yang telah menjamah tubuh istrinya dengan brutal dan membabi-buta.
Tetapi hal itu tidak akan pernah bisa mengembalikan semuanya. Rumah tangganya sudah hancur semenjak dari awal ia menyadari kelemahan syahwatnya.
Perlahan, Dara melangkahkan kakinya keluar kamar, menyusuri ruang tengah hingga ke depan rumah yang telah 3 bulan ini ia tempati bersama Guntur.
Kini, hanya ada satu tempat yang dapat ia tuju, ia harus kembali ke Bubat Regency, menemui Farhat dan menceritakan semuanya.
Dara berharap Farhat dapat menerimanya, walau ia tahu Farhat tidak ingin terikat serius dengan siapapun.