Hari ini, aku datang lebih awal ke perusahaan. Dengan suasana hati yang bimbang. Entah mau senang atau sedih. Kalau sedih, mungkin karena kejadian kemarin. Senangnya, punya uang 50 miliar. Pemberian pria malam itu.
"Sofia, lupakanlah. Anggap semuanya tidak pernah terjadi apa-apa. Hidupmu sekarang sudah lebih baik. Tak ada lagi Ibu tiri, tak ada lagi Amara. Tak ada lagi kesedihan. Semangat!" Gumamku dalam hati.
Kaki ini menapakki kantor perusahaan Mahesa. Gedung bertingkat yang terletak di tengah-tengah kota Jakarta. Baru sepagi ini, sudah begitu ramai. Memang perusahaan besar, layak untuk di apresiasi kedisiplinan para karyawannya.
Termasuk aku, hm.
"Pagi, Fi!" Sapa Mila, teman kantor ku.
"Pagi juga, Mil!" Balasku seraya tersenyum ramah padanya.
"Tumben berangkat awal, biasanya siang." Ujarnya.
"He he, iya." Tuturku singkat.
"Eh, kalau begitu, aku duluan ya, Mil." Sambungku lagi, memilih untuk menghindari bergosip pagi ini.
"Oke deh, semangat!" Mila menyemangati. Aku membalasnya dengan anggukan seraya tersenyum mengembang.
Aku melenggang pergi memasuki ruang kerjaku. Memulai rutinitas pagi di kantor. Apalagi kalau bukan untuk membuat laporan keuangan perusahaan. Karena posisiku di perusahaan Mahesa bekerja sebagai akuntan.
Cukup melelahkan dan terkesan agak sulit. Tapi, aku senang menjalaninya. Harusnya aku bersyukur pula. Karena sudah diterima menjadi bagian dari perusahaan besar ini. Dan bonusnya lagi, gaji yang ditawarkan cukup menggiurkan.
Cukup untuk makanku selama satu bulan penuh. Dan cukup pula untuk membeli segala kebutuhanku. Serta cukup untuk ditabung sisanya. Tapi, tabungan 50 miliar itu juga sudah sangat cukup, bukan?
Beberapa jam kemudian...
"Fia, antar laporan ini ke dalam ruangan Pak direktur!" Ucap Pak Anang, manager di perusahaan ini.
Tumben banget Pak Anang menyuruhku. Biasanya juga dia sendiri yang mengumpulkan.
"Saya, Pak?" Tanyaku memastikan.
"Ya iya lah, kamu. Memangnya nama Sofia disini siapa lagi, selain kamu?"
"Tidak ada, Pak." Jawabku seraya menggeleng pelan.
"Terus, apa lagi? Sana kumpulkan!" Perintahnya.
"B-baik, Pak." Aku menjawab sambil melangkah pergi dari hadapannya.
Kakiku mulai memasuki lift. Dan menekan angka 30, lantai terakhir. Khusus disediakan hanya untuk ruangan Presdir. Seumur-umur, aku belum pernah datang kesini sebelumnya. Meskipun sudah terbilang cukup lama. Bekerja di perusahaan ini. Untuk pertama kalinya, aku menginjakkan kakiku ke tempat ini.
Dengar-dengar, Presdir ini orangnya kejam. Arogan dan gila kerja.
'Fia, dirimu sungguh terjebak dalam situasi sulit. Pak Anang, seharusnya anda yang kesini. Bukan malah saya!' Gumamku dalam hati memaki manager itu.
Ting!
Pintu lift terbuka lebar. Tepat berada di ketinggian lantai 30. Pesona yang begitu indah terpampang nyata. Melihat kota Jakarta dari lantai paling atas ini. Gedung-gedung bertingkat begitu terlihat jelas. Jalan raya, serta beberapa rumah penduduk.
Yang kelihatan lebih kecil dari biasanya.
"Maaf, Permisi, apakah Presdir ada di dalam?" Tanyaku pada dua orang pengawal pribadi Presdir itu.
Apakah sebegitu berharga dirinya? Sehingga dijaga begitu ketat oleh dua orang pengawal. Di depan ruang kerjanya.
Aih, dasar orang kaya!
"Ada, silakan masuk!" Jawab pengawal itu. Seraya menodongkan sesuatu alat ke tubuhku. Alat pendeteksi, apakah ada barang di berbahaya atau tidak.
Hei, pengawal gila! Aku tuh pegawai disini! Mereka pikir aku penjahat, hah?! Dasar gila, mereka semua!
"Baik, terima kasih!" Tuturku acuh.
Cih, banyak maunya!
Tanganku mengetuk beberapa kali ketukan. Ke pintu ruang Presdir itu. Tak lama kemudian, suaranya terdengar keras di telingaku.
"Masuk!" Ujarnya menyuruhku untuk masuk ke dalam ruangannya.
'Fi, semoga ini bukan akhir dari karirmu!' Gumamku dalam hati.
Ceklek
Aku memutar knop pintu itu, dan membukanya. Kakiku berjalan memasuki ke dalam ruangan kerjanya. Wajahku kubiarkan tertunduk, dengan rambut yang berantakan. Sengaja, supaya tidak bisa melihat wajah Presdir yang katanya kejam itu.
"Kenapa dengan wajahmu?" Tanya Presdir itu.
"T-tidak, Tuan. S-saya sedang flu." Jawabku beralasan.
"Mana laporannya?" Tanyanya lagi. Aku menyerahkan beberapa berkas yang sudah ku bawa tadi. Menaruhnya tepat di depan mejanya.
"Hm... bagus. Kinerjamu cukup bagus di perusahaan ini." Ujarnya.
"T-terima kasih, Tuan."
"Untuk apa?" Ujarnya lagi.
"Untuk pujiannya." Jawabku terkekeh kecil.
"Saya tidak memujimu."
"Hah? M-maksud Tuan?" Aku bingung. Bukannya tadi dia memujiku?
Dasar aneh!
"Aku memuji kinerjamu. Jangan ge-er kamu!"
Cih, rupanya rumor yang dikatakan itu benar. Presdir kejam dan tidak punya hati. Ucapannya bikin nyelekit dihati. Memang tidak tahu perasaan orang itu!
Untung wajahku sengaja kubiarkan menunduk. Tidak sudi rasanya, melihat wajah Presdir yang angkuh itu.
"Hei! Kesini!" Bentaknya padaku.
Aku terkaget mendengar suaranya. Yang menggema di ruangan itu.
"A-ada apa, Tuan?" Tanyaku masih dengan rambut berantakan. Dan tak berani menatap wajahnya.
"Buka rambutmu!" Pintanya.
"Hah? R-rambut saya?" Aku begitu gugup dan gemetar.
'Ya Tuhan, tamatlah riwayatku di perusahaan ini!' Gumamku dalam hati mengeluh.
"Buka! Tidak sopan berbicara pada atasan dengan perilakumu itu" Kali ini dia memaki.
"M-maaf, Tuan." Tuturku.
Akhirnya, aku dengan pasrah membuka rambut yang menutupi bagian wajahku. Kepalaku mendongak memberanikan diri menatapnya.
'Astaga!' Gumamku kaget.
Mataku melotot tercengang melihat orang yang ada di hadapanku saat ini. Aku rasa, dia pun juga begitu. Pandangan kami bertemu, dan saling menatap dengan intens.
'D-dia, pria malam itu!' Gumamku dalam hati.
Aku terpaku menatapnya sejelas ini. Matanya menatap tajam ke arahku. Seperti sedang mengintimidasiku saat ini.
"Masih punya wajah, berani menampakkan diri di hadapanku. Apa cek 50 miliar itu masih kurang?" Tuturnya.
Betapa kagetnya aku, mendengar ucapannya. Begitu merendahkan harga diriku. Dasar jahat!
"Kau sama sekali tidak ada bedanya dengan wanita kebanyakan. Sama-sama murah! Dan bukan seleraku!"
Deg!
Hatiku bagaikan tersayat oleh pisau. Sebegitu rendahnya aku dimatanya. Ini bukan kemauanku untuk tidur dengannya malam itu! Tapi aku terjebak, aku di jebak oleh seseorang. Yang aku sendiri tidak tahu siapa pelakunya.
"Maaf, saya rasa, anda sudah salah menilai saya. Untuk cek 50 miliar itu, saya tidak meminta pada anda sebelumnya. Ini, saya kembalikan! Tapi hanya tersisa 49 miliar. 1 miliar lagi, sudah saya pakai untuk membeli apartemen. Anggap saja saya berhutang pada anda, Tuan. Anda bisa memotongnya dari gaji saya setiap bulannya. Kalau begitu, saya permisi!" Tegasku seraya pergi dari hadapannya.
Cih, dia pikir aku ini apa? Sama dengan wanita kebanyakan? Apa maksudnya? Dia menyamaiku dengan wanita penggoda. Dasar Presdir setan!
Aku memasuki lift dengan wajah penuh amarah. Ini semua karena Pak Anang! Yang tiba-tiba menyuruhku datang ke ruangan itu! Kalau bukan karena dia yang menyuruhku. Mungkin saja aku tidak akan pernah melihatnya lagi!
'Fi, sepertinya kamu harus pergi menyiapkan CV lagi. Melamar di perusahaan yang baru.' Gumamku dalam hati menjerit.