Chereads / Kekasihku Penghuni Gunung Keramat / Chapter 22 - Air mata di hari ini

Chapter 22 - Air mata di hari ini

Panji diam saja dikatakan seperti itu, ia lebih cenderung memalingkan wajahnya tanpa melihat ke arah Putri atau salah satu dari mereka, yang menyebabkan Putri semakin merasa kalau dirinya memang benar demikian.

"Denger ya Panci, gue sama sekali enggak niat menikah cuma buat main-main. Gue cuma pengen nikah sama orang yang bener-bener cinta sama gue." tandas Putri.

Panji hanya terdiam disana. Melissa diam-diam dibelakang sana mendengar percakapan mereka. Entah kenapa dirinya seperti paham kalau Panji sebenarnya hanya merasa kasihan pada Putri bukan karena cinta. Ia merasa bersalah jadinya, dengan Panji.

"Tapi lo yakin enggak mau nikah sama Panji, Put? Gimana kalo jin itu terus-terusan bikin lo sial mulu?" tanya Doni.

"Kok lu mikirnya gitu sih? Nih, gue kasih tau ya sekali lagi. Gue kecelakaan kemarin itu BUKAN karena jin. Tapi karena kelalaian gue sendiri. Lo paham? Enggak ada hubungannya jin, pernikahan sama gue kecelakaan. Gak ada!" jelas Putri. Mereka pun saling melihat satu sama lain.

"Yaudah kalo lu ngomong kayak gitu. Tapi kalo misal nih lo kena sial lagi, jangan salahin kita. Soalnya kita udah nyaranin lo buat nikah tapi malah lu tolak." ucap Doni.

"Ya gue bakal nikah nanti tapi enggak sekarang, lagian semua ini tuh enggak ada hubungannya sama itu." ucap Putri. "Okeh." ucap Doni.

"Yaudahlah ngapain sih ngeributin jin, gue setuju kok sama Putri. Takhayul itu percaya gitu-gituan." ucap Aisyah.

Tiba-tiba saja Putri melihat didepan sana ada seorang wanita usia sekitar 30 tahunan sedang membujuk penjaga kantin, entah apa yang dirinya bujuk.

Tapi penjaga kantin itu seperti menolak permintaan sang ibu. Yang lebih membuat Putri penasaran bukan hal itu sebenarnya, tapi wajah wanita itu. Seperti dirinya kenal.

Putri pun terus memicing melihat wanita itu dari kejauhan seraya mengingat-ingat dimana dirinya pernah temui.

Nara penasaran dengan hal apa yang membuat Putri teralihkan perhatiannya. Ia pun ikut melihatnya dan langsung tersentak.

"Itu kan... Ibunya Reza." tunjuk Nara. Putri langsung tersadar.

"Oh iya, pantesan kayak pernah ngeliat!" batin Putri.

"Kok bisa ada ibunya Reza ya disini?" tanya Putri pada Nara.

"Dia membawa makanan kayaknya ya? Apa mungkin dia berniat menitipkan jualannya disini?" tanya Nara.

"Iya sih bisa jadi." ucap Putri. Ketiga temannya saling bertanya-tanya melihat Putri bicara sendiri.

"Si Putri ngomong sama elu?" tanya Doni ke Aisyah. Tentu saja Aisyah menggeleng.

"Orang gue lagi makan. Sama lu kali, Pan?" tanya Aisyah ke Panji.

"Palalu ngomong, dari tadi gue liatin hape." ucap Panji.

"Terus dia ngomong ama siapa dong? Demit? Kok serem ya?" tanya Doni mulai merinding bulu kuduknya.

Bahkan tiba-tiba Putri bangkit dari kursinya. "Ayo." ucap Putri seraya pergi dari sana, seakan mengajak seseorang untuk pergi. Mereka pun saling tercengang dan bengong melihat kepergiannya.

Eliza bahkan sampai memohon-mohon pada penjaga kantin tersebut.

"Saya mohon Bu, saya lagi kesusahan uang. Minimal ibu taruh makanan ini disini, biar besok saya kesini lagi. Enggak apa-apa kalo awal-awal enggak laku. Minimal saya dapat seperak atau dua perak dari sini." ucap Eliza yang menurut sang penjaga kantin itu terdengar memaksa.

"Maaf Bu, enggak bisa. Soalnya ini bukan kantin yang nerima makanan dari luar sembarangan. Dan ini kantin yang dikhususkan buat tempat makan yang enggak jual-jual makanan." ucap penjaga kantin. Meski saat melihat Eliza dirinya merasa sedikit kasihan.

"Maafin saya Bu, soalnya saya juga takut diomelin sama orang sini. Bukannya niat nolak ibu, enggak." ucapnya lagi.

Eliza tersenyum lirih. "Iya Bu, enggak apa-apa. Mungkin memang bukan rejeki saya disini. Saya permisi, Bu." ucapnya seraya pergi dari sana membawa satu box makanan yang isinya masih banyak itu.

Putri segera menahan tangan Eliza. "Bu."

Eliza tersentak saat melihat Putri tiba-tiba muncul di depannya. Bukankah dia... Orang yang kemarin dirinya usir?!

Bagaimana mungkin... Apa ia bekerja disini?!

"Bu Eliza, kan?" tanya Putri memastikan.

Eliza merasa sangat malu ketika itu, ia berniat pergi sesegera mungkin akan tetapi dirinya kembali ditahan oleh Putri.

"Taruh makanan disini emang enggak bisa, Bu. Tapi kalo di koperasi mungkin bisa. Ibu mau saya bantu titipin makanan ini di koperasi kantor?" ucap Putri.

Eliza tersentak. Ia benar-benar merasa malu dan sedih. Kenapa dia malah menawarkannya bantuan? Padahal kemarin dirinya sudah besikap semena-mena padanya.

"Maaf saya harus pergi." ucap Liza tetap kekeh berniat pergi. Akan tetapi Putri langsung merebut box makanan itu dari tangan Eliza.

"Udah, ibu enggak usah merasa malu ataupun enggak enak sama saya. Ibu ikut saya yuk, Bu sekarang." ucap Putri mengajak Eliza pergi dari sana.

Sepertinya Putri menyudahi begitu saja makannya saat itu. Meninggalkan Panji dan kedua temannya yang lain masih dalam keadaan heran dan bertanya-tanya.

Beberapa saat kemudian, setelah Putri mengajak Eliza ke koperasi menaruh box makanan. Mereka kini saling jalan berdampingan.

"Maaf ya, ibu jadi ngerepotin kamu." ucap Eliza tidak enak.

"Iya Bu. Enggak apa-apa. Saya ngelakuin ini emang bener-bener niat bantuin ibu kok." ucap Putri.

"Makasih ya." ucap Eliza.

Mereka saling terdiam disela perjalanan mereka melewati koridor. Putri merasa sangat ingin menjelaskan kesalahpahaman yang kemarin.

"Oh iya Bu, soal kemarin. Saya ingin memohon maaf sebesar-besarnya karena mungkin sikap dan tindakan saya kemarin terlalu berlebihan sama ibu. Tapi jujur saya enggak berniat untuk melakukan hal jahat atau kerja sama dengan orang lain untuk membuat opini publik atau apapun. Maafin saya ya Bu." ucap Putri.

"Iya, ibu juga ingin minta maaf karena tindakan ibu kemarin juga terlalu berlebihan sama kamu. Enggak seharusnya ibu ngusir kamu kayak gitu. Dan setelah melihat perlakuan kamu barusan, ibu jadi nyadar kalau kamu adalah orang yang baik, bukan orang jahat." ucap Eliza, Putri tersenyum lirih.

"Dan ada yang ingin ibu tanyakan sama kamu sekarang." ucap Eliza. Putri penasaran.

"Apa yang kamu katakan benar, kalau Reza masih ada disekitar saya sekarang?" tanya Eliza. Putri tersentak. Syukurlah tampaknya Eliza mulai bisa mempercayainya sekarang.

Sore harinya, sepulang kerja. Putri janjian dengan Eliza untuk bertemu di sebuah taman. Putri berlari terburu-buru menuju taman, akhirnya setelah mencari dimana keberadaan Eliza dirinya pun menemukan wanita itu.

Ia melambai tangan ke arahnya yang ketika itu juga berpapasan mata dengannya. Putri berlari menujunya.

Sampai dihadapannya Putri pun ikut duduk disebelah Eliza. "Maaf ya bu, ibu nunggu lama?" tanya Putri.

"Iya, enggak apa-apa." jawab Eliza tersenyum.

"Apa saat ini Reza ada disini sekarang?" tanya Eliza. Putri tersenyum dan mengangguk.

"Dia sekarang ada dibelakang ibu." ucap Putri. Reza tersenyum lirih memandang ibunya dari belakang kursi. Disana ia berdiri bersebelahan dengan Nara ketika itu.

Eliza langsung berkaca-kaca, hingga jatuhlah air mata itu menetesi pipinya. Ia terisak sangat dalam.

"K-kalau boleh tahu, kenapa Reza masih ada disini? Apa masih ada urusan yang belum dia selesaikan di dunia ini?" tanya Eliza masih terisak.

"Iya Bu, itu karena dia ingin bicara sesuatu sama ibu." ucap Putri.

"Mau bicara apa?" tanya Eliza.

Reza mulai membisiki Putri, ada beberapa hal yang ingin ia sampaikan padanya.

Sepanjang dibisiki Putri beberapa kali memanggut. Putri segera berkata setelah Reza membisikinya.

"Katanya Reza mau bertanya kenapa setelah kematian ayah, ibu jadi sering memarahi Reza bahkan diam-diam suka menangis dibelakang Reza. Sebenarnya apa alasan ibu, apa ibu membenci Reza? Itu kata Reza." tanya Putri.

Eliza sepanjang mendengarnya terus sesegukan, dadanya merasa sangat sesak, tidak bisa dipungkiri kalau air matanya terus berjatuhan.

"Sebenarnya ibu enggak marah sama kamu, saat itu... Ibu cuma masih belum bisa nerima kematian ayah kamu nak. Maafin ibu nak, karena keegoisan ibu, kamu jadi merasa tertekan seperti itu. Maafin ibu nak. Hiks." tangis Eliza.

Putri maupun Nara merasa prihatin dengannya, bahkan Putri sampai berkaca-kaca melihatnya seperti itu.

"Ini semua karena ibu merasa tertekan sama orang-orang. Yang terus menggosipi kematian ayah kamu, bukan hanya tetangga, tapi satu kelas kamu termasuk orang tuanya banyak yang tahu mengenai gosip miring tentang ayah kamu. Yang bilang kalau ayah kamu enggak mungkin bahagia di alam sana, yang mengatakan kalau ayah kamu meninggal karena ngorbanin diri. Ibu akui, ayah kamu itu... Dulu memang begitu... Sampai mau nyerahin kamu sebagai tumbal. Tapi akhirnya dia berubah pikiran, lalu.... Semua itu... Berbalik dan akhirnya merenggut nyawanya. D-dia menukar nyawanya untuk kamu. Tapi setelah itu kamu... Kamu malah bunuh diri anakku. Ya Allah.... Ibu merasa sangat-sangat hancur... Kenapa kamu malah memilih untuk menyusul bapak kamu Nak. Astagfirullohhaladzim ya Allah..." tangis Eliza, air mata Putri berguguran dari pelupuk matanya. Ia tidak kuasa menahan kesedihannya kala itu.

"Maafin aku Bu, maafin aku. Hiks. Aku udah jadi anak yang nakal. Aku nyesel bu. Aku mau peluk ibu. Hiks." Reza ikut menangis melihat ibunya seperti itu.

Ia beralih memeluk ibunya tanpa sama sekali disadari oleh ibunya sekalipun.