Farhat seolah tidak memperdulikan Dara yang sedang menerima panggilan telepon dari suaminya, Dara mengelak, berusaha untuk menolak. Ia tidak ingin sampai ketahuan suaminya.
Dara nampak membelalakan kedua matanya ke arah Farhat sembari menggelengkan kepalanya beberapa kali, dari bahasa bibirnya, Farhat dapat memahami teriakan Dara yang tanpa suara itu, seolah berteriak, "Jangan!"
Tetapi Farhat tidak perduli, dengan sekali hentakan, senjata pusaka milik Farhat kembali tenggelam ke dalam tubuh Dara. Seketika Dara memejamkan matanya dan mendesah pelan, "Aaaaaahhhh ... Ssssshhh ..."
"Mama! Mama dimana? sedang apa?!" terdengar suara kencang dari suaminya dari seberang telepon. Batang kelelakian Farhat masih tetap usil menyelinap masuk ke dalam celah sensitif miliknya, untuk sesaat Dara lupa jika ia sedang menerima telepon dari suaminya.
"Euuummm Ssssshhh aaduuhhh ... Pa, Ma-mama la-lagi di Mall, ta-tadi ha--habis makan pe-pedes banget, i-ini lagi di toilet. Ben-bentar la-lagi a-aku pulang, ya Pa! Aaahhh Ssssshhh eeeuuummpph ..." Dengan susah payah Dara berusaha tenang menjawab telepon suaminya sembari menahan desisan lemah, seperti orang yang habis makan makanan pedas terlalu banyak, tetapi nada bicaranya seakan sedang kelelahan.
Kedua mata Dara kembali terpejam, merasakan sensasi yang sangat luar biasa dari batang kelelakian Farhat yang tanpa henti menghentakan pinggulnya, menusuk-nusuk area paling sensitif di tubuhnya berulang kali.
Dari seberang telepon, Guntur nampak stress, berusaha mempercayai semua yang dikatakan istrinya, lalu berkata pelan, "Ya sudah, cepat pulang! Papa sudah tidak sabar ingin membuktikan khasiat dari Banten ini, Ma!"
"I-iiyaa, Pa!"
Sambungan telepon itu pun terputus, Farhat kembali dengan gencar menyerang Dara, lalu beberapa saat kemudian Farhat mengangkat tubuh Dara dan memintanya untuk membelakangi tubuhnya.
Dengan posisi membelakangi Farhat, Dara kembali menerima sodokan cepat dan teratur dari senjata pusaka Farhat yang besar dan panjang itu secara bertubi-tubi. Irama hentakan pinggul Farhat membawa Dara ke alam dimensi lain yang memabukan.
Dara nampak pasrah menikmati permainan gairah yang disuguhkan lelaki keturunan Bombay yang dikenalnya di tempat gym kala itu.
Semua yang terjadi saat ini atas kehendaknya sendiri. Perihal urusan nanti, Dara tidak ingin memikirkannya sekarang.
Desahan demi desahan semakin liar keluar dari mulut Dara, Farhat nampak mempercepat gerakannya. Kedua tangan Farhat erat memegang pinggang Dara, sesekali tangannya menjulur ke arah depan, menuju kedua bukit kembar milik Dara dan memainkannya, memutar sebutir daging yang berada di puncak bukit kembar itu dengan perlahan.
"Sssssshhhh aaaahhhhh ... sayaaang ...." Dara kembali meracau, mendesah, liar dan berisik saat menikmati semua rangsangan yang diberikan Farhat untuknya.
Beberapa menit berlalu, hentakan pinggul Farhat semakin bertambah kencang. Suara beradunya kulit pinggul dan pangkal paha kembali terdengar kencang, sampai akhirnya Farhat pun menemui titik klimaksnya.
"Sssssshh ... Aaaahhhh ..."
"Uuuuuuuggghhh .... Aaaaaaahhhh ..."
Untuk sesaat tubuh Farhat terlihat menegang, sebelum akhirnya terkulai lemas memeluk tubuh Dara dari belakang, sembari menciumi leher dan area belakang telinganya.
Dara menahan geli dengan meliukan tubuhnya perlahan. Kepuasan nikmatnya penyatuan diri yang selama ini hanya menjadi khayalannya saja akhirnya ia dapatkan dari lelaki yang bukan suaminya, lelaki yang beberapa hari ini menjadi bahan imajinasi dari alam khayalnya.
"enak?" bisik Farhat.
"Huum," sahut Dara manja memeluk sebelah tangan Farhat yang masih memeluknya dari belakang. Lalu perlahan mereka melepaskan lingkaran tangan, dan merebahkan badan di atas soda ruang tamu itu.
"Aku harus segera pulang," ucap Dara pelan.
"Huum, kembali 'lah ke sini jika kamu menyukai permainana kita barusan," sahut Farhat sembari tersenyum ke arah Dara.
Dara mengangguk pelan, memandang ke arah Farhat sembari membalas senyumannya itu. Desiran hangat kembali menjalar di dalam hatinya. Ia masih tidak mengetahui kemana arah hubungannya dengan Farhat ke depan nanti.
Dara masih ingat, Farhat tidak mau terikat dalam hubungan yang serius, apalagi mengarah ke pernikahan.
Dara menghela napas pendek mengatur kembali aliran napasnya agar kembali normal, lalu perlahan bangkit dan bersiap untuk kembali pulang ke suaminya.
Satu persatu pakaian yang terlempar dan terdampar di lantai, ia kenakan kembali. Pun begitu Farhat, bergegas menutupi tubuhnya yang kekar dan gagah itu dengan pakaiannya yang sama-sama tergeletak di sembarang tempat.
Setelah merapikan diri dan memoles wajahnya dengan bedak dan lipstik alakadarnya, Dara lalu menatap Farhat sembari ucap pamit.
"Farhat, aku pulang, ya," ucap Dara, satu lengkungan senyum puas nampak menghiasi wajahnya.
"Huum, oke. Hati-hati di jalan." sahut Farhat, lalu memeluk pinggang Dara dan mendaratkan sebuah ciuman di bibirnya dengan lembut.
"Cup!"
Dara menyambut kecupan itu, memeluk tubuh kekar Farhat dengat erat, lalu berbalik arah menuju ke gerbang depan, bersiap kembali pulang ke suaminya.
Wajahnya nampak kelelahan, pertarungan dahsyat itu membuatnya kehilangan banyak tenaga. Entah masih sanggup atau tidak jika ia harus melayani Guntur, suami yang sudah menunggunya di rumah.
Guntur yang katanya baru sembuh, tidak mungkin jika ia tidak ingin mencoba khasiat obat-obatan yang diperolehnya dari Banten itu.
Dara kembali menghela napasnya panjang. Setelah pertemuan dan penyatuan dirinya dengan Farhat, gairah terhadap suaminya seakan memudar perlahan. Semua akibat dari kekesalan hatinya yang telah menunggu terlalu lama hingga ia harus melakukannnya sendirian dan berakhir dalam sebuah pengkhianatan yang ia nikmati.
Sepanjang perjalanan, lamunan Dara memenuhi seluruh isi pikiran dalam kepalanya. Untuk saat ini ia masih belum bisa menentukan, dengan siapa akhirnya ia akan melabuhkan hati, perasaan serta tubuhnya.
Atau, haruskah ia tetap seperti ini? Menjadi seorang istri Guntur. Sementara Guntur sendiri tidak bisa menjamin sampai kapan khasiat obat itu berfungsi, lalu akhirnya Dara tetap mencari kepuasan dari pelukan lelaki lain yang bukan suaminya.
Langit di luar nampak gelap, tidak terasa hari sudah malam, muka lesu nampak jelas di wajah Dara. Lelah yang membawa serta kenikmatan itu membuat tubuhnya lemas, seolah telah kehabisan tenaga.
Setelah beberapa menit perjalanan, akhirnya Dara sampai di depan rumah. Dengan segera ia membunyikan klakson mobilnya.
"Tiiiid!"
"Tiiidd!"
"Iyaaa, sebentaar!"
Terdengar suara teriakan Guntur dari dalam rumah, nampaknya bi Lastri sudah terlelap dalam mimpi setelah seharian bekerja membereskan segala pekerjaan rumah.
Langkah Guntur nampak tegap menghampiri gerbang depan rumahnya. Wajahnya berseri-seri, ia merasa telah mendapatkan harapannya kembali untuk melanjutkan dan menciptakan keharmonisan rumah tangga yang sempat terganggu karena masalah syahwatnya yang lemah beberapa bulan ini.
"Ma! Aku sudah sembuh!" teriak Guntur kepada istrinya, sebuah senyum lebar nampak mengembang di wajahnya. Guntur terlihat sudah sangat tidak sabar, ingin segera menunaikan kewajibannya sebagai seorang suami yang sempat tertunda selama beberapa bulan usia pernikahannya.
"huum ...." sahut Dara lemas tanpa gairah.
"Mama kenapa? gak senang Papa sembuh?"
"Gak apa-apa, Mama cuma capek aja, Pa," sahut Dara sekenanya.
Guntur memandang istrinya sembari mengerutkan kening, wajah lusuh Dara terlihat seakan ia telah berolahraga berat yang melelahkan.
"Katanya habis makan makanan pedas, ya? sakit perut? Mama terlihat pucat dan lusuh, kayak yang kecapean, Mama habis ngapain aja sampai pulang malem?" tanya Guntur, memberondong Dara dengan banyak pertanyaan.