Sore yang disinari cahaya oranye dari sinar matahari senja, menemani tangis mereka di hari itu.
Dari hal ini, Putri menyadari kalau akibat dari kesalahpahaman dan miss komunikasi, bisa memunculkan nyawa yang hilang.
Kalau saja Reza tahu jika sebenarnya sang ibu tidak membencinya, ia pasti tidak akan berpikir buruk hingga mengancam nyawanya.
Tapi nyatanya semua itu telah terjadi sekarang.
Malam harinya, di atas atap rumahnya, Putri saling duduk bersebelahan dengan Nara.
Mereka saling menatap rembulan diatas sana yang tampak sangat indah. Langit cerah dan dibelakang rembulan tersimpan keindahan dari bintang-bintang yang menghiasi mata mereka.
"Sekarang Reza udah tenang kan ya disana?" tanya Putri seraya melihat ke atas langit, Nara hanya tersenyum sambil ikut melihat ke atas.
"Nar, punya keluarga itu... Kayak susah ya. Kalo gue ngeliat apa yang terjadi sama Bu Eliza kemarin pasti alasan utama suaminya melakukan pesugihan karena masalah ekonomi. Bukan hanya itu, masalah-masalah ketika kita berumah tangga pasti akan ada aja, kalo kita ngelakuin kesalahan, dikit-dikit jadi bahan omongan orang. Ditambah keadaan didalam rumah tangga juga kurang harmonis, kurang komunikasi, kurang menghargai satu sama lain, kurang ini, kurang itu. Alhasil... Banyak yang berantakan pada akhirnya dan anak yang jadi korban." ucap Putri pesimis.
Nara tersenyum, ia tampak memahami perkataan Putri barusan.
"Gue ngerasa enggak pede aja untuk urusan kayak gitu." ucap Putri.
"Memang benar yang kamu katakan, ketika berumah tangga memang banyak ujian yang akan kita tempuh. Tapi kamu juga harus ingat... Kalau banyak orang yang juga telah berhasil menempuh semua ujian itu. Dibanding banyak yang gagal dan berantakan, banyak juga yang mampu untuk melewatinya." ucap Nara.
Putri tersentak, perkataan barusan... Entah kenapa sedikit memberinya pelajaran.
Putri lantas tersenyum dan sedikit terkekeh.
"Dan pilihan kita adalah yang menentukan bagaimana akhir rumah tangga kita itu." ucap Nara. Putri semakin terkekeh kecil mendengarnya.
"Terus lo jadi nih mau menempuh rumah tangga sama gue, Nar? Udah siap?" tanya Putri dibarengi tawa. Nara ikut tertawa.
"Saya sudah siap sejak kamu lahir bahkan." ucap Nara. Putri tertawa geli.
Tiba-tiba Putri merasakan tangan kirinya ditimpa oleh Nara, bahkan berangsur digenggam kuat olehnya. Putri hanya bisa senyam-senyum sendiri ketika itu, merasakan udara malam yang kian memanas dan tangannya yang berangsur keringetan ketika digenggam.
"Tapi Nar." mendadak Putri teringat sesuatu.
"Kenapa?" tanya Nara.
"Gue udah yakin pengen rumah tangga sama lo, tapi gimana sama keluarga lo? Dan keluarga gue? Sedangkan kedua orang tua gue enggak setuju sama hubungan kita. Dan... Kita aja berada di dunia yang berbeda, iya gak sih?" tanya Putri.
Nara tersenyum tipis.
"Iya, memang. Oh iya, kamu mau saya kenalkan ke keluarga saya?" tanya Nara. Putri tersentak.
"Keluarga? M-maksudnya gue ketemu sama keluarga lo yang merupakan seorang jin, gitu? N-nyeremin gak hehe?" tanya Putri sedikit takut.
Nara tertawa kecil.
"Enggak kok, tenang aja." ucap Nara.
"Yaudah, kapan?" tanya Putri.
"Saat kamu libur aja." ucap Nara.
"Oke deh."
Mereka saling menyudahi pembicaraan dengan masing-masing menatap ke atas langit malam itu. Angin berhembus sejuk.
Mereka begitu menikmati pemandangan malam tersebut, Nara kini mengalihkan kedua matanya ke arah Putri. Ia memandangnya diam-diam, kemudian tersenyum.
Tangan kanannya bergerak perlahan menuju tangan kiri Putri, ia berniat akan memegang tangannya, akan tetapi Putri keburu bangun dari duduknya dengan mata memicing heran ketika melihat ke bawah sana.
Ada sebuah kontainer berhenti tepat di seberang rumahnya. Putri yang penasaran pun segera mendekati pembatas atapnya, memastikan dengan jelas truk apa sebenarnya yang sedang berhenti tersebut.
Ternyata truk itu berisi banyak barang, seperti lemari, kulkas, spring bed, kasur, meja, sofa dan lain sebagainya.
Sepertinya itu orang pindahan, dan ia pindah tepat ke rumah besar dan mewah yang selama berbulan-bulan ini kosong.
Syukurlah segera ada yang menempati rumah tersebut, bahkan banyak rumor beredar kalau rumah didepannya itu berhantu karena ditinggal mati istri dari pemilik rumahnya.
Meninggalnya juga tidak wajar, disebabkan karena kecelakaan. Lalu sang pemilik rumah pun menjual rumah itu kemudian pindah keluar kota, selama berbulan-bulan rumah itu tidak berpenghuni, orang-orang yang lewat ke depan rumahnya bahkan sering mendengar suara cekikikan tawa kuntilanak dari atas balkon.
Bahkan kakak perempuan Putri pun pernah melihat seseorang seperti sedang menatapnya dari arah jendela.
Syukur deh hal itu tidak pernah terjadi pada Putri, dirinya merasa sangat beruntung hantu itu tahu kalau Putri adalah seorang yang penakut.
Tapi ada satu hal yang membuat Putri merasa aneh... Orang di bawah sana sangat mirip dengan....
Untuk memastikan, Putri pun segera turun dari atap, berlari keluar dari rumahnya. Ia keluar dari pagar dan berjalan menuju pria yang sedang menitah lima bapak-bapak untuk menurunkan barang dari atas truk.
Putri berjalan langkah demi langkah mendekatinya, Nara dibelakang sana tampak kaget karena melihat pria yang sedang didekati oleh Putri ketika itu adalah... Sultan?!
"Bapak kan? Direktur baru yang kerja di perusahaan saya?" tebak Putri. Sultan ikut kaget dengan kehadiran Putri disana.
"Loh, kamu? Kamu tinggal disini juga?" Sultan balik tanya.
"Iya Pak, itu rumah saya. Tepat didepan rumah bapak hehe." unjuk Putri ke rumah dibelakangnya.
"Astaga, saya benar-benar tidak menyangka. Makin sering aja dong ya kita ketemunya." ucap Sultan, Putri terkekeh. "Iya Pak hehe."
"Eh daerah sini banjir enggak?" tanya Sultan.
"Enggak sih Pak, sekalinya hujan gede juga enggak nyampe banjir disini mah." ucap Putri.
"Aman ya berarti? Enggak rawan maling atau apa gitu disini?" tanya Sultan.
"Enggak Pak, aman kok." ucap Putri.
"Tapi kok bapak malem-malem sih pindahannya? Nanti berbenahnya capek hehe. Ngantuk." ucap Putri.
"Iya soalnya kalo nunggu hari libur harus seminggu lagi kan? Yaudah malem-malem aja pindahnya. Untuk soal beberes rumah, saya udah nyewa orang kok buat beresin semuanya. Saya juga punya pembantu disini." ucap Sultan.
"Oh gitu. Bagus kalo gitu Pak hehe." ucap Putri.
Nara tidak nyaman dengan ini, ia segera pergi menghilang dari sana.
Putri pun langsung tersadar. Ia merasa sedikit tidak enak dengan Nara. Apakah mungkin Nara cemburu melihatnya mengobrol dengan Sultan?!
"Kalo gitu saya permisi dulu ya Pak. Semoga bapak betah tinggal disini dan terhindar dari gangguan makhluk jahat. Selamat malam Pak." ucap Putri. Sultan sedikit heran dengan perkataan akhirnya.
"Terhindar dari gangguan makhluk jahat?" gumam Sultan bertanya-tanya.
Esok paginya, di meja makan. Kirana merasakan keanehan pada diri Putri, dimana adik satu-satunya itu sering menoleh ke kanan, kiri, ke belakang atau ke atasnya. Seolah sedang mencari sesuatu.
Kirana yang risih pun segera menegur. "Lo kenapa sih? Lagi nyariin cicek lo? Enggak inget kalo di piring udah ada ayam?" tanya Kirana heran.
Putri hanya diam saja ketika itu, ia cenderung murung dan semakin bertambah malas untuk duduk tegap, ia menidurkan wajahnya diatas meja, seperti tanaman yang meleyot, seakan tidak punya tulang untuk duduk tegap.
Padahal didepan matanya tersedia nasi goreng yang sudah ibunya buat.
Tepatnya ia sedang memikirkan tentang Nara. Kelihatannya pria itu sedang marah dengannya, padahal biasanya setiap pagi dirinya selalu hadir duduk disebelah kursinya.
Namun kini dirinya tidak memunculkan batang hidung sekalipun. Dia pasti cemburu karena perihal tadi malam.
"Heuh. Harusnya gue lebih peka sedikit tadi malem. Apa jangan-jangan sekarang dia niat mau mutusin hubungan sama gue? Akh tahu deh. Kayaknya emang nasib gue jomblo kali ya." batin Putri lemas.
"Kenapa sih lu? Kayak enggak ada tulangnya tahu gak? Meletot gitu. Ah, gue tahu. Lo di duain ya sama si Panji?" tanya Kirana. Putri tetap diam, tidak membalas. Mau duduk makan saja malas, apalagi berbicara.
Ratih yang melihat Putri seperti itu pun ikutan menegur.
"Loh kenapa kamu? Putus sama pacar barumu?" tanya Ratih. Kirana tersentak mendengar kata pacar disebut.
"Hah? Emang lu punya pacar, Put?" tanya Kirana tidak menyangka.
Dikatakan seperti itu pun Putri semakin menelungkupkan wajahnya ke atas meja. Semakin lemas.
"Put, jawab ih. Malah murung gitu. Putri!" panggil Kirana mencolek-colek bahu adiknya itu. Meski Putri pada akhirnya hanya membalasnya dengan rengekan kencang.
Kirana merasa adiknya ini benar-benar mulai butuh obat, atau mungkin dia sedang kesurupan?
"Lo kalo kesurupan bilang Put, biar nanti gue ruqyah." ucap Kirana.
Beberapa saat kemudian. Di kantor, Putri sedang menyeduh teh di pantry. Sepertinya meminum teh adalah cara yang sedang diupayakan oleh Putri untuk menetralisir kegalauannya.
Ia duduk menghadap jendela, melihat pemandangan langit diatas sana sembari menyesap teh hangatnya, merasakan tiap detiknya berlalu tanpa kehadiran Nara.
Sosok yang pernah mengatakan ingin menjadi pendamping hidupnya. Sosok yang dengan pedenya ingin memperkenalkan dirinya pada kedua orang tuanya.
Kenapa.... Secepat itu dirinya memutuskan untuk pergi?
Tiba-tiba dirinya merasakan kehadiran seseorang disebelahnya, bahkan kehadirannya yang seperti hantu disertai mata pandanya sampai membuat Putri berteriak mengira hantu.
"Hwaa!"
Ternyata itu adalah Sultan.
"B-bapak kenapa Pak? Kok kayak gitu matanya?" tanya Putri heran.