Namun walau begitu, walau Fabian terlihat sudah menjalani hidupnya dengan baik-baik saja, walau sang CEO terlihat tak peduli, pada nyatanya semua tak sesempurna itu. Tak semua bagian di dalam dirinya yang diperlihatkan kepada orang-orang. Nyatanya tak semudah itu baginya untuk melewati jalanan yang curam ini sepeti tak terjadi apapun.
Hal itu selalu datang di saat yang sama.
Kala malam sudah menjelang. Ketika pekerjaannya sudah selesai. Saat dia tinggal sendirian di kamar yang sunyi, dengan hanya ditemani oleh suara desiran pendingin ruangan di sudut ruangan. Begitu pria itu duduk sendiri di kamarnya yang luas itu.
Saat itu selalu saja sama. Saat kenangan yang terjadi antara dirinya dan Luna – baik saat mereka masih pacaran dulu ataupun yang terjadi selama beberapa bulan ke belakang – teringat olehnya. Memenuhi kepalanya walau tidak tak pernah sama sekali menginginkannya.
Saat itu segala emosi selalu berkumpul di kepalanya. Rasa marah, sedih, kecewa, hingga rindu. Segala jenis gejolak emosi itu seperti mengeroyoknya yang tak berdaya ini. Membuatnya tertinggal di sana dengan kondisi menyedihkan.
'Kenapa sih aku harus begini?'
Itu pertanyaan yang selalu terlintas di benak Rafael. Saat dia merasa kecewa pada dirinya sendiri. Karena dia merasa lemah.
'Fakta kalau aku selalu mengingat cinta pertamaku itu selama bertahun-tahun bahkan saat dia sudah menemukan kehidupannya sendiri saja sudah menyedihkan sekali kesannya. Sekarang aku terbukti tertipu, lalu aku dipermalukan dan diinjak-injak oleh mereka. Tapi bisanya aku masih mengingat tentangnya? Bisa-bisanya aku harus menghabiskan waktu berjam-jam seperti ini daripada langsung mengistirahatkan diriku?'
Jangan pikir Rafael tak pernah mencobanya. Setiap malamnya dia selalu memikirkan cara agar tidak mengenang semua itu, termasuk dengan tidur lebih awal. Namun semua itu tak berhasil. Dia menemukan dirinya harus minum alkohol dulu untuk dapat mulai memejamkan mata. Dia menemukan sisi terlemah di dalam dirinya yang terjebak dengan nostalgia.
'Sial. Ini semakin menyebalkan saja. Karena saat aku harus menahan penderitaan di sini, kedua orang itu mungkin ada di suatu tempat dan menertawakanku. Mereka mungkin malah bersenang-senang dan merasakan kehidupan terbaik di hidup mereka. Setelah mereka berhasil mendapatkan apa yang mereka mau. Setelah mereka menghancurkanku.'
Rafael mengerang marah. Sekali lagi mengalirkan cairan keras itu ke dalam kerongkongannya. Yang langsung dengan tidak ramah menyapa usus-ususnya.
Sebenarnya kalau boleh jujur saat dia mendengar semua ini masih ada secercah harapan di dadanya. Dia merasa mengenal karakter Gino maupun Luna, di mana rasanya mustahil kedua orang itu akan mengkhianatinya. Dia merasa kalau seharusnya mereka selalu perhatian dan peduli terhadapnya.
Namun kini dia harus melihat buktinya sendiri. Dia melihat bagaimana Luna dan Gino sama-sama mengumukan hubungan mereka dengan begitu lantang, dia melihat bagaimana mereka mengundurkan dari dari perusahaan dan langsung menghilang bersama, serta dia juga melihat bagaimana kehidupan mereka setelah meninggalkannya.
Sekitar dua bulan yang lalu Rafael mengetahui kalau Luna dan Gino langsung membuka kafe bersama setelah pergi dari Raftech begitu saja. Tak main-main, mereka mendirikannya di sebuah lokasi yang cukup strategis di pusat kota dengan fasilitas tambahan berupa beberapa ruang karaoke. Siapapun bisa melihat kalau mereka mengeruk jumlah yang fantastic untuk mendirikannya. Yang akhirnya membuatnya mengonfirmasi sendiri kalau ucapan Mamanya itu benar, kalau kedua teman SMP dan SMA-nya itu memang mendapatkan uang atas ulah mereka.
Hal itu tak hanya di sana. Pernah sekali Rafael melewati tempat itu, di mana matanya langsung menangkap sosok Luna di balkon lantai dua. Walau tak lama baginya juga melihat Gino di sampingnya. Kedua orang itu tampak tertawa dan bersenang-senang, bermesraan, sepenuhnya memisahkan diri mereka dengan kehidupan lain di sekitarnya. Sepenuhnya tak memedulikan kehidupan Rafael sekarang. Hal yang semakin membakar jantungnya.
'Apa sebaiknya aku balas dendam saja? Mereka sudah sangat keterlaluan. Mereka pikir mereka siapa sampai seenaknya memperlakukanku begini? Mereka pikir hanya karena kami sempat berteman… maka aku akan melunak pada mereka?'
Tapi kenyataannya memang begitu.
Tak peduli betapa beberapa kali kemarahan berkumpul, tak peduli seberapa panas Bertha dan Serra mempengaruhinya, namun dia masih lebih memilih untuk memikirkan mereka berdua. Dia tak ingin terlibat dengn mereka lagi, termasuk balas dendam. Semua itu karena jauh di lubuk hatinya dia masih sangat menghargai mereka sebagai teman sekaligus wanita yang dia cintai. Dia tak mau balas menyakiti ataupun melukai mereka berdua.
Bukankah itu lucu?
'Biarkan saja. Lanjutkan saja hidupku, karena banyak yang harus kulakukan. Lagipula aku akan baik-baik saja kok.'
Akhirnya hanya itu yang terus dia katakan. Sehingga dibanding terus mengingat mereka, dia mencoba untuk lebih fokus dengan pekerjaannya. Berharap agar segala bayangan dan dendam itu menghilang selamanya dari dadanya.
***
Dengan tubuh lelah Luna memasuki tempat tinggalnya. Dia langsung menjulurkan tangannya untuk menyalakan lampu, sebelum melangkah dengan gontai ke arah tempat tidur. Menghempskan tas dan tubuhnya ke sana.
Di sinilah perempuan itu tinggal saat ini. Di sebuah gedung kontrakan yang berada beberapa ratus meter dari kafenya. Hal itu dia lakukan untuk menghemat waktu dan ongkos, mengingat rumah orang tuanya cukup jauh dari tempat usaha barunya. Sehingga tinggal sendiri adalah solusi terbaik untuknya saat ini.
"Argh, hari ini akhir pekan. Kafe begitu padat, di mana bahkan beberapa pelanggan masih bertahan hingga jam tutup. Pantas tubuhku terasa begitu pegal begini."
Luna seharusnya langsung mandi dengan air hangat. Namun dia masih begitu malas untuk melakukannya. Dia memutuskan untuk mengistirahatkan tubuhnya sejenak di sana.
Namun kalau sudah begini malah otaknya malah menginginkan hal lain.
Karena saat melihat hamparan langit-langit kamar kontrakannya yang usang, yang kemudian muncul di sana adalah wajah Rafael. Pria itu tampak menatapnya dengan ekspresi sedih dan terluka. Ekspresi yang terakhir dia lihat sebelum mereka berpisah seperti sekarang.
Hari itu saat Serra memutar balikkan fakta sehingga membuatnya tertuduh, merupakan terakhir kali dia melihat wajah Rafael. Saat pemuda itu melemah karena sangat terguncang menerima kenyataan. Saat dia menolak untuk dipegang oleh Cinta, sebelum dia hilang kesadaran.
Sejak saat itu hingga sekarang dia sangat merindukan pria itu. Dia penasaran bagaimana kabarnya selang delapan bulan berlalu. Karena walaupun mereka tinggal di kota yang sama, nyatanya tuhan tak sebaik itu mempertemukan mereka lagi. Sementara walaupun Luna bisa dengan mudah menemukannya di rumah ataupun tempat kerjanya, Luna tak punya nyali sama sekali untuk melakukannya. Lagipula itu hanya akan memperburuk segalanya.
Pada akhirnya Luna hanya bisa terus merindukannya tanpa bisa berbuat banyak.
'Rafael sedang apa ya? Apa dia menghabiskan malam dengan membenciku? Atau… aku mungkin memang sudah sepenuhnya dilupakan di dalam kamus kehidupannya?'
***