Chereads / Be My Love / Chapter 18 - Aku Baik-baik saja 3

Chapter 18 - Aku Baik-baik saja 3

Elmer membulatkan matanya mendengar perkataan Ellen, ia tidak tahu kalau Ellen akan bereaksi begitu keras.

"Kenapa? Kaget?" Ellen berkacak pinggang, menatap Carrel dengan sinis. "Aku sudah muak direndahkan dan aku sudah berjanji akan melawan. Jangan karena kau dosen, kau bisa mempermalukan aku."

Olive menggigit kukunya mendengar perkataan Ellen, setelah tahu apa yang wanita itu lakukan pada orang suruhan Teresa, ketakutannya semakin membesar. Sedangkan Teresa di sampingnya mendengkus.

"Kau sudah gila, ya? Di mana rasa hormatmu pada tenaga pendidik?"

Di kampus ini, profesor, dosen, dokter dan para asisten memegang posisi yang paling tinggi, tidak ada yang berani membantah, bahkan jika dosen itu hanyalah dosen tamu dari fakultas lain, mereka harus dipatuhi.

"Tenaga pendidik?" Ellen mengangkat alisnya, citra baik yang ia bangun bertahun-tahun perlahan mulai luntur. "Wanita ini?"

"Ellen Petunia, jangan kurang ajar!"

Carrel melotot, ia tidak pernah diperlakukan seperti ini. Biasanya jika ia memberikan sedikit pelajaran, mahasiswanya tidak akan ada yang berani protes.

"Ah, kau salah mencari lawan." Ellen mengikat rambut pendeknya dan ia memiringkan kepalanya menatap wajah merah Carrel. "Aku tidak akan melepaskan orang yang sudah merendahkan aku."

Suasana hatinya sangat buruk hari ini, salah satunya karena ia ditinggal Liu.

Laki-laki itu bohong padanya, Ellen tahu.

Ellen suka memperhatikan Liu, sebagaimana orang yang ia sukai, tentu saja ia selalu ingin tahu apa yang Liu lakukan sepanjang waktu. Anggaplah perasaannya diluar batas wajar, jika saja ia sedikit lebih kaya dan bisa memasang kamera pengawas di setiap gerakan Liu, ia akan lakukan itu.

Saat Liu berbohong, meski itu adalah hal kecil, Ellen tahu.

Apa yang sebenarnya Liu lakukan sampai harus berbohong padanya?

"Suasana hatiku sedang buruk, mau aku gigit?" Ellen menarik pipi dan memperlihatkan gigi taringnya. "Kau sudah tahu, kan? Apa yang terjadi kemarin?"

Olive menelan ludah, bahkan tanpa diberi tahu pun, Carrel pasti akan tahu. Semua orang membicarakan di forum kampus dan topiknya masih terus dibahas walau sudah berlalu beberapa hari. Tinggal menunggu waktu saja sampai profesor dan dosen lain tahu.

"Ellen, jangan bicara yang aneh-aneh." Elmer berdiri dari kursinya, sebelum suasana menjadi semakin runyam, ia harus melerai Ellen dan Carrel. "Nona Carrel, tolong maafkan Ellen. Anda tahu kalau situasinya agak aneh belakangan ini dan Ellen, maafkan Nona Carrel, dia masih baru di kelas kita dan tidak tahu banyak hal."

Carrel mengerutkan kening, ia jelas tidak akan mengajar lagi di kelas ini. Terlalu mengerikan mengajar seseorang yang bisa menggigitnya kapan saja.

"Aku minta maaf," kata Ellen dengan santai, ia juga tidak ingin memperpanjang masalah sepele ini. Wanita itu berbalik, ingin duduk kembali ke kursinya.

"Saya tidak akan mengajar lagi di kelas ini! Kau keterlaluan!" Carrel menghentakkan sepatu hak tinggi, marah dan meraih bukunya yang ada di atas meja. "Saya akan mengadukanmu ke professor, lihat apa kau bisa selamat dari komite pendisiplinan."

Ellen menghela napas, ia tidak akan pernah melupakan kata-kata seperti ini. Ia selalu mendapat ancaman entah itu akan diadukan ke guru, ke komite pendisiplinan, ke pengawas dan kepala yayasan panti asuhan yang dulu ia tinggali.

"Silakan saja."

Jika dulu ia menahan diri dan diam saja, kali ini ia tidak lagi. Ia akan menantang.

"Lakukan saja."

"Ellen, jangan bicara sembarangan." Elmer berbalik menoleh ke arah Ellen, matanya memelas. "Ayo minta maaf pada Nona Carrel, tidak apa-apa … kau dan Nona Carrel hanya terlibat salah paham kecil, tidak apa-apa untuk minta maaf lebih dulu."

"Ya!" Teresa yang tidak tahan dengan adegan yang ada di depannya ini berseru. "Ellen memang keterlaluan, lebih baik adukan saja ke komite pendisiplinan, lebih bagus lagi kalau ia tidak usah ada di kampus ini!"

Teman-temannya yang lain mulai riuh, mereka saling mengolok-olok. Ellen menatap mereka semua dengan tatapan sinis, ia tahu, dari tatapan mereka tidak ada satu hal baik pun tentang dirinya yang mereka bicarakan.

Tidak apa-apa, tidak masalah, ia sudah terbiasa dengan hal itu.

"Terserah kalian ... lakukan saja," kata Ellen sambil menghela napas, ia berjalan ke mejanya dan mengambil semua barang-barang yang ia bawa dan melangkah menuju pintu. "Oh, kabari saja aku kapan akan dipanggil menghadap komite pendisiplinan."

Setelah mengatakan hal itu, Ellen keluar tanpa menoleh lagi, perasaannya yang marah itu tidak bisa lagi ia bendung, Ellen masuk ke toilet dan meringkuk di salah satu bilik.

Ada di kampus ini adalah impiannya.

Masuk ke kampus ini sangat sulit baginya yang hanya seorang yatim piatu, ia tidak punya uang untuk membeli alat-alat praktek, ia juga tidak punya uang untuk masuk ke salah satu rumah sakit untuk membuat laporan.

Selama ini ia bergantung pada beasiswa.

Ia berusaha menjaga citranya sebagai anak baik, bahkan saat teman satu-satunya mengalami masalah, ia tetap berusaha untuk menjadi anak baik.

Di saat temannya mati karena overdosis, olokan dan penghinaan mulai berdatangan padanya, Ellen masih menjaga citranya sebagai anak baik. Ia dikerjai dan buku-bukunya dirusak, ia tetap menjadi anak baik.

Tapi hanya karena Liu berbohong padanya, Ellen menjadi tidak terkendali pagi ini.

"Apa yang aku lakukan? Kenapa aku bodoh sekali?"

Ellen memeluk lututnya dan mulai menangis, ia menggigit bibirnya kuat-kuat.

"Bagaimana kalau aku tidak bisa kuliah lagi?"

Ellen menarik napas, pikirannya kacau, emosinya menjadi gampang tersulut. Tangannya bergerak mengambil ponsel dan melihat tidak ada notifikasi apa-apa di sana.

Kemana Liu pergi?

Keluar kota apanya?

Laki-laki itu bahkan tidak melihat matanya ketika bicara, ia jelas berbohong. Tapi untuk apa Liu berbohong padanya?

Ellen menggigit kukunya dengan gelisah, kebiasan buruk masa kecilnya terulang kembali di saat seperti ini, pikirannya terbagi menjadi dua, antara bagaimana nasib dirinya di kampus dan kemana Liu pergi.

"Apa aku menyusulnya saja? Supir pasti tahu kemana ia pergi." Ellen berdiri, tapi ketika ia akan membuka pintu, ia linglung.

Bagaimana kalau besok ia dipanggil dan ia tidak bisa lagi kuliah?

Apa yang akan ia katakan di depan makam temanya? Ia menyerah begitu saja kepada mimpi-mimpi yang pernah mereka lukis di dinding panti asuhan?

Kenapa begitu sulit mengejar cita-cita yang mulia ini?

Ellen menggertakkan gigi, menarik napas dalam-dalam. Dalam keadaan seperti ini, ia harus berpikir jernih, jangan sampai ia salah langkah dan membuat kerugian pada dirinya sendiri.

Tapi semuanya sudah terlanjur terjadi.

Wanita itu meneteskan air mata di depan pintu toilet, bibirnya melengkung ke bawah dan ia gemetar.

Sungguh, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang, ia tidak tahu.