Kekacauan seperti telah terjadi di sebuah kamar hotel. Tempat itu tampak begitu berantakan, dengan banyaknya pakaian pria dan wanita yang bertebaran di berbagai tempat. Belum lagi dengan adanya beberapa botol wine dan gelas bekas pakai yang terletak tak beraturan di salah atas meja dekat sana.
Sementara itu di atas tempat tidur, terlihat dua raga yang tidur bengan berpelukan. Walaupun tubuh mereka ditutupi oleh selimut, namun dari beberapa bagian kulit yang menyembul dari sana bisa diasumsikan kalau mereka sama sekali tak mengenakan apapun di bawahnya. Tentu saja kita sudah bisa menebak apa yang mereka lakukan tadi malam.
Keadaan cukup tenang. Selain suara napas mereka yang bersahut-sahutan dengan teratur, dari kejauhan hanya terdengar suara kesibukan ala perkotaan di bawah sana. Sehingga tak heran keduanya masih saja terlelap walau sekarang sudah hampir menunjukkan jam sembilan pagi.
Hingga….
Suara deringan tiba-tiba terdengar. Berhasil membuat tubuh keduanya tersentak seketika. Mereka sama-sama mendengus dengan terganggu, namun bahkan tidak membuka mata mereka sama sekali.
Sekali deringan berlalu. Namun tak lama kemudian bunyinya menggema lagi memenuhi kamar. Menyiksa keduanya yang sama-sama malas untuk membuka mata.
"Hey, apa itu ponselmu? Matikan sana. Berisik sekali," kata si pria yang akhirnya berkata dengan tak tahan. Dengan suara yang begitu serak.
"Bukan." Perempuan itu menyahut cepat sambil semakin menarik selimut menutupi tubuh putih mulus miliknya. "Itu bukan suara deringan ponselku."
Maka itu artinya ponsel milik si pria.
Sosok tampan itu mendengus, namun dengan terpaksa membuka matanya. Dia lantas celingukan guna mencari sumber suara. Menemukan benda canggih itu yang terletak di atas sofa.
"Siapa sih sepagi ini."
Ia mengomel sambil menyingkirkan selimut dari tubuhnya, sehingga menunjukkan tubuhnya yang memang tidak menggunakan sehelai benang pun. Namun dia melenggang acuh menuju ponselnya yang kini berdering untuk yang ketiga kalinya.
Mia.
Nama itu tertulis di layar. Ekspresi malas bersama decakan terlihat seketika, namun dengan cepat dia mengendalikannya. Lantas setelah berdeham beberapa kali untuk membersihkan kerongkongan, ia pun akhirnya menyahutinya.
"Ya, Mia?" sahutnya sambil kembali ke kasur.
'Hei, Gino. Kamu sedang apa? Kenapa lama sekali mengangkat panggilan. Apa kamu masih tidur?'
"Huh?" Pria yang dipanggil Gino itu melayangkan pandangan ke sekitar sana. "Aku bukannya masih tidur. Tadi aku sedang berada di belakang untuk mencuci piring yang menumpuk. Karena belakangan kafe terlalu ramai jadi aku belum sempat mengerjakannya."
Ucapan itu membuat teman kencannya itu akhirnya membuka mata. Melirik dengan pandangan sedikit aneh pada pria tersebut.
'Tch, itu sebabnya sudah lama kuanjurkan untuk cari Asisten Rumah Tangga untuk mengerjakannya. Kamu bahkan bukannya nggak punya uang untuk melakukannya. Tapi hobi banget ngerjain sendiri,' sahut perempuan itu tak lama.
"Bukannya hobi, tapi udah jadi kebiasaan sejak kecil. Kan kamu tahu kalau Ibuku adalah mantan seorang ART." Gino bersandar kembali pada kepala tempat tidur. Lengannya refleks menerima perempuan di sampingnya yang mendekat untuk meletakkan kepala di pahanya. Jemarinya membelai rambut panjang nan dicat kecokelatan itu. "Tapi ada apa kamu menelepon? 'Dear Moon' baik-baik saja, kan?"
'Iya. Baik kok, Pak Manajer. Jangan khawatir.' Mia menjawabnya dengan cepat. 'Kamu nih yang aku khawatirkan. Kamu… baik-baik saja, kan?'
Sejenak ekspresi Gino berubah. Ia kembali mengingat bagaimana semalam dia mencoba untuk kembali menyatakan perasaannya pada Luna dengan membawanya berkeliling kota. Di mana lagi-lagi dia ditolak dengan alasan yang sama – hanya dianggap teman.
Hal itulah yang membuat Gino cukup mengamuk dan memutuskan mendatangi sebuah kelab malam. Lalu setelah bertemu wanita yang acak di sana dan mengajaknya bersenang-senang, mereka akhirnya berakhir di kamar hotel ini menghabiskan sisa malam.
Itu bukan hal yang aneh lagi. Karena sudah selama beberapa bulan ini pria itu telah menganut kehidupan malam yang bebas seperti itu. Sudah seperti makanan sehari-hari saja baginya.
'Gin, kenapa diam saja?'
"Aku nggak apa-apa." Nada bicaranya lembut, namun seringaian jahat terlihat di wajahnya. "Kan sudah terbiasa begini juga. Aku selalu mengatakan hal yang sama padanya, Luna juga mengatakan hal yang sama untuk menolakku. Sepertinya ini akan menjadi siklus yang berjalan selamanya. Ya nggak, Mia."
'Tch, jangan bilang begitu. Kan sudah kukatakan kalau Luna hanya butuh waktu saja untuk semakin terbiasa. Dia hanya belum terlalu bisa move on dengan kisah cintanya bersama Rafael, sehingga itu sebabnya jadi begini.'
Rafael.
Mendengar nama itu saja membuat darah Gino mendidih. Dia tak bisa menahan rasa muaknya, apalagi kalau nama itu sudah disandingkan bersama dengan nama Luna. Ada sejenis pemantik yang membuat hatinya langsung terbakar seketika begitu mendengarnya.
'Berbulan-bulan sudah berlalu. Kami sudah hidup menjauh darinya. Tapi sampai kapan dia terus mengganggu kehidupanku? Sampai kapan dia harus menjadi alasan bagiku untuk tidak dapat memiliki Luna?'
"Aku nggak papa, Mia. Sejujurnya aku memang kecewa tapi… aku nggak menyerah kok. Aku akan…." Ucapan Gino hanya setengah hati saja. Apalagi karena tangannya kini telah meraja lela lagi. Menelusup ke bawah selimut untuk memainkan salah satu buah dada wanita yang tidur dipangkuannya. "Aku akan… tetap dengan setia menunggunya tanpa bosan."
'Tch, kamu terlalu baik, Gino. Kamu pria paling sempurna. Aku nggak mengerti kenapa sulit sekali bagi Luna melihat hal itu. Kenapa sulit sekali baginya untuk mencoba membuka hatinya untukmu.'
"Ya." Gino menyeringai melihat wanita tadi bangkit akibat tergoda ulahnya. Kini malah merapat dan balas meraba-raba tubuh kekarnya. "Ya sudah, Mia. Nanti kita sambung lagi ya. Hari ini sangat cerah, sehingga aku juga harus mencuci pakaian. Sampai jumpa lagi nanti siang di 'Dear Moon'."
Setelah mendengar sahutan Mia sesaat, sambungan telepon itu pun terputus. Di mana tanpa membuang waktu Gino langsung mencium perempuan yang telah naik ke pangkuannya. Keduanya pun bercumbu dengan panas.
"Mencuci pakaian? Apa aku terlihat seperti sebuah kain di matamu. Mengingat bagaimana bahkan semalam saat kita sampai ke ruangan ini, kamu langsung menyingkirkan seluruh pakaian di tubuhku."
"Itu memang 'sedikit' berbohong. Aku bukannya ingin mencuci pakaian tapi mencuci….' Tangan Gino mengusap sisi tubuh molek perempuan itu. "Mencuci tubuh menggoda ini. Tentu saja… dengan bibirku."
Kedua orang itu saling menyeringai setelahnya.
"Tapi itu siapa? Aku memang nggak bertanya pada teman kencanku sebelumnya, tapi… aku jadi sedikit penasaran kamu terdengar seperti pria yang sangat baik-baik barusan. Kamu bukan tipe pria yang sudah punya istri, kan? Pembicaraan kalian terdengar mencurigakan."
"Apapun itu kan bukan urusanmu, selama aku juga nggak mencampuri urusanmu." Gino mengangkat bahu. "Sudahlah. Abaikan. Tidak penting. Yang penting sekarang… kita sepertinya masih punya beberapa jam sebelum waktu check out. Jadi bagaimana… kalau kita memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya?"
"Of course."
Maka kedua orang itu pun kembali sibuk bermesraan. Mengabaikan hangatnya mentari di luar sana, mereka pun kembali menciptakan jenis radiasi panas mereka sendiri di kamar ini.
***