Putri bahkan hampir ingin tertawa mendengarnya, terdengar konyol.
"Tunggu, tunggu. Ini aneh loh. Kenapa ibu tiba-tiba jodohin Putri sama Panji? Ibu enggak lagi mabok genjer kan ya?" tanya Putri.
"Apaan sih kamu Put, orang ibu ngomong bener juga." ucap Ratih.
"Ya aneh, kenapa tiba-tiba mau jodohin Putri?" tanya Putri masih heran.
"Kamu belakangan sering celaka dan kena sial, ibu khawatirnya kamu kayak gitu karena habis dari gunung gede. Ibu takut jin penunggu gunung itu udah mulai ngikutin kamu bahkan mau nikahin kamu." ucap Ratih.
Putri tersentak, ia sepintas melihat ke arah Nara yang diam saja bahkan melengos ketika sedang diomongi seperti itu. Putri kembali melihat ke arah ibunya.
"M-maksud ibu gimana? Jin penunggu gunung gede?" tanya Putri pura-pura tidak mengerti.
"Sebenarnya dulu ibu pernah dikasih wasiat sama uyut kamu jika kamu nanti sudah dewasa akan dinikahkan dengan manusia.... setengah jin." ucap Ratih. Putri merasa tidak kaget sama sekali, ia tahu jelas kalau perkataan itu akan meluncur dari mulut ibunya.
Tapi ia mencoba untuk menyesuaikan ekspresinya supaya sang ibu tidak merasa curiga dengannya.
"Dan satu-satunya jalan untuk kamu terhindar dari pernikahan dengan jin itu adalah kamu menikah sama Panji." ucap Ratih. Putri masih tidak terima dengan ini.
"Ya kenapa mesti Panji? Putri enggak mau dipaksa-paksa begini Bu. Putri bisa menentukan siapa yang akan Putri nikahi." ucap Putri kekeh.
"Loh, emang kamu... Bukannya kamu suka sama Panji? Kata bapak, kamu dari dulu suka sama Panji." ucap Ratih heran. Putri langsung menolak.
"Enggak Bu, Putri emang dulu suka. Tapi sekarang udah enggak lagi. Lagian juga si Panji kan punya orang yang dia suka, Melissa." ucap Putri.
"Melissa? Itu yang cewek rambut panjang, tinggi dan cantik itu bukan?" tanya Ratih. Putri makin curiga.
"Kok ibu tahu? Perasaan ibu belum pernah ketemu sama Melissa deh, Panji juga." ucap Putri heran.
"S-sebenarnya beberapa hari lalu Panji, Melissa dan kedua teman kerja kamu lainnya pada kesini, jengukin. Terus kita saling... Ngobrol gitu." ucap Ratih seperti menutupi sesuatu.
"Mereka kesini?! Jangan bilang ibu bicarain masalah perjodohan aku sama penunggu gunung itu terus habis itu mohon-mohon ke Panji buat maksa dia nikah sama aku gitu Bu?!" tanya Putri kecewa. Ratih merasa sedikit bersalah.
"Awalnya ibu minta dua teman kamu itu, enggak negesin si Panji harus nikahin kamu. Trus teman cowok kamu yang lain bilang Panji nikahin Putri aja. Terus Panji setuju mau nikahin kamu." ucap Ratih.
"Hah? P-panji bilang mau Bu katanya?!" tanya Putri tidak percaya.
"Iya, Put. Panji bilang sendiri bersedia mau nikahin kamu." ucap Ratih meyakinkan.
Putri masih tidak percaya, terlebih ia tahu kalau perubahan ekspresi wajah Nara terlihat begitu nyata disana.
Ia merasa tidak enak, apalagi sekarang mereka sudah menjadi sepasang kekasih.
"Panji pasti hanya merasa kasihan aja Bu, sebenarnya dia enggak mungkin mau nikah sama Putri. Dia itu sukanya sama Melissa." ucap Putri.
"Gitu ya. Heuh ibu jadi enggak enak nih sama Melissa. Apalagi waktu kemarin dia sempet marah-marah sama kita." ucap Ratih.
"Marah-marah? Melissa?" tanya Putri tidak percaya. "Iya, dia bilang kita semua itu pemikirannya kolot, kenapa percaya aja sama jin-jin begitu." ucap Ratih.
Putri tertawa. "Pasti dia cemburu itu Bu, enggak nyangka. Berani juga dia ngomong begitu didepan Panji. Haha." tawa Putri.
"Tapi bener kamu enggak mau nikah sama Panji, Put?" tanya Ratih.
"Enggak, Bu. Panji itu suka banget sama Melissa sejak dulu. Lagian Putri udah enggak suka sama dia, Putri... Udah punya pacar kok Bu sekarang." ucap Putri seraya melihat ke arah Nara.
Lelaki itu tersenyum teduh. Setelah beberapa saat dirinya merasa tidak nyaman, kini berubah sesaat. Perkataan Putri benar-benar membuatnya merasa lebih baik.
"Serius kamu, Put?!" tanya Ratih tidak percaya. Putri mengiyakannya.
"Siapa Put? Gimana pekerjaannya? Rumahnya dimana? Kamu kenal darimana?" tanya Ratih berturut-turut.
Putri hanya cengengesan mendengarnya seraya melihat ke arah Nara yang hanya terdiam menatapnya. Sepertinya ia ikut penasaran dengan jawaban yang akan dikeluarkan oleh Putri.
"Hehe nanti aja ya Bu. Intinya Putri lagi di tahap pendekatan sama cowok ini. Doakan aja ya Bu." ucap Putri.
"Iya Put, ibu doain kamu terus kok. Alhamdulillah ya Allah, akhirnya kamu punya calon pasangan juga. Ibu udah takut aja kalo jin penunggu itu sampai nikahin kamu. Ibu enggak bakal terima kalau dia sampai apa-apain kamu." ucap Ratih sembari menggidik.
Putri kembali melihat respon Nara. Lelaki itu dilanda rasa tidak nyaman lagi, Putri melihat ekspresinya dengan jelas. Ia jadi tidak enak dengan Nara.
Malam harinya, Putri kini sudah ada dirumahnya. Baru saja lima belas menit yang lalu dirinya sampai dari rumah sakit.
Ia merasa cukup lelah, ia pun segera merebahkan dirinya ke atas kasur dan menatap ke langit-langit kamar. Melamun.
Jujur dirinya merasa tidak nyaman sejak tadi siang, saat Nara di sudutkan habis-habisan oleh ibunya.
Putri sungguh tidak berniat untuk melukai hati Nara, apalagi menyetujui perkataan ibunya. Ia memiliki pemikiran tersendiri terlepas dari apa yang ibunya katakan.
Sejak tadi juga ia mencoba ingin menjelaskan, tetapi Nara sudah keburu menghilang. Katanya ia memiliki urusan di dunianya sana, sepertinya dia sedang kembali ke gunung gede untuk beberapa saat. Meninggalkannya sendirian hingga sekarang.
Satu hal yang ada di kepala Putri saat ini adalah pertanyaan. Apakah dia pergi karena marah dan berniat menghindarinya?
Putri galau. Ia menghela nafas lalu berbalik, memiringkan posisi tidurnya ke kanan. Namun ia langsung tersontak saat melihat didepannya ada Nara sedang berposisi tidur miring, berhadapan dengannya.
"E-elo." ucap Putri terbata. Nara hanya diam saja, memandangnya dengan wajah datar dan setengah murung.
Yang dipandang pun hanya tersipu malu ketika ditatap seperti itu. Tak mau dibuat terlalu lama salting, Putri pun esgera bertanya.
"Kenapa liatinnya gi--" belum selesai bicara, tangan kanan Nara langsung memegang pipi Putri dan mengelusnya lembut.
Ia tersenyum. Putri jadi semakin memerah wajahnya, ia coba palingkan matanya ke arah lain, ia merasa sangat panas hingga ingin meleleh saja jadi mentega. Kenapa sih dia manis sekali?!
"Nara malu, kamu ngapain ngusap-ngusap gini." gerutu Putri segera melepas tangannya, akan tetapi jadinya ia malah memegang tangan Nara yang besar dan kokoh itu.
Nara mendekatkan tangan Putri ke wajah tampannya lalu ia cium dengan penuh ambisi disertai juga dengan senyuman seringainya. Putri langsung dag dig dug ser. Ia membatin.
"Duh Nara lo ngapain sih kayak gini bikin gue jantungan aja. Jantung gue copot gimana? Mau lo ganti pake jantung pisang?! Udah apa sih, mukanya juga enggak usah diganteng-gantengin gitu kek." batin Putri rusuh.
Bahkan kali ini Nara bersiap akan mencium bibir Putri, selangkah dua langkah, wajahnya semakin mendekat. Putri semakin deg-degan jantungnya. "HUWA EMAK!" Putri membatin dengan kegugupan yang parah.
Nara yang melihat Putri sangat ketakutan pun segera menyudahi hal tersebut. Ia segera memalingkan dirinya dari hadapan Putri.
Ia meluruskan tubuhnya, posisi terlentang dan tidak lagi miring. Putri merasa sedikit bersalah, apakah Nara kecewa dengannya?
Putri memegang ujung baju Nara lalu memanggilnya.
"Nar..." panggil Putri. Nara kembali menoleh ke arahnya.
"Maaf ya. Lo tadi marah sama nyokap gue ya?" tanya Putri cemas.