Chereads / The CEO and His First Love / Chapter 6 - Kecemburan Yang Tak Habis-Habis

Chapter 6 - Kecemburan Yang Tak Habis-Habis

Saat Luna dan Mia sampai di ruangan sentral kafe, mereka menemukan sosok Serra di salah satu meja. Duduk sendirian di sana dengan masih memegang dan membolak-balikkan buku menu. Tampak sengaja menyita waktu dari salah satu pelayan yang harus berusaha sabar meladeninya.

Luna menghela napas berat. Dia melirik Mia sekilas sambil menyuruhnya menenangkan karyawan lain agar mereka memperhatikan pelanggan lain, sementara dia berjalan mendekati sis umber masalah.

"Biar saya yang handle pesanannya. Kamu kembali ke belakang saja," kata Cinta pada salah satu karyawan yang tadi. Wanita muda itu tampak langsung mengangguk senang.

"Makasih, Mbak."

Luna menggantikan posisi pelayan tersebut. Berdiri dengan sopan di samping sosok Serra yang hanya melayangkan pandangan sejenak padanya, sebelum kembali sibuk dengan buku menu.

"Ada yang bisa kami bantu, Mbak? Anda kelihatan bingung dengan menu yang hendak Anda pilih. Apa Anda membutuhkan rekomendasi dari kami?" tanya Luna berusaha tetap sesopan mungkin.

"Menu di sini kok nggak kreatif banget ya? Nggak ada yang menarik sama sekali. Sayang banget lho, padahal ini kafe yang baru berdiri tapi tidak ada daya magnet untuk pengunjung."

Ucapan Serra itu berbeda dengan kenyataan. Justru sebaliknya, sebagai tempat usaha baru, 'Dear Moon' bisa dikatakan cukup sukses dalam menarik pelanggan. Bisa dikatakan semua itu karena letak yang strategis, desain gedung yang bagus, fasilitas ruang karaoke yang juga ditawarkan, hingga menu makanan yang enak. Untuk semua ini Luna akan memberi kredit khusus kepada Gino selaku manajer mereka yang memberikan banyak sekali ide-ide segar untuk mengembangkan kafe.

Namun tentu saja percuma untuk menjelaskan hal itu kepada Serra. Selain dia tidak akan mendapatkan pengakuan sama sekali, itu sama dengan membuang waktu namanya.

"Apa Anda suka makanan manis, Mbak? Saat kini kami punya menu terbaru yang digendrungi oleh pelanggan lainnya, yaitu—"

"Tidak. Pasti tidak enak." Serra menyela ucapannya tanpa mendengarkan sama sekali. "Pesan air putih saja," kata wanita itu sambil menyerahkan buku menu tadi pada Luna. Sedikit kasar sehingg nyaris terlepas dari tangannya.

Emosi Luna sedikit terpancing di sana. Dengan cepat dia melayangkan pandangannya yang tajam itu pada Serra. Melawan tatapan sinis dan merendahkan wanita itu.

"Kenapa? Nggak boleh? Kamu nggak terima karena pelanggan hanya memesan air putih saja? Hm… katanya pelayanan di sini ramah, tapi ternyata tidak menghargai preferensi pengunjungnya sama sekali ya? Kenapa sekarang? Kamu mau usir saya?"

Sungguh, Luna benar-benar tak berminat sama sekali meladeni wanita ini. Dia benar-benar lelah dengan pekerjaan dan beban pikiran lainnya, sehingga dia tidak bisa menerima omong kosong ini. Namun kemudian dia berusaha untuk tetap berpikiran lapang. Terutama karena sedang banyak pelanggan di kafe ini, di mana beberapa dari mereka mulai curi-curi pandang ke mari. Mungkin menyadari kalau ada yang kurang wajar dari pelanggan yang satu itu.

"Baik, Mbak. Akan kami bawakan untuk Anda." Luna melayangkan pandangan pada karyawan yang berkumpul di meja kasir bersama Mia. "Tolong bawakan air putih ke sini ya."

Mia dan para karyawan itu tampak mendengus kesal. Namun seperti dirinya, mereka tampak tak punya pilihan. Cukup sekali Serra benar-benar membuat kacau tempat ini sampai membuat pengunjung risih dan pergi.

"Minumannya akan segera datang. Jadi mohon tunggu di sini, Mbak—"

"Tunggu." Ketika hendak pergi Serra malah kembali mencegatnya. Mereka tampak kembali saling berbagi pandangan yang sama-sama terlihat tak suka. "Gino mana? Bisa panggilkan untukku?"

"Dia tak ada."

"Jangan berbohong. Apa kamu beneran dongkol dan mengabaikan ucapan pelanggan hanya karena dia tak memesan apapun selain air putih."

'Sabar… sabar, Luna. Jangan acuhkan wanita sakit jiwa ini demi kelangsungan tempat usahamu ini. Agar keributan tak terjadi lagi.'

Susah payah Luna terus membisikkan hal itu di dalam hatinya. Berusaha untuk tetap terkendali. Namun orang di depannya ini terus saja berusaha untuk menguji kesabarannya. Terus saja membuatnya kegerahan.

"Jadi benar. Huh, kalau begitu seharusnya tadi kamu nggak sok-sokan melayaniku dengan ramah. Nggak usah sok manis. Lagipula sekarang topeng kamu sudah terbuka, jadi nggak perlu berpura-pura lagi."

Luna masih mencoba tenang. "Air putih Anda akan segera datang, Mbak. Panggil saya lagi kalau butuh sesuatu."

"Tch, berhentilah bersikap munafik. Dengar nggak sih? Berhentilah bersikap sok baik."

"Kalau nggak ada lagi yang Andaa butuhkan, saya ke belakang."

Luna akhirnya meninggalkan tempat itu begitu saja. Berusaha menahan rasa kesal di dadanya, kembali pada Mia dan karyawan yang lain. Namun tak lama Serra mengangkat tangannya lagi sambil melirik ke arah mereka.

"Pelayan. Saya mau ganti pesanan dong."

"Ah, tu orang kenapa sih? Apa yang ada di kepalanya itu? Kenapa dia melakukan hal-hal yang menguji kesabaran begini?" Mia mengomel kesal. Dengan cepat dia menarik buku menu di tangan Mia. "Sini, Luna. Biar aku saja yang meladeninya. Kamu sebaiknya ke belakang saja biar dia nggak terus dengan sengaja gangguin kamu."

Tapi baru saja Mia berkata begitu, sosok Gino terlihat menginjakkan kaki ke tempat itu. Langsung menarik perhatian Luna dan semua karyawan. Serra tampak juga langsung melirik ke arahnya.

"Kenapa dia ada di sini? Bukannya kamu bilang dia akan masuk sore ini?" tanya Luna sambil melirik Mia heran.

"Aku memberi tahu padanya soal kedatangan Serra. Sepertinya dia sengaja datang lebih awal karena itu."

Luna memandangnya keberatan. "Kamu nggak perlu merepotkannya seperti itu. Gino sudah bekerja keras untuk kafe ini, jadi biarkan dia masuk lebih lambat sesekali. Dia bahkan bisa mengajukan cuti."

"Aku hanya nggak mau cewek gila itu membuat kekacauan seperti terakhir kali. Aku juga nggak mau kamu terlibat lama-lama dengannya." Mia menyahut cuek. "Lagipula Gino langsung bersedia datang kok. Dia tampaknya mencemaskanmu. As expected from the best boy ever. Kamu benar-benar membuang hocky dengan terus menolaknya tahu nggak."

Mia menyikutnya. Sementara Luna hanya mendesah lelah atas ulah teman baiknya tersebut.

"Berhentilah terus membahas hal ini,"

Mereka mengalihkan pandangan kembali pada Gino, di mana pria itu langsung mendekati meja Serra yang menunggunya. Sempat dia melayangkan pandangan pada Luna. Memberi kode padanya untuk tidak mengkhawatirkan apapun karena dialah yang akan menyelesaikan semuanya. Sukses membuat perempuan itu mendapatkan godaan dari Mia dan karyawan lain di sekitarnya.

"Lihat kan? Gino itu pria yang sempurna. Mau sampai kapan kamu mengabaikan fakta itu? Mau sampai kapan kamu menyia-nyiakannya? Dengarkan saranku, Luna. Cobalah untuk membuka hati untuknya dan belajar untuk menyukainya tanpa harus mengingat Rafael lagi di antara kalian.. Aku yakin tidak akan mudah bagimu untuk jatuh cinta padanya kok. Kamu hanya perlu mencoba."

Lagi-lagi bisikan itu. Ucapan yang tak pernah bisa dia bantah, namun tetap tak bisa dia terima sepenuhnya juga. Karena hati ini tetap tidak sependapat sepenuhnya dengan semua itu. Dia masih belum bisa melihat Gino lebih dari seorang teman terlepas dari apa yang telah terjadi di antara mereka belakangan ini.

***