Chereads / Terjerat Gairah Semu / Chapter 1 - Kelemahan Suami

Terjerat Gairah Semu

🇮🇩JariiTengaah
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 30.3k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Kelemahan Suami

"Nyonya! Tuan sudah menunggu!" Bi Lastri berteriak pelan setelah mengetuk pintu kamar. Dara menarik napas perlahan, lalu membuangnya dengan sedikit gusar. Sejenak ia terdiam, kemudian melemparkan pandangannya jauh ke sebelah utara lewat jendela.

"Suruh saja makan duluan! Aku mau tidur lagi. ngantuk! Katakan padanya, Bi!" Sahut Dara. Nadanya masih terdengar kesal, menahan geram dalam hati.

Mendengar nada bicara majikannya yang ketus seperti itu, Bi Lastri hanya menganggukan kepala tanpa menjawab sepatah kata pun. Dalam hatinya bertanya seperti kebingungan, "tadi malam, tidak mendengar ada pertengkaran ... ada apa, ya?" bisik hatinya bertanya.

Rasa penasaran dalam hatinya membuat bi Lastri berbincang dengan dirinya sendiri, "mereka memiliki rumah besar dan mewah. Mobil masing-masing satu, isi rumah penuh dengan barang-barang mewah, masih saja ada pertengkaran? Apakah ada selisih paham? Cemburu? Hmm ... atau soal itu!? Iya benar, pasti soal itu. Namanya juga pengantin baru. Mungkin benar soal itu," sambung hati bi Lastri sembari menggaruk kepalanya, lalu menggelengkan kepalanya pelan-pelan. Sembari menepis segala pertanyaan dalam diri, bi Lastri lalu berjalan ke arah Guntur, --Suami Dara.

Guntur nampak sedang duduk termangu menunggu istrinya dengan gelisah. Tatapan matanya menerawang kosong ke arah taman di halaman belakang rumahnya yang mewah.

"Maaf Tuan," panggil bi Lastri pelan.

Guntur memutarkan kepalanya perlahan, lalu menatap ke arah bi Lastri dengan lemas. Walaupun ia tahu apa yang akan dikatakan oleh Bi Lastri, Guruh tetap melemparkan pertanyaannya, "iya, ada apa bi?" sahut Guntur.

"Kata Nyonya, Tuan makan saja duluan. Nyonya masih ngantuk, mau tidur lagi, katanya," ucap bi Lastri menyerukan apa yang barusan dikatakan Dara sembari menganggukkan kepalanya ke arah Guntur dengan segan, Bi Lastri nampak menghormati majikannya itu.

Guntur yang sedari tadi duduk termenung memikirkan kondisi dirinya yang melemah akhir-akhir ini, semakin terlihat lesu mendengarnya. Ia seakan sudah tidak lagi mempunyai semangat hidup lagi, mulai menjalani hari demi hari dengan setumpuk kegelisahan dalam diri.

"Hmm, duluan?!" ketus Guntur.

"Iya, Tuan," sahut bi Lastri menganggukkan kepala.

Guntur membuang napasnya kencang, seakan ingin melemparkan kekesalan hatinya jauh ke ujung sana, membuangnya lalu mengutuk diri sendiri yang tidak bisa memberikan nafkah batin kepada istrinya semenjak mereka menikah 3 bulan yang lalu.

Lalu kemudian, ia terlihat menegakan punggungnya. Berusaha bersikap biasa, seolah semuanya baik-baik saja. Ia tidak ingin assisten rumah tangganya bertanya-tanya dalam hati tentang masalah yang menimpa rumah tangganya.

Guntur pasti akan merasa malu jika bi Lastri mengetahui masalah yang sebenarnya terjadi di dalam rumah tangganya yang baru seumur jagung itu. Harga dirinya sebagai lelaki dipertaruhkan.

"Baiklah Bi, terima kasih. Kerjakan saja pekerjaan lain, ya! Nanti biar saya sarapan sendiri." ucap Guntur akhirnya pasrah.

Bi Lastri mengangguk, lalu kembali ke belakang.

"Sialan!" bentak Guntur dalam hati, lalu memukul pelan tepian meja taman dengan kesal. Setelah Bi Lastri kembali ke ruang belakang, Guntur nampak semakin gelisah, ia kembali berteriak dalam hati. "Kenapa penyakit ini tiba-tiba menyerang? Mendadak layu, lemah seakan tidak lagi bertulang. Kemana Guntur yang dulu gagah itu! Hah! Argh! Sial" Guntur mengangkat kepalanya sembari menggerutu pelan, menatap area taman dengan hati yang hancur lebur.

"Padahal, aku masih ingat, aku dulu adalah lelaki gagah yang paling kuat main dengan wanita panggilan manapun. Aku ingat benar itu. Aku bisa main sampai empat kali dalam satu malam. Kepunyaanku selalu keras, tidak pernah kendor seperti ini, kenapa sekarang mendadak lemah?!" keluhnya dalam hati, mengutuk diri sendiri sembari mengingat semua tentang masa lalunya yang penuh dengan hasrat dan gairah.

Lalu, untuk kesekian kalinya, ia kembali menghela napas yang terasa berat itu, Guntur terlihat semakin gelisah. Beberapa menit kemudian, Dara akhirnya mau turun dari tempat tidur dan menghampiri suaminya ke taman halaman di belakang rumah mereka. Dengan suaranya yang terdengan malas, Dara berkata pelan, "berangkatlah, hari sudah mulai siang, nanti Papa terlambat lagi seperti kemarin!"

Guntur masih tetap diam tak menjawab. Kepalanya tertunduk memandang lantai teras halaman di belakang rumahnya dengan lesu. Tiba-tiba Dara meresa iba, bagaimanapun Guntur adalah suaminya. Ia tidak sampai hati melihatnya setiap hari selalu terlihat frustasi seperti itu.

Dara kembali membuka mulutnya, berusaha terdengar tenang, "Cari obat yang mujarab! Mudah-mudahan bisa sembuh, aku tidak mau seperti ini terus! Tetapi, kalau masih tetap begini saja, bagaimana? aku tidak sanggup …." ucap Dara, sembari bertanya kepada suaminya. Seolah ingin menegaskan kembali perihal status hubungan mereka sebagai suami istri jika kelemahan Guntur masih belum juga bisa ia atasi.

Guntur mengangkat kepalanya perlahan, memandang sekilas ke arah Dara, senyumnya nampak bias tak berwarna. Gerakan tubuhnya terlihat malas, memaksakan diri untuk bangkit berdiri, lalu melangkah pelan ke arah istrinya sembari berkata, "Baiklah ..." ucapnya, terdiam sesaat, lalu kembali berucap dengan terpaksa, "kalau tidak berhasil, Mama boleh berbuat apapun, terserah Mama! Papa ikhlas, tapi Papa yakin akan berhasil, Ma! Papa ini dulu sangat gagah! Papa harap Mama mau bersabar menunggu beberapa waktu lagi, ya ...." Lanjutnya dengan suara yang terdengar lemah dan bergetar.

Dara terdiam, larut dalam pikirannya sendiri. Ia merasa tidak ingin menjawab apa-apa. Dalam hatinya masih merasa jengkel, ia selalu kelelahan sendiri. Sampai dini hari tadi, ia sudah berusaha dengan susah payah menggerakan alat reproduksi suaminya, agar dapat berdiri tegak. Tetapi alat itu seakan tidak berfungsi. Rusak, layu dan tidak berdaya.

Bahkan, bibirnya sudah terasa semakin menebal, mengoperasikan alat vital suaminya masuk dan keluar di dalam mulutnya, sampai bibir Dara terasa kembung dan membengkak, lidah pun terasa kelu saking keseringan bermain dengan "itu". Tetapi hasilnya tetap saja nihil.

Seperti pada saat malam pertama di hari pernikahan mereka, Dara merasa sangat kecewa, menemukan kenyataan bahwa tongkat pusaka suaminya ternyata lumpuh, tidak mampu lagi untuk bekerja. Bagaimana Dara tidak merasa kecewa, ia adalah wanita sehat yang mempunyai gairah yang sama seperti manusia normal lainnya. Ia membutuhkan kehangatan yang dapat memuaskan hasrat biologisnya, seperti yang sering diceritakan oleh teman-teman wanitanya yang sudah menikah.

Bagaimana rasanya berada di puncak klimaks, sensasi dan getaran hebat dalam dada yang meletup kencang saat libidonya meledak. Semenjak mereka menikah, Dara belum pernah merasakan itu semua, bagaimana ia tidak merasa stress dan kecewa.

"Baiklah, Ma, Papa pergi dulu," ucap Guntur memecahkan keheningan di antara keduanya. Guntur lalu mengecup kening Dara dengan lembut, membalikkan tubuh dan berlalu menuju ke pelataran parkir depan rumah, bersiap untuk pergi. Langkahnya nampak gontai, seakan membawa sejuta penderitaan di pundaknya. Sebuah beban yang jarang ditemui insan sejenisnya.

Dalam hati Guntur bertekad untuk mencari obat yang mujarab demi kelangsungan hidup rumah tangganya dengan wanita yang sangat ia cintai itu. Beberapa hari ini, tanpa sepengetahuan Dara, Guntur sudah mencari informasi tentang masalah ini hingga ke pelosok-pelosok daerah di nusantara, namun belum mendapatkan yang benar-benar dapat menyakinkannya.

"Huuffftttt … semoga Gandi dapat dengan secepatnya mendapatkan informasi mengenai masalah yang aku hadapi sekarang ini. Aku kasihan melihat istriku, berapapun biaya yang harus aku keluarkan, aku akan menyanggupinya! Ergh!" Guntur nampak sangat kesal. Masalah ini bahkan sampai mengacaukan konsentrasi kerja serta pikirannya. Lalu dengan lesu ia menjalankan mobilnya pelan menuju ke perusahaannya. Pikirannya masih tetap kalut.