Terjadi kekacauan….
Saat kobar api dari gedung di depannya terus membesar. Mengeluarkan gumpalan asap yang berwarna hitam pekat, sepekat langit malam yang kebetulan juga gelap tanpa bintang. Sementaara itu pekikan klakson juga terdengar di mana-mana. Berpadu dengan suara raungan sirene dari ambulans, mobil polisi, hingga mobil pemadam kebakaran.
Sementara itu, beberapa meter di depan gedung yang terbakar, sesosok wanita duduk dengan lemas di hamparan jalan raya yang seketika telah mati fungsi itu. Sebab para pengendara lain yang kebetulan melintas tampak menghentikan laju mobil mereka untuk sekadar melihat kejadian, ikut turun karena penasaran, hingga banyak juga yang mengabadikan dengan ponsel mereka. Membuat jalanan yang telah macet jadi kian amburadul.
"Plis… plis… plis…."
Ucapan itu keluar lirih dari mulutnya, saat matanya yang basah terus memandang ke arah pintu masuk utama gedung yang kini tampak dijaga oleh dua orang petugas dengaan pakaian serba oren itu. Di mana mereka tampak panik, takut-takut kalau api semakin membesar sehingga merubuhkan pilar-pilar lain dari bangunan itu. Terus berusaha memanggil teman-teman mereka yang masuk ke dalam sana.
"Plis… Gino, plis…."
Terus dia ucapkan itu dengan sangat lirih. Dengan air mata yang terus mengalir. Namun karena yang terlihat tidak juga sesuai harapan, saat para petugas yang masuk belum juga keluar, rasanya semakin tak tahan. Sehingga membuatnya bersusah payah bangun dari posisinya itu. Berniat menyusul masuk ke dalam.
Namun dia ditahan oleh beberapa orang di sekitarnya.
"Jangan, Mbak. Bahaya," kata mereka sambil memeganginya. Berusaha agar tak neakd menuju tempat itu.
"T-Tapi G-Gino… Gino… dia masih di dalam."
"Biarkan para petugas yang bekerja. Saya yakin, mereka bisa menyelamatkannya."
Tapi rasanya ini sudah terlalu lama. Sementara api di dua lantai teratas tampak sudah menelan hampir seluruh bagian bangunan. Hal itu membuat semakin besar ketakutan di dalam dirinya. Kalau saja orang yang bernama Gino itu… mungkin tidak beruntung?
"Plis, kenapa lama sekali?"
Kenapa tubuhnya ini bahkan tak kuat untuk menahan diri sendiri? Sehingga tubuh itu kembali merosot ke permukaan aspal di bawah kakinya. Terduduk di sana dengan tanpa tenaga.
Namun di tengah itu, tiba-tiba wanita itu merasakan ada langkah yang mendekat dan berdiri tepat di sampingnya. Saat dia menengadah untuk melihat identitas dirinya. Seorang pria dengan wajah yang familier berdiri di sana.
"R-Rafael?" tanyanya lirih.
Sebuah seringaian kecil tergambar di wajah yang rupawan itu. "Hai, Luna."
Padahal itu adalah suara yang biasanya sangat disukainya. Juga senyuman itu, biasanya juga merupakan favoritnya. Tapi kenapa sekarang melihat hal itu malah terasa sedikit sakit di dadanya?
"J-Jangan bilang… j-jangan bilang kalau ini adalah ulahmu," ucap wanita bernama Luna itu dengan suara yang bergetar.
Sekali lagi dia malah tersenyum tipis. Seakan tanpa hati dan perasaan. Seakan tanpa empati sama sekali atas musibah yang berada tepat di depan mata mereka.
"J-Jadi ini memang ulah kamu?"
Luna kembali bertanya dan memastikan. Merasakan kecewaan yang begitu besar, sehingga membuat air mata yang turun juga semakin deras.
"Apa yang kamu katakan? Kenapa menuduh sembarangan? Aku saja baru datang—"
"Bohong." Luna menyela ucapannya. "Aku tahu ini pasti ulah kamu. Kamu yang menyebabkan kebakaran ini, kan? Tega sekali kamu, Rafael. Bahkan kini di dalam sana Gino entah bagaimana keadaaannya. Dia belum juga keluar. Kenapa bisa kamu setega itu… padahal dia sahabatmu sendiri!"
Bukannya menyahut. Pria itu malah menurunkan posisinya jadi berlutut, hingga nyaris sejajar dengan Luna. Salah satu jemarinya dia ulurkan menuju sisi wajah Luna yang sebelah kanan, menyeka air mata hingga sisa debu yang tinggal di sana.
"Dari dulu api memang selalu panas rasanya, Luna. Kamu seharusnya sudah tahu itu. Sehingga nggak seharusnya kamu bermain-main dengannya," bisik pria itu dengan lirih. Sambil memandang datar kedua mata Luna yang semakin basah oleh air mata. "Ini ganjaran atas apa yang kalian lakukan padaku dan keluargaku."
Seluruh sendi di tubuh Luna terasa mati rasa seketika. Rasa lelah mendera dengan tanpa ampun. Membuatnya malah semakin menyedihkan di depan pria itu.
"Rafael…."
Banyak hal yang ingin Luna katakan padanya, namun akhirnya yang terdengar hanya panggilan lirih itu.
"Kenapa apa baru sekarang kamu menyesalinya? Ini sudah terlambat, Luna. Sudah sangat terlambat." Dia melayangkan pandangannya kembali pada bangunan yang apinya malah kian membesar itu. "Kalian sendiri yang telah duluan bermain api dengan menggangguku dan keluargaku. Maka kini, bersiaplah untuk terbakar menjadi abu."
Baru saja Rafael mengatakan itu, terdengar kehebohan dari arah gedung. Para petugas tadi akhirnya keluar lagi, di mana salah satu dari mereka tampak menggendong seorang pria dewasa di punggung mereka.
"G-Gino—"
Luna menepis tangan Rafael yang masih memegangi pipinya. Lalu walau dengan tubuh yang masih seperti tak bertenaga, dia lalu berlari menuju mereka. Di mana kini tubuh Gino telah dinaikkan ke atas salah satu ambulans yang berjaga.
"B-Bagaimana keadaan teman saya, Pak?" tanya Luna pada salah satu dari mereka.
"Korban ditemukan dalam keadaan pingsan. Beliau tertimpa rentuhan bangunan, serta menghisap terlalu banyak asap. Saat ini detak jantung masih terasa, tapi sangat lemah. Sehingga harus segera dibawa ke rumah sakit."
"A-Astaga." Luna menutup mulut. "I-Izinkan saya untuk ikut, Pak."
Luna pun langsung melompat ke atas ambulans begitu diberi persetujuan. Langsung bergabung dengan Gino, di mana kini dia sedang diberi pertolongan darurat oleh petugas medis yang berjaga di dalam. Pintu ambulans lantas ditutup dan meninggalkan tempat itu dengan pekikan sirine yang menandakan darurat.
Sementara pria itu masih berdiri di tempatnya yang tadi. Dia memandang mobil berwarna putih itu menjauh, hingga akhirnya menghilang dari pandangan. Api kemarahan tampak terus berkobar di kedua matanya. Apalagi saat dia memandang tangannya yang tadi ditepis Luna agar bisa segera berlari menuju sosok Gino.
"Kenapa tega-teganya… kalian berbuat begini terhadapku? Kalian sahabat serta wanita yang kucintai, tapi bagaimana bisa… kalian menikamku dari belakang seperti ini? Hanya demi uang."
Tangan yang tadi pun kini terkepal. Tampak bergetar menahan kemarahan yang besar.
"Sekarang jangan salahkan aku… kalau akupun juga berubah jahat kepada kalian. Karena kalian pantas untuk mendapatkannya."
***
Luna melangkah gontai setelah mendengarkan kabar dari Dokter yang merawatnya. Sebuah kabar yang begitu mengejutkan terkait pria itu. Yang membuatnya sampai kehabisan kata-kata. Rasa bersalah juga membesar di dadanya.
'Ini semua gara-gara diriku. Aku yang membuat Gino seperti itu.'
Kepalanya kembali tertunduk saat air mata menggenangi pelupuk matanya lagi.
Di saat itu langkah yang mendekat kembali terdengar. Benar saja. Sepatu dan celana bermerek itu berada di depannya lagi. Saat dia mengangkat wajah, sosok Rafael ada di sana lagi.
"Sepertinya dia masih selamat? Sayang sekali."
Tatapan Cinta tampak semakin tajam mendengarnya. "Jangan sembarangan bicara kamu. Kejam sekali, masih sempat tertawa di saat begini."
"Itu karma untuk kalian."
Sayangnya Luna tak bisa menolak tudingan itu.
Namun Rafael belum juga puas. Pria itu tiba-tiba meraih dagunya. Membuat Luna menegadah memandangnya.
"Sekarang bagaimana denganmu? Untuk melanjutkan hidupmu dan merawat Gino, kamu butuh uang yang banyak. Belum lagi kebutuhan keluargamu serta Bapakmu yang juga sakit-sakitan. Bagaimana kamu menutupinya, setelah… 'Dear Moon' juga telah terbakar?"
Luna tak bisa menjawabnya, karena itu jugalah yang dicemaskannya saat ini.
"Aku bisa memberimu segalanya. Aku bisa memberikan uang yang kamu butuhkan, serta membiayai kebutuhan hidupmu lainnya. Tapi tentu saja semuanya nggak gratis, Luna. Demi mendapatkannya, kamu harus mau bekerja denganku. Kamu harus mau menjadi budakku."
Pria yang menjabat sebagai CEO itu berkata dengan nada suara yang dingin seakan tanpa perasaan.
***