Dua minggu kemudian...
Selama dua minggu belakangan, Sofia terus dikerjai oleh Aaron. Rasanya sudah lelah baginya untuk dikerjai setiap harinya. Dan lagi, ini sudah dua minggu lamanya. Dirinya terus-terusan dikerjai.
"Fi, wajah kamu pucat banget. Kamu sakit?" Tanya Mila pada Sofia yang tengah mengaduk kopi di dapur.
"Eh, tidak kok Mil. Mungkin hanya lelah saja." Jawab Sofia lemah.
"Itu kopi buat Tuan Aaron, ya?"
"Iya." Jawab Sofia lemah.
"Hm, aneh sekali ya. Perasaan akhir-akhir ini kamu disuruh buat kopi. Sebelumnya bahkan mereka tidak pernah menyuruhmu begini."
"Hm, mungkin karena aku punya hutang. Makanya mereka berani menyuruhku begini." Ucap Sofia kelepasan.
"Hah? Kamu berhutang pada Tuan Aaron?" Tanya Mila penasaran. Sofia mengangguk lemah.
"Ya ampun, kasihan sekali kamu, Fi. Semoga cepat lunas deh, hutangnya."
"Iya, terima kasih ya Mil." Pandangan Sofia tiba-tiba memudar. Detik berikutnya tiba-tiba...
BRUK!
Sofia terjatuh pingsan tak sadarkan diri. Mila yang panik, sontak berteriak memanggil semua orang yang ada disana. Sofia dilarikan ke rumah sakit khusus. Untuk para pegawai yang bekerja pada Mahesa Group.
Sesampainya di rumah sakit. Sofia langsung di masukkan ke dalam ruang UGD. Untuk diperiksa lebih lanjut. Hanya ada beberapa karyawan yang ikut menemani di sisinya. Termasuk Mila, rekan kerja team nya.
"Bagaimana keadaannya, dok? Apa teman saya baik-baik saja?" Tanya Mila khawatir.
"Hm, dia cukup kelelahan dan kurang istirahat. Hanya saja..." ucap dokter ragu-ragu menjawab.
"Kenapa, dok? Apa dia terkena penyakit lain?" Lagi, Mila bertanya.
"Dia hamil!"
Mata Mila melotot tercengang saat mendengarnya. Hamil, bagaimana mungkin? Sementara ia tahu bahwa Sofia belum menikah.
"Ha-hamil, dok? Dokter nggak salah meriksa, kan?" Mila seakan tak percaya dengan ucapan dokter yang memerika Sofia.
"Untuk apa saya berbohong? Ini sudah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Jadi, tidak mungkin salah."
'Sofia hamil? Fi, anak siapa yang kamu kandung itu? Aku tidak menyangka, kamu akan begini.' Gumam Mila dalam hati seraya memandangi wajah Sofia yang masih belum sadarkan diri.
"Apa Suaminya ada disini juga?" Ujar dokter itu menanyakan.
"Su-Suami?" Jawab Mila gugup.
"Iya, Suaminya. Ada?"
"Su-Suaminya tidak ada disini, dok. K-kita berbeda kantor."
"Oh, begitu." Balas dokter itu seraya menuliskan beberapa resep obat dan vitamin untuk Sofia.
"T-tapi, dok. Untuk informasi mengenai kehamilan ini, saya minta tolong, agar dokter merahasiakan hal ini pada siapa pun." Ujar Mila memohon.
"Loh, memangnya kenapa? Bukankah ini berita bagus? Malah nantinya akan diberikan bonus oleh pihak kantor."
"Dokter tidak akan paham. Saya memohon dengan kerendahan hati saya pada dokter. Please, jangan beritahu hal ini pada siapa pun!" Ucap Mila seraya mengangkat kedua tangannya.
"Huh, baiklah. Tapi saya tidak bisa berjanji."
"Loh kok, begitu sih dok?"
"Ya nanti kalau saya ditanyakan oleh pihak kantor bagaimana? Saya juga kerja kan di bayar oleh kantor tempatmu bekerja. Perusahaan Mahesa."
Mila mengerutkan dahi, merasa sia-sia dirinya memohon tadi.
"Berapa uang yang dokter butuhkan? Untuk menutup informasi ini." Tegas Mila.
"Ini bukan perkara uang. Tapi soal tanggungjawab saya sebagai dokter. Yang sudah mengabdi pada perusahaan Mahesa."
'Maaf, Fi, aku tidak bisa membantumu.' Gumam Mila dalam hati.
"Hm, baiklah." Mila menyerah dengan keputusan dokter itu.
Tak berapa lama kemudian, Sofia terbangun. Tampaknya ia kaget, karena tiba-tiba berada di ruangan rumah sakit.
"Mil, kita kok ada disini, sih? Aku kenapa?" Tanya Sofia bingung.
"Hm, kamu tadi pingsan. Makanya langsung dibawa kesini sama anak-anak kantor." Jawab Mila dingin.
"Oh, terima kasih Mil. Tapi aku sudah baik-baik saja sekarang." Sofia celingukan melihat-lihat sekeliling.
"Ya, kamu sudah boleh pulang. Mau kembali ke rumah atau ke kantor?" Ujar Mila menanyakan tanpa basa-basi lagi.
"Ke kantor saja. Aku takut terkena hukuman lagi oleh Tuan Aaron." Balas Sofia bimbang.
"Oke, tapi setelah ini aku mau bicara penting sama kamu."
"Tentang apa?" Tanya Sofia bingung.
"Nanti saja, sekarang siap-siap balik ke kantor."
...
Setelah kembali lagi ke kantor Mahesa Group. Mila langsung mengajak Sofia ke dalam toilet. Karena baginya tak aman untuk berbicara tentang kehamilannya di ruang kerja teamnya. Pasti akan ada yang tahu, dan mendengarnya.
"Ada apa sih, Mil? Sepertinya sangat serius." Tanya Sofia bingung.
"Sebelum itu, kamu harus jawab pertanyaanku dengan jujur, Fi."
"Iya, tapi kenapa?"
"Ya jawab saja, kenapa sih?! Tinggal jawab, susah banget!" Ujar Mila mulai emosi.
"Mil, kamu kenapa sih? Kok jadi aku yang di maki begini. Aku memangnya ada salah, sama kamu hah?! Aku pikir kita teman."
"Fi, KAMU HAMIL! Bayi siapa yang kamu kandung itu, hah?! Aku tahu kamu belum menikah. Makanya aku tanya ini disini. Kamu bilang, kamu pikir kita teman? Seharusnya aku yang bilang begitu. Aku sudah berusaha untuk menutupi kehamilanmu pada pihak kantor. Aku bahkan memohon pada dokter yang memeriksamu. Agar dia tidak membocorkan soal kehamilanmu ini. Aku juga berbohong pada dokter itu. Kalau kamu punya Suami yang tidak satu kantor dengan kita. Hah, kamu masih bilang kamu pikir kita teman?! Urus saja lah, masalahmu sendiri! Jangan menyusahkan orang lain lagi!" Dengan emosi Mila menjelaskan semuanya. Lalu pergi melenggang meninggalkan Sofia seorang diri. Yang masih berdiri di dalam kamar mandir itu. Sembari menatap dirinya di depan cermin besar. Yang ada di depannya sekarang.
"Ha-hamil?! Ti-tidak, tidak mungkin aku hamil! Hiks... hiks... aku tidak mungkin hamil! Hiks... hiks... hiks..." tutur Sofia sedu. Bulir bening di sudut matanya mengalir begitu saja.
Ia tak menyangka, dirinya akan hamil. Terlebih lagi, hamil dari pria malam itu. Aaron Mahesa, lelaki yang sudah menidurinya dalam keadaan tak sadarkan diri.
Sofia berjalan keluar toilet dengan langkah goyah. Matanya terlihat sembab. Namun saat ia sampai di lorong.
BRUK!
Tak sengaja dirinya menabrak seseorang. Dan ternyata itu adalah Aaron. Orang yang ia tabrak barusan. Sangat kebetulan, bisa bertemu dengan Ayah dari bayi yang di dalam kandungannya.
"Jalan yang benar!" Ucap Aaron kesal.
"M-maaf, Tuan. Sa-saya tidak sengaja, permisi!" Balas Sofia langsung menghindari dan pergi.
'Kenapa dengan matanya? Apa dia menangis? Heh, bukan urusanku!' Gumam Aaron dalam hati. Seraya memasuki ke dalam toilet.
Toilet kantor MG memang bersebelahan. Antara toilet pria dan wanita. Maka itu sebabnya, Sofia dan Aaron bisa bertemu secara kebetulan.
Sofia mengutukki diri di dalam hati. Merasa telah gagal menjaga diri dan harkat martabatnya sebagai seorang wanita baik-baik. Hamil tanpa seorang Suami. Begitu buruk dimata semua orang.
Terlebih lagi, hamil diluar nikah dengan pria yang sudah memperkosanya pada malam itu. Malam yang seharusnya ia membicarakan pasal pertunangannya dengan Keenan. Namun, dirinya justru terjebak pada cinta satu malam.
Dengan pria yang sebenarnya, direktur di perusahaannya sendiri.