"Soal percakapan tadi siang? Sama ibu kamu?" tanya Nara. Putri mengangguk. "Saya sedikit kecewa sama ibu kamu." ucap Nara.
Putri sudah menyangka dengan perkataannya ini.
"Maaf ya.. Maaf banget. Ibu gue enggak bermaksud ngomong kayak gitu. Ibu gue cuma... Enggak tahu aja sama sifat lo sebenarnya. Gue yakin kalo ibu gue tahu gimana baiknya elo, pasti ibu gue gak bakal ngomong kayak gitu. Maafin ibu gue ya plis." bujuk Putri. "Iya." ucap Nara singkat.
"Tapi..."
"Iya?"
"Apa kamu masih menyukai Panji?" tanya Nara. Putri tersentak. Entah kenapa ia jadi tertawa. Nara merasa heran.
"Lo cemburu Nar?" tanya Putri diselingi tawa. "Iya, apakah itu lucu?" tanya Nara.
"E-enggak hehe." Putri senyam-senyum mendengarnya.
Entah kenapa dirinya merasa begitu senang dicemburui seperti ini. Bagi Putri... Ini pertama kalinya... Dirinya merasakan hal semacam ini. Diperdulikan oleh seorang pria... Yang mencintainya.
Tapi sepertinya ia harus menjelaskan hal tentang itu sesegera mungkin.
"Sebenarnya dulu gue memang suka sama Panji, tapi semakin lama kok perasaan itu makin hilang ya? Gue yang sering banget ngeliat Panji sama Melissa berduaan malah membuat gue sendiri... Jadi ilfeel sama Panji. Malah pengennya gue tuh nunjukin kalo gue bisa loh nyaingin dia, gue bisa loh nyari pacar kayak dia, gue bisa loh pamer-pamer kayak dia. Bego banget gue, malah menganggap ini kompetisi haha." ucap Putri menyesali dirinya sendiri.
"Udahlah enggak usah ditiru, gue ini sekalinya di kecewain bakal lama sakitnya. Bahkan nyebar kemana-mana penyakitnya." ucap Putri nyengir.
Nara tersenyum mendengar dengan setia curhatannya itu. Entah kenapa dirinya merasa sangat lega, tadinya kepercayaan dirinya yang terkikis kian menebal kembali.
"Kalau begitu mengenai perkataan ibu dan bapak kamu bagaimana? Apa kamu akan menolak mentah-mentah rencananya untuk menikahi Panji?" tanya Nara.
"Iya lah, ngapain gue nikahin orang yang enggak cinta sama gue hehe." ucap Putri. Nara masih tersenyum.
"Kalau begitu... Apa kamu bersiap untuk menjadi calon pengantin saya?" tanya Nara.
Putri tersenyum. Ia berpikir sebentar lalu berkata dengan yakin. "Yakin seratus persen." ucapnya yang langsung membuat Nara tiba-tiba mencium keningnya. Putri tersentak.
Lagi-lagi... Dia melakukan hal seakan diluar kendalinya. Putri benar-benar merasa jika... Pria ini adalah bagian dari hal tidak terduganya yang tidak pernah Putri sangka kehadirannya.
Mereka saling tersenyum setelahnya. Saling memandang wajah satu sama lain hingga salah satu dari mereka pada akhirnya tertidur.
Dia adalah Putri, yang tidur tepat disebelah Nara yang tidak bosan memandangnya. "Selamat tidur. Semoga mimpi indah, calon pengantinku."
Esok paginya Putri sudah kembali lagi bekerja. Tepatnya ia bekerja di perusahaan kosmetik di Jakarta.
Ia berjalan keluar dari dalam lift dengan tas ransel hitamnya lalu masuk ke sebuah ruangan memanjang yang tepat di ujung sana adalah tempat meja kerjanya.
Ia bisa merasakan beberapa temannya saling memusatkan perhatian padanya, terlebih Aisyah, Doni termasuk Panji dan juga Melissa.
Aisyah menyapa Putri.
"Lo udah mendingan Put? Katanya lo baru sadar ya dari koma? Kenapa enggak ngambil cuti dulu?" tanya Aisyah.
"Enggak lah, cuti gue habis entar. Bisa-bisa makin betah gue tiduran." ucap Putri.
"Syukur deh lo udah sadar, Put. Gue ikut seneng." ucap Panji tersenyum. Putri balik tersenyum tipis padanya meski ia sedikit merasa tidak enak dengannya, terutama kalau ingat perkataan ibunya yang akan menjodohkan mereka berdua.
Doni terus menatap ke arahnya dengan ribuan pertanyaan yang bersemayam dikepalanya. Ia angkat bicara.
"Sebenarnya gue punya banyak pertanyaan sama lo, tapi kayaknya lebih enak kita omongin nanti pas makan siang." ucap Doni langsung disetujui oleh Aisyah dan Panji.
Berbeda halnya ketika Putri melihat Melissa, wanita itu cenderung memalingkan matanya ketika tak sengaja berpapasan.
Putri pun mencoba untuk bersikap biasa saja atas hal itu, tidak memusingkan apapun. Ia fokus dengan tugas dan pekerjaannya yang cukup menumpuk hari itu.
Beberapa karyawan di depan sana sedang sibuk meributkan sesuatu. Putri masih fokus mengerjakan tugasnya.
Ia tidak menghiraukan apapun, sampai kalanya Aisyah yang duduk disampingnya mengajaknya bicara, Putri pun terlepas dari fokusnya.
"Eh katanya mau kedatangan direktur baru ya?" tanya Aisyah.
"Hah? Enggak tahu gue. Lu nanya sama gue, Munah, yang baru bangun dari koma." ucap Putri. Aisyah tertawa.
"Lo enggak tahu sih Put, tuh direktur ternyata masih muda banget loh. Udah gitu guanteng banget orangnya, lo bakal naksir deh nanti." ucap Aisyah. Putri tertawa meremehkan.
"Heh, sori ye gak doyan. Kebanyakan orang ganteng jaman sekarang mah simpanannya banyak." ucap Putri.
"Tapi serius loh Put, dia itu jomblo tulen ternyata. Lo sekali ngeliat pasti langsung suka deh."
"Pret."
"Coba entar lo liat ke ruang meetingnya deh, nanti katanya dia meeting di lantai satu." ucap Aisyah.
"Maless." ucap Putri seraya berpangku tangan dengan jari menekan mouse berkali-kali, kedua matanya terus fokus ke depan komputer.
Tiba-tiba Aisyah langsung mengguncang-guncang tangan Putri ketika dirinya mendapati sang direktur utama sedang berjalan bersama dewan direktur lainnya.
Mereka melewati ruang kerja mereka dan berdiri tepat dihadapan mereka. Memberi arahan pada beberapa manajer disana. "Gila! Itu dia, Put!" ucap Aisyah merasa kaget dan sangat tidak percaya.
Putri pun segera mendongak melihatnya dan memperhatikan dari ujung ke ujung pria intelek yang katanya tampan itu.
Pria itu yang merasa dirinya terus diperhatikan oleh Putri pun segera menoleh ke arahnya dan langsung tersentak.
Putri merasa aneh ketika dirinya ditatap seserius itu oleh sang direktur. Aneh sekali. Seakan dirinya benar-benar mengenalnya. Padahal Putri sama sekali tidak merasa mengenalnya.
Putri coba melihat ke sekitarnya, entah ke arah Aisyah atau orang lain dan setelah diteliti ternyata lelaki itu memang sedang melihat ke arahnya bukan ke arah siapapun, ia tidak salah.
Putri semakin merasa aneh, bahkan beberapa orang disekitar pria itu pun ia hiraukan begitu saja. Pria ini terlalu fokus melihat ke arahnya.
Aisyah menyenggol tangan Putri ikut memberi isyarat.
"Eh dia liatin lo bukan sih?! Gila, Put. Lo pake pelet apaan sih? Tuh cowok liatin lu mulu, nyampe kagak ngedip gitu." ucap Aisyah.
"Apaan sih, dia liatin jendela kali. Pede banget liatin gue." ucap Putri tidak mau menghiraukan, ia lebih memilih memalingkan wajahnya ke arah komputer.
Ia benar-benar tidak ingin perduli dengan hal semacam ini.
Di jam makan siang, Aisyah masih setia menunggu Putri yang belum menyelesaikan pekerjaannya.
Hanya tersisa mereka saja berdua disana, karyawan yang lain termasuk Panji, Doni maupun Melissa sudah duluan pergi ke kantin.
Mereka tidak janjian untuk makan diluar lagi seperti kemarin-kemarin. Entahlah, sepertinya hubungan diantara Melissa, Panji dan Doni agak renggang sekarang. Melissa sering menghabiskan waktunya sendirian dan sedikit lebih jutek dibanding biasanya.
Yah, ada masanya juga seperti ini.
"Ayolah Put, buru. Lo ngerjain apaan sih lama bener. Nanti makanannya abis aja." ucap Aisyah.
"Mana ada makanan kantin habis. Bisa-bisa nanti diomelin sama pak direktur." ucap Putri mencoba menyelesaikan sortiran invoicenya yang masih bertumpuk banyak.
"Put, menurut lo direktur baru itu kenapa ya terus-terusan liatin lo? Apa sebelumnya lo udah saling kenal sama dia?" tanya Aisyah mendadak penasaran.
"Boro-boro, gue aja baru kali ini ngeliat dia. Ya kali gue ketemu dia di alam bawah sadar pas lagi koma gitu?" tanya Putri. Aisyah tertawa mendengar kekonyolannya.
"Udah ah buru." ucap Aisyah.
"Kayaknya gue enggak makan deh. Numpuk banget kerjaan gue." ucap Putri.
"Hah? Gila apa lu? Kerjaan banyak justru lo harus banyak makan. Gimana sih. Lo mau sakit terus enggak masuk lagi? Kena kepret manajer baru tahu rasa lo." ucap Aisyah.
"Heuh, emang harus banget apa makan?" tanya Putri heran.
"Iya lah. Konyol banget sih pertanyaan lo, Put." ucap Aisyah.
Putri maupun Aisyah tiba-tiba kaget saat melihat sang direktur kembali muncul ke ruangan tersebut.
Pria itu bertanya pada mereka. "Kalian enggak makan?" tanyanya.
Putri langsung bangkit dari kursinya karena saking terkejutnya dan sesegera mungkin mengajak Aisyah untuk keluar.
"I-ini mau makan Pak hehe." ucap Putri sedikit takut. Begitupun dengan Aisyah, ia khawatir jika pembicaraannya barusan membahas pria itu terdengar. Mereka sesegera mungkin pergi melewatinya.
Tapi dengan sangat mengejutkan lelaki itu berkata. "Tunggu." ucapnya.