Chapter 17 - Penyebab

Putri salah tingkah, ia sering memalingkan wajahnya ke arah lain. Masalah diperparah dengan tidak sanggupnya kedua mata Putri menatap wajah tampannya.

Nara terus mendekatkan wajahnya ke depan wajah Putri, tentu saja Putri merasa sangat gugup. Wajahnya langsung berubah merah. "Nara mau ngapain sih?!" batin Putri.

Senti demi senti, Nara terus mendekati pipinya. Putri sedikit panik, apakah ia akan melakukan sesuatu yang intim sekarang?!

Nara membisik. "Saya tidak semudah itu akan pergi meninggalkanmu, hanya karena kamu tidak sadarkan diri lama. Karena saya terlatih untuk menunggumu dalam jangka waktu yang cukup lama." bisik Nara ke bawah telinganya hingga membuat Putri kegelian. Panas dingin, merinding, dag di dug ser, campur aduk.

Putri mulai merasakan tangan Nara menimpa tangan kanannya, menggenggamnya, seiring wajahnya yang kian mendekatinya dan ia meluncur dengan sebuah kecupan manis di pipinya.

Putri benar-benar tidak menyangka, pria itu bahkan melakukan sesuatu yang membuat jantungnya tidak bisa terkendali.

Tiba-tiba Reza dibelakang sana masuk dan menyadari mereka berdua. Ia langsung menutup kedua matanya.

"Ih no sensor nih ceritanya. Aku kan masih kecil." ucap Reza. Putri dan Nara spontan kaget dengan kehadirannya sehingga saling menjauhi diri masing-masing.

Nara sedikit kesal dengannya karena sudah mengganggu masa-masa mereka berduaan.

"Kenapa kamu masih ada disini? Kan saya bilang kamu harus kembali menemui ibu kamu." ucap Nara.

Reza melepas tangannya dari wajah. "Kita kan mau kesana bareng-bareng sama kak Putri." ucap Reza.

Putri mengerdip-ngerdipkan matanya, tidak mengerti apa yang dikatakan Reza. Ia beralih menatap Nara dengan tatapan penuh pertanyaan. Ia berkata.

"Dia bukannya anak yang aku tolongin waktu itu?" tanya Putri heran. Nara menghela nafas lalu menatap datar Reza, ia berujar.

"Atas dasar persetujuan siapa kamu berbicara seperti itu?" tanyanya pada Reza.

"Kata kakak waktu itu." ucap Reza. Nara mengernyit. "Kapan?"

Reza mengalihkan atensinya ke arah lain. "Waktu itu." ucapnya sedikit terdengar kecil suaranya, entah tidak yakin atau apa.

"Memang kita mau kemana, Nara?" tanya Putri penasaran.

"Tidak usah hiraukan dia, terlebih ada satu hal yang harus kamu tahu, anak lelaki itu... Dia bukan manusia. Tadinya saya mau menjelaskan kalau dia adalah hantu, tapi kamu sudah terlebih dahulu ditabrak oleh mobil itu." ucap Nara.

Putri hampir tidak percaya ketika dikatakan seperti itu. "Jadi Reza bukan manusia?!" batin Putri.

"Saya sudah bilang berkali-kali, setiap hari bahkan. Kalau saya tidak mau tahu tentang urusan kamu." ucap Nara pada Reza.

Putri terkejut, kenapa Nara bersikap seperti ini?

Reza hanya terpatung diam seraya menunduk sedih.

Putri memegang tangan Nara dan menggenggamnya. Nara tersentak, Putri menatapnya seraya tersenyum. "Sama anak kecil masa gitu hehe?" tanya Putri. Nara spontan terdiam.

Putri segera berjalan menuju Reza dan mengusap pundaknya, menjongkok didepannya. Putri tersenyum. "Kamu mau ajak kami kemana hmm?" tanya Putri.

Reza menatapnya takut-takut. "K-ke rumah ibuku kak." ucapnya pelan.

"Kenapa kok kamu ngajakin kita? Apa ada hal lain yang kamu mau kami bantu?" tanya Putri.

"Iya kak ada. T-tapi kakak mau bantuin aku?" tanya Reza masih takut.

"Bantu apa memangnya?" tanya Putri.

"Aku mau kakak bantuin aku ngomong sama ibu. K-kakak mau gak?" tanya Reza. Putri tersenyum.

"Iya mau." ucap Putri, Nara tersentak. Apa katanya?

Reza langsung semringah ketika itu juga. Ia langsung jingkrak-jingkrak kegirangan. "Hore! Makasih banyak kakak cantik yang baik hati. Enggak kayak kakak sombong itu wee, dasar pelit!" ucap Reza seraya memelet lidah.

Nara merasa sedikit sebal dengan kepolosan sang anak yang begitu berniat cari ribut.

Esok harinya.

Putri, Nara dan Reza sedang dalam perjalanan ke rumah ibu Reza. Sepanjang perjalanan menyusuri jalan perkampungan itu dengan berjalan kaki, Reza terus mengobrol dengan Putri.

Nara ditinggalkan dibelakang sana, dengan perasaan cemburunya yang sedikit menyala-nyala. Meski sepanjang mereka berbicara, Nara hanya diam saja disana.

"Kenapa kok kamu mengakhiri hidup kamu kayak gitu? Memangnya kamu enggak sayang sama orang tua kamu?" tanya Putri.

"Itu karena ibu benci banget sama aku kak, tiap aku pulang sekolah atau main keluar lama-lama ibu selalu marah-marah. Ibu benci sama aku dari dulu, aku enggak mau nyusahin ibu terus. Mungkin dengan aku pergi, ibu bakalan bahagia." ucap Reza.

Putri menghentikan jalannya dan memegang pundaknya.

"Kamu enggak boleh ngomong kayak gitu. Itu namanya berpikiran buruk. Yang namanya seorang ibu enggak ada yang benci sama anaknya, mereka pasti akan menyayangi anaknya. Kalau mereka dari awal sudah membenci anaknya, mereka tidak akan pernah melahirkan kamu, kamu tahu sendiri kan melahirkan anak itu perjuangannya luar biasa." ucap Putri.

Reza terdiam, menunduk.

"Belum tentu juga yang kamu pikirkan itu benar, coba kalo yang kamu pikirkan itu salah. Apa kamu bisa kembali hidup lagi? Enggak kan? Hidup itu cuma sekali, jadi kamu harus gunakan waktu kamu sebaik mungkin. Banyak orang yang ingin bisa hidup, tapi kamu malah menyia-nyiakan nyawa kamu." ucap Putri.

Reza menunduk, tapi masih ada pikiran buruk yang mengganjal di kepalanya. Ia segera berkata.

"Tapi kak, ibu enggak pernah senyum pas aku dapet nilai bagus, ibu juga bilang kalo enggak mau ngambillin aku rapot karena aku anak yang bandel. Terus kalo ibu lagi marah, ibu suka sampai nangis dan enggak mau keluar kamar." ucap Reza.

Putri merasa prihatin saat mendengarnya.

"Kamu tahu apa penyebab ibu kamu marah?" tanya Putri penasaran. Reza menggeleng. "Apa sebelum ibumu marah, kamu melakukan kesalahan yang membuatnya marah?" tanya Putri.

Reza terdiam sebentar, memikirkan sesuatu. Setelah dirinya mendapatkan sebuah jawaban, ia pun segera berkata.

"Ibu selalu marah kalau aku ngomongin bapak kak." ucap Reza. Putri tersentak.

"Bapak? Memang bapak kamu pergi kemana?" tanya Putri.

"Bapak udah enggak ada kak." balas Reza. Kedua mata Putri melebar sesaat. "O-oh gitu." Putri merasa sedikit prihatin.

"Kalo boleh tahu, apa yang kamu omongin ke ibu kamu tentang bapak kamu?" tanya Putri. "Aku nanya apa bapak masuk surga atau neraka kak." ucap Reza.

"Ada lagi?" tanya Putri.

"Terus aku tanyain bapak kenapa bisa meninggal, apa bener bapak meninggal karena jadi tumbal apa gimana. Soalnya aku terus-terusan dikatain sama temen-temenku kalau bapak meninggal karena dibunuh sama jin." ucap Reza.

Putri dan Nara tersentak mendengarnya, salah satu dari mereka segera berkata. Dia adalah Putri, yang sedikit tidak percaya dengan perkataannya.

"Dek, yang namanya orang meninggal itu karena udah takdirnya, bukan karena jin atau apa hehe." ucap Putri diselingi tawa.

"Oh gitu kak, aku gak tahu." ucap Reza.

"Tapi kok kamu bisa ngira bapak kamu meninggal karena dibunuh sama jin?" tanya Putri.

"Soalnya banyak teman sekelas sama tetangga pada bilang kalau bapak jadi tumbal pesugihannya sendiri. Terus katanya bapak nanggung dosanya sendiri karena enggak jadi numbalin aku." ucap Reza.

Putri dan Nara serentak terkejut dengan perkataannya. Putri langsung berbisik pada Nara.

"Kamu percaya sama perkataannya? Istilah tumbal-tumbal karena pesugihan gitu emang efeknya bisa kembali ke orangnya?" tanya Putri.