"Olive … Ellen sudah pergi, kau tidak perlu takut lagi." Teman Olive yang berambut pendek itu duduk di depan Olive, namanya Teresa, wanita yang sedikit tomboy. "Ceritakan pada kami, jangan takut."
Meski mereka selalu mengandalkan Olive sebagai pemimpin mereka dan hubungan pertemanan mereka bukan pertemanan yang tulus dari hati, tapi Olive tetaplah teman mereka.
Olive menatap Teresa, lalu melihat ke arah pintu yang setengah terbuka, matanya seakan menyiratkan kalau ia takut akan kedatangan Ellen.
"Tutup pintunya," seru Teresa, temannya yang masih berdiri bergegas menutup dan menguncinnya dari dalam.
Suasana ruang kelas menjadi sunyi sesaat, untungnya kelas ini sedikit jauh dari kelas lain, sehingga mereka tidak akan terganggu dengan mahasiswa yang berlalu lalang.
"Ceritakan saja," kata Teresa sambil memegang lengan Olive.
Di antara mereka semua, yang paling menonjol memang hanya Olive dan Teresa, mereka seperti ikon yang mudah dikenali dan disegani banyak orang.
"Aku … aku takut …." Olive meremas kedua tangannya, salah satu temannya menyerahkan botol minuman ke depan Olive. "Aku … aku bermimpi …."
Teresa mengerutkan keningnya, ia lalu melirik teman-temannya yang duduk di sekeliling Olive.
"Apa yang kau takutkan? Kalau itu hanya mimpi, itu artinya bukan kenyataan, bukan?"
"Ya, ya, kenapa kau takut pada seseorang hanya karena mimpi?"
Teresa menggelengkan kepalanya, ia tidak mengerti apa yang ada di kepala Olive, hanya karena mimpi saja ia sudah setakut itu, apalagi kalau hal yang benar-benar terjadi?
"Tidak, kalian tidak mengerti." Olive menelan ludah, temannya yang membukakan botol minuman dan menyuruh olive agar meminumnya.
Oive minum dengan perasaan campur aduk, ia takut, tapi ia bingung bagaimana harus menjelaskan hal rumit ini pada teman-temannya.
"Jelaskan saja pelan-pelan." Teresa memegang tangan Olive yang tidak berhenti gemetar. "Tenang, lihat aku dan tarik napas."
Olive menarik napas sambil menatap Teresa dan terus mengulanginya beberapa kali, barulah ia bisa sedikit lebih tenang.
Teresa tersenyum, merasa puas karena Olive mengikuti apa yang ia katakan.
"Saat di rumah sakit, aku bermimpi." Olive memulai ceritanya, ia tidak tahu apakah Teresa dan temannya yang lain akan mempercayainya atau tidak. "Aku bermimpi, apa yang kita lakukan hari itu pada Ellen, hari di mana aku pingsan setelahnya."
Teresa terdiam, ia ingat kalau hari itu bullyan mereka pada Ellen memang sedikit keterlaluan, mereka mendorong Ellen ke toilet dan menumpahkan air ke kepalanya, belum lagi semua buku yang ia bawa mereka siram dengan air kotor.
Tapi bagaimana bisa hanya karena hal seperti itu, Olive berubah menjadi seorang pengecut? Aneh sekali.
"Apa masalahnya, itu hanya hal yang biasa kita lakukan pada Ellen, kan?" Teresa melepas tanganya dari tangan Olive, ia bukan wanita yang selalu mementingkan perasaan daripada logika. "Seharusnya kau tidak perlu takut, seharusnya bangga, iya kan?"
Teman-teman Olive yang lain tertawa mendengarnya.
"Teresa benar Olive, kenapa harus takut dengan Ellen? Ia tidak bisa apa-apa untuk membalas."
Lagipula apa hebatnya seorang Ellen, ia hanya seorang wanita yatim piatu dari panti asuhan yang ada di pinggiran kota, bahkan kalau Olive dan yang lainnya melakukan kekerasan pada Ellen, tidak akan ada yang berani mengadu atau mempermasalahkannya.
Semua itu bukan tanpa alasan, yang pertama karena kedua orang tua Teresa dan Olive bukan orang sembarangan, mereka pejabat di negeri ini dan tidak sedikit memiliki relasi di bidang hukum, siap kapan saja untuk membela kesalahan mereka.
Dan Olive ketakutan hanya karena sebuah mimpi?!
Teresa ingin memukul kepala wanita itu saja rasanya.
"Tapi mimpi ini beda, aku selalu bermimpi hal yang sama, aku jadi takut. Mungkin saja Ellen menjadi dendam dan ia melalukan sesuatu yang buruk di belakang kita, kan?"
Olive berusaha menyakinkan teman-temannya, matanya kembali berkaca-kaca, sepertinya ia akan menangis kapan saja kalau dibentak.
"Maksudmu Ellen menggunakan sihir?" Teresa menggelengkan kepalanya, tidak percaya apa yang ia dengar dari mulut Olive. "Di masa sekarang masih ada yang menggunakan sihir? Apa kita tinggal di negeri dongeng?"
Olive menggigit bibirnya, bingung harus menjawab apa dan bagaimana.
"Olive, kau tidak perlu takut pada Ellen." Teresa berdiri, mengambil ponselnya. "Biar aku saja yang memberinya pelajaran bagaimana?"
"Jangan," bantah Olive, tapi dari nada suaranya, terdengar penuh keraguan. "Bagaimana kalau … kalau sesuatu yang buruk terjadi?"
Mengalami mimpi yang sama saja setiap malam membuat Olive hampir gila saja rasanya, apalagi kalau mereka mengalami hal yang buruk?
Olive tidak bisa mengendalikan pikiran liarnya, mungkin efek dari mimpi dan efek ia ketakutan setiap waktu. Ia jadi memiliki ilusi kalau apa pun yang dikatakan Ellen, akan berakibat buruk padanya.
"Bagaimana kalau kau mengalami kecelakaan? Atau … atau Ellen menyuruh orang lain untuk membalas kita?"
Teresa tertawa dan melambaikan tangannya. "Tenang saja, aku akan menyuruh orang lain untuk memberi Ellen pelajaran. Kita tidak perlu menggunakan tangan dan kaki kita untuk orang rendahan seperti dia, mengerti?"
Teresa memiliki banyak teman di luar sana dan ia jauh lebih kejam jika dibandingkan dengan Olive, jika Olive berani menyiram dengan air kotor, maka Teresa berani memukul orang lain dengan tangannya.
"Teresa … apa kau yakin ini tidak apa-apa?"
Olive menelan ludah, tanpa sadar ia mengangguk-anggukan kepala menyetujui apa yang dikatakan oleh Teresa, ia tahu apa yang dimaksud temannya itu, mungkin dalam beberapa jam ke depan Ellen akan dikepung orang-orang bayaran yang akan membullynya.
Mungkin juga, akan lebih parah lagi daripada mereka. Olive menundukkan kepalanya, ia masih memiliki ketakutan di hatinya, tapi kata-kata yang dikatakan Teresa membuatnya sedikit tenang, ia harap ia tidak akan mengalami mimpi yang lebih buruk lagi malam ini.
"Jangan khawatir, semuanya ada dalam kendaliku. Sekarang kau hanya perlu tidur nyenyak dan mendengar kabar yang menyenangkan besok."
Teresa diam-diam menyeringai, tangannya bergerak dengan lincah menekan layar ponselnya, menuliskan beberapa kata di dalam sana.
***
Ellen memilih untuk duduk di taman kampus, bukan karena ia ingin berganti suasana, tapi karena ia merasa suasana perpustakaan saat ini tidak cocok dengan dirinya. Wanita itu duduk di ujung, paling jauh dari semua orang dan bersandar.
"Sudahlah, apa yang terjadi pada Olive juga bukan urusanku." Ellen menghela napas panjang dan mengambil botol air minum, matanya melirik ponsel, tidak ada satu panggilan atau pesan pun yang dikirim Liu.
Laki-laki itu benar-benar membuatnya kesal, kenapa tidak bisa bertingkah manis sedikit saja padanya?
Ellen mengusap tangannya dengan pelan, menarik napas beberapa kali, menghadapi hal-hal seperti ini ia harus tetap tenang.
"Mungkin aku harus pergi ke klinik, siapa tahu Liu selingkuh."