Chereads / Terjerat Gairah Semu / Chapter 14 - Suci

Chapter 14 - Suci

Sementara itu, keesokan harinya.

Jauh di tempat Dara sekarang berada, Guntur nampak gelisah, kejadian tadi malam membuatnya sangat terpukul. Bagaimana tidak? Istri yang ia cintai ternyata tega berbuat serong dengan lelaki lain di saat ia sedang berusaha mengembalikan kejantanannya.

Perih terasa menyayat hatinya, justru disaat ia sudah mendapatkan kembali kegagahannya, istrinya berteriak dengan sangat jelas memanggil nama lelaki lain pada saat mereka sedang bercinta. Jiwa Guntur meledak seketika, rasanya ingin sekali ia mencabik-cabik tubuh istrinya saat itu juga.

"Aarrrrgh!" teriak Guntur, nampak tangan yang ia kepalkan, melayang dengan cepat memukul udara kosong. Lalu, dalam amarah yang menumpuk dalam dada, ia nampak meremas rambut di ujung kepalanya dengan kuat, sembari duduk lemas di kursi sofa tengah rumahnya, ia terlihat membuang napasnya kuat-kuat, seakan ingin segera mengusir keresahan dalam hatinya.

"Tu-tuan, sa-saya izin permisi be-belanja kebutuhan dapur bulanan, ya …." Tiba-tiba Bi Lastri mendatanginya dengan keragu-raguan. Sepertinya bi Lastri memahami apa yang tengah dialami tuannya. Raut wajah bi lastri terlihat mengkhawatirkan keadaan tuannya itu, namun ia hanyalah seorang assisten rumah tangga, tidak ada yang dapat ia lakukan.

"Iya, bi … hati-hati," sahut Guntur tanpa melihat ke arah bi lastri, suaranya terdengar lemah dan sangat tidak bergairah.

Bi Lastri menganggukan kepalanya pelan lalu berjalan meninggalkan Guntur sendirian dengan segala kekalutan hatinya. Tidak beberapa lama kemudian setelah bi Lastri menghilang, Guntur terlihat mengangkat kepalanya, lalu melangkahkan kedua kakinya menuju ke lemari pendingin dengan gontai. Pintu kulkas itu ia buka, nampak beberapa minuman dan makanan ringan yang memenuhi lemasi pendingin itu. Guntur lalu mengambil satu botol minuman yang mengandung alkohol yang di belinya semalam.

Sisa minuman yang nampak tinggal setengah lagi itu, tanpa ragu langsung ia tenggak hingga seperempatnya, Sedari malam, Guntur memenuhi isi perutnya dengan minuman beralkohol itu hingga kepalanya terasa seakan berputar kencang dipengaruhi alkohol. Semalam suntuk ia mengutuk hidupnya, mencaci nama istrinya sembari menangis dan berteriak kencang. Ia benar-benar merasa tertekan.

"Arrrghh! Ma! Kenapa disaat Papa sudah sembuh, Mama berbuat seperti itu? Tega sekali kamu Ma! Semoga kamu mendapatkan karma atas semua perbuatan Mama!" Teriak Guntur, raut wajahnya nampak mulai memerah dipenuhi amarah.

Guntur nampak bolak-balik dari ruang tengah ke teras halaman belakang rumah, langkahnya gontai. Sesekali, leher botol yang di cekiknya itu ia arahkan kembali ke mulutnya, menenggak sebagian besar isinya dengan membabi buta. Guntur seakan tidak lagi memperdulikan keadaannya sendiri, wajah yang kusut dengan rambut yang terlihat acak-acakan tidak lagi mencerminkan Guntur yang selalu rapi dan wangi. Ia benar-benar telah hancur, hasrat dan gairah yang tertahan selama 3 bulan pernikahan mereka berantakan, justru bertepatan dengan kesembuhannya, ia tidak bisa menerima semua itu.

Padahal, obat dari Banten itu sungguh sangat mujarab, bahkan menurut informasi yang diterimanya, obat itu akan berfungsi setiap hari dari pagi hingga malam. Terlebih jika telah di minum secara rutin dengan dosis yang besar.

Dan Guntur telah melakukan semua itu, selama seminggu ini ia rutin meminum ramuan dari Banten itu 3 kali setiap hari, sesuai dengan instruksi dari sananya.

Setelah kepergian Dara, tongkat pusaka Guntur sama sekali tidak melemah seperti biasanya, organ vitalnya itu selalu tegak berdiri dengan kencang hingga pagi hari ia terbangun, tongkat pusakanya masih saja tetap berdiri dengan gagah, membuatnya merasa pegal sendiri.

Karena itulah, akhirnya Guntur membeli minuman beralkohol itu. Ia ingin menghilangkan setengah kesadarannya agar dapat melupakan gairah dan hasrat yang meluap-luap dalam diri.

"Argh! Sialan! Jika saja Mama tidak berbuat serong, aku dapat menyalurkan hasrat dan gairahku yang sudah tertahan selama 3 bulan ini dengan sangat hebat! Bahkan, kita bisa melakukannya dari malam sampai beberapa hari ke depan! Argh! Sialaan!"

Sembari terduduk lemas di kursi belakang teras halaman rumahnya, Guntur kembali berteriak kencang, kebetulan bi Lastri sedang keluar rumah untuk membeli kebutuhan bulanan, sehingga ia bisa dengan bebas melampiaskan kemarahannya dengan berbuat dan berteriak apa saja sendirian, tanpa harus merasa malu kepada bi Lastri.

Bagaimanapun, bi Lastri sudah ia anggap sebagai keluarga sendiri, bi Lastri sudah mengikuti keluarganya hampir dari 20 tahun, dari kedua orang tua Guntur masih ada, sampai orang tua Guntur meninggal, hingga sekarang bi Lastri ikut dengannya. Dari dulu bi Lastri 'lah yang mengurus segala kebutuhannya, memanggilnya dengan sebutan Tuan Muda, menyiapkan makan hingga memandikannya. Bi Lastri sudah seperti ibunya sendiri.

Selagi Guntur tenggelam dalam kekalutan hati, tiiba-tiba terdengar suara bunyi bel rumah berdentang dengan keras.

Guntur terdiam untuk sesaat, tetapi ia tidak merasa sedang menunggu tamu siapapun hari ini. Keningnya nampak berkerut, lalu dengan gerakan malas, ia pun berdiri dan melangkah pelan menuju ke pintu depan rumahnya.

"ceklek!"

Pintu rumah terbuka, samar terlihat satu raut wajah dalam pandangan kedua matanya, pengaruh alkohol sudah mulai mengusai Guntur, terlihat dari gerakan tubuhnya seakan tidak lagi seimbang, nampak bergoyang ke kiri dan ke kanan dengan perlahan.

"Se-selamat pa-pagi, Tu-tuan," ucap tamu itu sembari membungkukan tubuhnya sedikit, dari gesturnya ia terlihat sangat menyegani tuan rumah yang telah membukakan pintu rumahnya itu. Ia sama sekali tidak menyangka jika yang akan membukakan pintu itu adalah tuan rumah sendiri.

"Pagi, siapa ya?" tanya Guntur, memicingkan kedua matanya, berusaha untuk menajamkan penglihatan pada kedua bola matanya. Ia merasa pernah melihat gadis cantik ini, tetapi ia benar-benar lupa, dimana ia pernah melihat gadis yang sekarang tengah berada di depannya itu.

Gadis dengan dandanan sederhana itu memang sangat cantik. Kedua bola matanya bening dengan hidung yang sedikit mancung dan bibir tipis berwarna merah muda tanpa polesan apapun, gadis itu benar-benar nampak cantik natural.

Seketika, batang besar milik Guntur semakin mengeras, kedua bola matanya seakan tak berkedip melihat ke arah gadis itu dengan menahan letupan gairah dalam dada yang tiba-tiba bergejolak.

"Sa-saya Su-suci, tuan …." Masih dengan suara yang bergetar pelan, gadis itu mengenalkan diri. Perlahan ia nampak menjulurkan tangannya bermaksud untuk menyalami Guntur.

Guntur lalu menyambut uluran tangan tersebut sembari dalam kepalanya masih mengingat-ingat tentang gadis ini, terlebih saat Suci mulai mencium punggung tangannya sebagai tanda hormat.

Menyentuh kulit tangan gadis itu, dada Guntur terasa semakin berdebar kencang, gairahnya benar-benar meletup-letup. Ingin rasanya ia segera menerkam gadis itu lalu membawanya langsung ke dalam kamar. Tetapi dalam kepalanya masih tersisa kewarasan.

"Suci?" tanya Guntur dengan kening yang berkerut. Ia benar-benar tidak bisa mengingat sosok gadis di depannya itu.

Gadis sederhana yang kecantikan alaminya mengalahkan kecantikan palsu gadis-gadis kota pada umumnya, membuat Guntur semakin penasaran. Tangannya seakan tertempel erat dan sulit untuk dilepaskan, membuat Suci merasa salah tingkah dan sedikit ketakutan.

I-iya, Tuan, sa-saya Su-suci, anak bi Lastri ….." ucap Suci terbata-bata seraya berusaha melepaskan genggaman tangan Guntur yang semakin kuat ia rasakan. Tatapan mata Guntur yang seakan ingin melahapnya saat itu juga membuat bulu kuduk Suci berdiri. Terlebih aroma alkohol yang dapat ia cium membuatnya bertanya-tanya dalam hati. Guntur yang ia kenal, bukan 'lah seorang peminum apalagi pemabuk.