"Pakai bajumu! Sekarang juga tinggalkan rumah ini, besok aku akan urus perceraian kita."
Kalimat yang keluar dari mulut Guntur seakan kembali bergema di kepala, berulang-ulang memenuhi alam pikirnya. Dara nampak menghela napas panjang. petualangannya mencari kenikmatan di luar rumah mengakibatkan rumah tangganya harus berakhir malam ini juga.
Dara mengakui kesalahannya. Ia sudah menyakiti hati suaminya, mengkhianati janji suci yang diikrarkan dihari pernikahan mereka. Ia seolah sengaja melakukannya, perselingkuhan dengan lelaki keturunan Bombay itu telah membuatnya hanyut, terbawa permainan gairah yang memabukan.
Kualitas permainan Farhat di atas sofa ruang tamu saat itu, membuatnya benar-benar lupa diri, hingga rela menyerahkan seluruh tubuhnya bebas dinikmati oleh lelaki keturunan Bombay yang dikenalnya di tempat gym yang biasa mereka sama-sama kunjungi.
"Huuft, Farhat ... aku tahu kamu tidak ingin terikat, apalagi berurusan lagi dengan pernikahan. Tetapi, sebentar lagi aku akan bercerai. Mau 'kah kamu menikahiku, Farhat?" tanya Dara dalam hatinya gelisah.
Tiba-tiba, Dara menghentikan mobil yang dikendarainya di bahu jalan, lalu mengambil ponselnya dengan cepat. Ia nampak buru-buru mencari kontak Farhat dan mengirimkan pesan singkat untuknya.
"Aku di jalan, menuju ke rumahmu, ya!" isi pesan teks itu langsung ia kirimkan. Nampak centang dua berwarna abu-abu, tanda pesan singkat itu telah terkirim, hanya saja belum dibaca oleh penerimanya. Dara kembali menutup ponsel, lalu menaruhnya di dashboard.
Perlahan, ia kembali meluncur pelan ke arah Bubat Regency, tempat tinggal Farhat. Ia harus menemuinya dan menceritakan semua tentang kondisi rumah tangganya yang kini telah hancur.
Menyesal pun rasanya percuma, rumah tangga yang baru berusia tiga bulan itu memang tidak memiliki pondasi yang benar-benar kuat. Bukan soal ekonomi, Guntur adalah lelaki dewasa yang mapan. Ia mempunyai semuanya, kecuali kejantanan.
Kini, Dara berharap Farhat menerimanya, bukan hanya sebagai partner demi mencapai puncak napsu saja, tetapi juga sebagai pendamping hidup, bersama membangun hubungan yang lebih serius demi masa depan yang diselimuti kebahagiaan.
Beberapa menit perjalanan, Dara tiba di depan rumah Farhat, dahi Dara nampak berkerut. Ia merasa mengenali mobil kuning yang terparkir di depan halaman rumah Farhat.
"Eh, itu mobil Sarah, ya? sedang apa di rumah Farhat?" tanya Dara dalam hati curiga. Ia kemudian bergegas memarkirkan mobil, lalu buru-buru berjalan ke arah pintu. Langkah kakinya cepat, dadanya berdebar kencang, kecurigaan memenuhi kepalanya.
"Tok! Tok! Tok!"
Tergesa-gesa Dara mengetuk pintu kediaman Farhat beberapa kali. Lama tidak terdengar jawaban. Ia nampak menunggu di depan pintu dengan gelisah, lalu kembali mengetuk pintu berulang-ulang, kali ini lebih kencang.
"Tok! Tok! Tok!"
"Ya! Sebentar!"
Terdengar suara Farhat dari dalam rumah, perlahan suara derap langkah kaki mendekat, lalu sesaat kemudian pintu rumah Farhat terbuka. Sosok lelaki keturunan Bombay itu nampak tersenyum ke arah Dara, dan menyapanya. "Hai! Masih kangen, ya? Baru tadi sore di sini, sekarang udah balik lagi, hehe." Ucap Farhat tenang. Seulas senyum melingkar di wajahnya, nampak setetes keringat masih menempel di keningnya.
Dahi Dara mengkerut melihat wajah Farhat yang nampak kelelahan itu, ia merasa curiga. Lalu tanpa menjawab pertanyaan Farhat, Dara menjulurkan kepalanya ke dalam rumah. Pandangannya menyapu seluruh ruangan di dalam rumah Farhat. Dilihatnya Sarah sedang duduk santai di ruang tengah sambil menghisap rokok putih yang terselip di antara jari-jarinya.
"Sarah!?"
"Dara?!"
Mereka saling menatap curiga, bola mata keduanya nyaris membulat sempurna. Dara segera melangkah masuk ke dalam rumah sembari menyingkirkan lengan Farhat yang menghalangi langkahnya di depan pintu.
"Sedang apa kamu di sini?" tanya Dara. Nada bicaranya terdengar curiga.
"Lah! Kamu sendiri lagi ngapain di sini? Aku memang sudah biasa main ke sini, tanya Farhat!" sahut Sarah enteng, lantas berdiri tegak dan melipatkan kedua tangan di depan dadanya.
"Mak-maksudnya, ka-kalian a-ada hubungan?" tanya Dara, mengalihkan pandangannya ke arah Farhat yang terlihat tenang dan tidak menunjukan beban apa-apa. Dara mendelik, mukanya memerah. Ia mencium aroma kebusukan di antara keduanya.
Tetapi, ia merasa tidak bisa berbuat banyak. Dara dan Farhat memang tidak mempunyai status hubungan apapun, bahkan saat mereka melakukannya di sofa ruang tamu, semuanya mengalir begitu saja. Tidak ada sedikitpun terucap kalimat yang membangun komitmen atas hubungan mereka. Semuanya dilakukan atas dasar suka sama suka. Aneh rasanya jika Dara merasa cemburu dan di khianati.
"Iya, Sarah memang suka kesini, ia pelanggan setiaku," ucap Farhat tanpa merasa risih sedikitpun.
"Pelanggan? Mak-sudnya, pe-pelanggan apa?" tanya Dara semakin tidak mengerti, dahinya kembali berkerut lebih rapat.
"Aku memang membuka jasa …." Sahut Farhat enteng.
"Jasa? Jasa apa?" Dara kembali bertanya bingung. Ia benar-benar tidak mengerti arah pembicaraannya itu.
"Kamu tidak tahu?" tanya Sarah, tiba-tiba mendekati Dara sembari mengukir senyum di wajahnya, dengan tenang berdiri di samping Farhat.
Dara menggelengkan kepalanya pelan. Dadanya tiba-tiba terasa sesak, berharap dugaannya meleset.
"Jasa Farhat banyak dicari wanita-wanita seperti kita. Bukan 'kah kamu ke sini untuk mendapatkan jasa dari keperkasaan Farhat, juga 'kan?" tanya Sarah sembari kembali melengkungkan senyum di wajahnya dengan genit, mengerling manja ke arah Farhat.
Dara membelalakan kedua bola matanya, menatap ke arah Farhat, lalu ke arah Sarah bergantian, berharap pendengarannya mengalami kerusakan, agar semua yang didengarnya berubah menjadi sebuah lelucon. Semua itu tidak mungkin terjadi.
Lengan Sarah yang melingkar di pinggang Farhat tanpa ragu mematahkan harapannya. Dara lalu terlihat menghela napas panjang, tidak pernah terlintas dalam pikirannya, jika Farhat adalah seorang lelaki pemuasan hasrat kaum wanita.
"Be-benar 'kah seperti itu, Farhat?" tanya Dara, suaranya terdengar bergetar. Kedua bola mata tajam menatap Farhat, meminta penjelasan yang ia tahu itu akan melukai hatinya.
"Seperti kataku tempo hari, aku tidak ingin ada ikatan apapun. Dan, iya Dara … jika ada wanita kesepian yang membutuhkan jasaku, aku akan dengan senang hati membuat mereka merasakan kepuasan yang tidak akan dapat dilupakan begitu saja." Sahut Farhat, sama sekali tidak memperdulikan raut wajah Dara yang seketika berubah memerah menahan amarah.
Tubuh Dara tiba-tiba melemas, ia segera mencari sandaran dan terduduk tanpa tenaga di kursi sofa ruang tamu. Kursi sofa yang menjadi saksi awal penyatuan dirinya dengan Farhat. Kenikmatan yang ia terima saat itu memang sangat memabukannya, hingga tanpa sadar ia telah mempertaruhkan rumah tangganya sendiri.
Kini, ia tidak tahu lagi kemana harus melangkahkan kaki. Uang pegangan habis, tabungan di rekeningnya pun hanya tinggal tersisa sedikit. Sedangkan Guntur hanya mengizinkannya membawa mobil pemberian orang tuanya saja, tanpa sedikitpun memberinya lebih.
Farhat yang menjadi harapan satu-satunya ternyata hanya menginginkan tubuhnya saja, tanpa ada rasa lain seperti yang ia miliki untuknya.
"Kamu jahat, Farhat … kamu jahat!" ucap Dara pelan, kepalanya nampak tertunduk, ia berusaha keras agar tidak menumpahkan air matanya di depan mereka.