Ellen tersentak, bangun dari tempat tidur dengan suara derit yang keras, ia melihat ke sekeliling dengan bingung.
"Liu?" panggil Ellen, ia menggerakkan tangannya. "Oh …."
Ellen menunduk melihat selimut putih ternyata telah menyelimuti tubuhnya, tangan yang tadi malam memar kini mulai pulih, hanya menyisakan bekas hijau yang mencolok, tidak ketinggalan juga bau yang sangat menyengat.
"Liu?" Ellen bergumam, turun dari ranjang. Ia ingat kemarin, karena hujan yang terlalu lebat, mereka memutuskan untuk bermalam di lantai dua klinik.
Lantai dua jarang digunakan untuk keperluan klinik, di sini ada tiga ranjang untuk pasien yang rencananya akan digunakan di waktu tertentu, tapi pada kenyataannya tidak ada pasien yang menginap dan akhirnya lantai dua menjadi ruang istirahat bagi Liu dan Ellen kalau mereka belum pulang ke rumah.
Ellen menguap sambil mendekati ke jendela, membuka tirai dan langsung memejamkan mata.
"Ah, sangat silau."
Ternyata sudah siang.
Kenapa Liu tidak membangunkannya?
Apakah laki-laki itu terpesona dengan wajah tidurnya dan membiarkan ia tidur lebih lama?
"Wah, aku tidak menyangka Liu ternyata sangat romantis ... tapi sepertinya aku bolos kelas lagi hari ini," gerutu Ellen sambil mengusap kepalanya yang terasa berat, matanya melirik ke atas meja, di sana ada makanan kotak dan sebotol air, sudah dingin.
Sepertinya Liu terlalu sibuk di lantai bawah sampai-sampai ia tidak punya waktu mengecek keadaannya.
Ellen mengerucutkan bibirnya, melirik tas kertas yang ada di atas kursi, isinya ternyata adalah pakaian ganti.
"Hehehe." Wanita itu tertawa, merasa senang.
Tidak ingin merusak suasana hati Liu, Ellen tidak turun dari lantai dua, ia mandi dan makan sampai sore menjelang, pada intinya, apa yang ia lakukan adalah bersantai.
Liu di lantai bawah sibuk mengurus para Nenek yang datang, ia tidak punya kesempatan untuk naik dan melihat Ellen, lagipula wanita itu sudah dewasa, ia bisa melakukan segala sesuatunya sendiri.
"Di mana perawat itu?" Seorang Nenek yang sering berkunjung melihat ke sekitar, biasanya ketika ia tiba, ia akan disambut dengan wajah muram Ellen.
Terlihat kasihan tapi di satu sisi kadang ia merasa Ellen perlu diajar.
"Dia sakit," sahut Liu sambil tersenyum singkat, tangannya bergerak menuliskan resep obat.
"Sakit?" Sang Nenek langsung membulatkan mata, tangannya yang keriput itu menjadi gugup. "Apa ia akan baik-baik saja? Sakit apa?"
Liu menghentikan kegiatan menulisnya dan menatap sang Nenek, seingatnya wanita tua yang ada di depannya ini selalu memarahi Ellen, tidak peduli apa yang terjadi dan setiap mereka berdua bertemu, ada saja hal kecil yang diributkan.
"Hanya kecelakaan kecil," lanjut Liu lagi, senyuman tidak luput dari wajahnya. "Jangan khawatir, ia akan baik-baik saja dan kembali membantu di sini besok."
"Ah, begitu. Dasar ya, anak-anak jaman sekarang." Nenek itu menghela napas panjang. "Kalau mereka tidak ditegur keras-keras, mereka akan jadi anak yang lemah, lain kali aku akan memarahinya agar ia tidak ceroboh."
Liu terkekeh, ternyata Nenek memarahi Ellen bukan karena ia tidak suka dengan Ellen, melainkan karena ia peduli dengan Ellen. Mungkin karena Ellen selalu membalas perkataannya, keributan di antara mereka berdua selalu saja terjadi.
"Ya, Ellen pasti akan senang mendengarnya."
"Yah, aku akan membawakannya sup ayam besok. Bilang ia datang, ya?" Nenek itu menarik tongkat kayu untuk menopang dirinya, ia berjalan pelan keluar.
"Ya, terima kasih Nenek."
Liu menganggukkan kepalanya dan mulai melayani pasien lain.
Begitu senja menjelang, satu persatu pasien mulai pulang. Liu mencuci tangannya ketika mendengar suara langkah kaki turun dari lantai atas.
"Sudah lebih baik?"
Ellen berjalan ke kulkas dan mengambil air dingin, ia duduk di kursi dekat jendela. "Yah, tapi tubuhku masih bau."
Liu mengangguk, mengerti.
"Apa kau tidak akan memberikan aku kompensasi? Membelikan aku sabun atau voucher gratis ke spa?"
Liu menyeka tangannya dengan tisu, lalu membuang ke bak sampah.
"Untuk apa pergi ke tempat itu?"
"Yah … apa kau tidak ingin melihat calon istrimu ini lebih cantik daripada sebelumnya?"
Liu menatap Ellen yang mengangkat botol air dingin, ia mendengkus. "Ganti dengan air hangat."
"Kau selalu seperti ini," gerutu Elen sambil membuka botol air dingin, minum dan menyipitkan matanya pada Liu. "Setiap kali aku membicarakan hal-hal ini, kau selalu saja mengalihkan topik."
Ellen ingat, hampir setiap saat ketika ia akan mengajak Liu berbicara tentang perasaannya, Liu akan mengalihkan perhatiannya pada hal-hal lain dan kadang-kadang hal itu membuatnya jengkel.
Laki-laki itu sepertinya punya radar yang bisa langsung menepis semua perkataan Ellen tentang perasaan cintanya. Tidak jarang Ellen bisa lupa dan terfokus pada hal lain.
Jika sudah seperti itu, Ellen hanya bisa menyesalinya.
Liu menuangkan air dari teko berisi air hangat ke dalam gelas, mengambil botol air dingin dan menyerahkan gelas yang ia pegang pada Ellen.
"Benar, kan? Sebenarnya kau suka denganku, hanya gengsi saja." Ellen menggerutu dan mengambil tangan laki-laki itu. "Tidak, tidak, sebenarnya kau cinta padaku, kan?"
Liu menarik tanganya dan menyentuh kepala Ellen. "Sepertinya setelah kejadian kemarin, otakmu memang sudah bergeser."
Ellen mendengkus, kedua alisnya saling bertaut dan ia menunjuk Liu dengan jarinya.
"Kau gengsi!"
Ellen bersedekap, mencoba merajuk, tapi apa yang ia harapkan tidak akan terjadi. Liu hanya menggelengkan kepalanya dan berkemas barang bawaannya.
"Kau tidak mau membujukku?" tanya Ellen dengan suara rendah, matanya memandang Liu dengan berkaca-kaca.
Sebagai seorang wanita, Ellen ingin dibujuk, diperlakukan lembut dan dipeluk. Tapi Liu … laki-laki itu sangat berbeda dengan apa yang ia harapkan.
Liu masih saja memasang wajah tidak minat padanya. Padahal Liu sendiri lebih perhatian daripada orang lain padanya.
"Ayo bujuk aku, ajak aku makan es krim …." Ellen baru saja berniat untuk menggoda Liu, tapi reaksi laki-laki itu sangat datar dan terasa menyebalkan.
"Ellen, berhentilah berbicara omong kosong." Liu menghela napas dan melirik wanita itu lagi. "Ayo berkemas, kita tidak bisa tinggal di klinik setiap malam."
Tinggal di tempat ini membuat Liu merasa sesak, masalahnya kalau ia sendirian tidak masalah. Tapi ia bersama Ellen dan ia tidak ingin terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Wanita itu punya seribu satu cara untuk membuatnya goyah.
"Cepat, atau aku tinggal." Liu berbalik, mengambil tas dan memasukkan beberapa barang di dalamnya.
"Ya, ya, dasar gengsi."
Ellen menjulurkan lidahnya dan naik ke lantai dua tanpa menoleh lagi, dalam hati sebenarnya ia ingin mengomeli laki-laki itu lebih banyak, tapi tidak berani kalau Liu marah dan meninggalkannya.
"Tunggu aku sebentar, jangan tinggalkan aku!"
Masalahnya Ellen belum pernah melihat Liu marah, ia tidak tahu apa yang akan terjadi kalau ia bisa memancing emosi Liu.