Ellen merasa hari ini adalah hari yang paling berat yang pernah ia jalani sepanjang ia hidup.
Ia berbaring di ranjang sambil menatap ke arah kaca jendela, semburat cahaya jingga terlihat menghiasi cakrawala dan sebentar lagi malam akan merangkak naik bersama kegelapan.
"Kemana Liu sebenarnya pergi? Ke perbatasan kota apanya?!" Ellen meraung sambil melemparkan bantal, marah.
Liu tidak bisa dihubungi, ponselnya tidak aktif, supir yang mengantarnya mengatakan kalau ia hanya membawa Liu sampai ke perbatasan, setelah itu ia tidak tahu kemana laki-laki itu pergi.
Ellen menunggu sepanjang hari, ia pikir Liu akan kembali dan ia bisa menceritakan semua masalahnya.
Tapi laki-laki itu tidak kembali dan hari ini sudah dua hari berlalu.
"Apa yang dia lakukan sebenarnya?" Ellen membuka pintu, ia turun ke bawah dan menemukan Istvan yang duduk bersama bayinya yang tidur.
"Dia belum pulang?" tanya Istvan tanpa menatap Ellen, wanita berambut pirang itu tidak menunjukkan ekspresi yang berarti di wajahnya.
"Belum," sahut Ellen lemah, menjatuhkan diri di sofa dan menatap gelas kosong yang ada di depannya. "Dia tidak mungkin meninggalkanku menjadi janda, kan?"
"Omong kosong, kalian bahkan belum menikah." Istvan menghela napas, mengusap wajah bayinya dengan pelan. "Mungkin ia pergi mengambil ginseng seratus tahun di gunung."
"Tidak, aku yakin tidak." Ellen menggelengkan kepalanya dan memeluk bantal sofa yang lembut. "Liu tidak membawa apa-apa dan sepatunya …."
Sepatu yang Liu gunakan hari itu bukan sepatu kets putih santai biasanya, tapi sepatu hitam yang tinggi dengan yang kuat.
"Dia memakai sepatu hitam."
TAK!
Istvan menjatuhkan botol susu ke atas meja, botol itu berguling jatuh ke lantai dan mereka berdua saling diam.
"Hu … hua!" Bayi Istvan yang masih dalam gendongan itu menangis, Istvan menghela napas panjang dan menekan ponselnya.
"Ada apa? Bayi kita kurang susu?" Larson tiba-tiba muncul dalam kecepatan penuh, mata hijaunya itu menatap istrinya dengan panik. "Apa dia sakit perut? Air susunya kurang hangat?"
"Tidak, hanya terkejut." Istvan tersenyum dan mengisyaratkan agar Larson mengambil bayi mereka. "Bawa Kent dulu ke atas, aku ingin membicarakan sesuatu yang penting dengan Ellen."
"Yah, oke." Larson menggendong bayi mereka dan membawanya naik ke kamar.
Ellen tidak tahu harus berkata apa, ia menundukkan kepalanya dan menatap botol susu yang sudah berhenti berguling.
"Kau bilang … sepatunya berwarna hitam?"
"Ya. Aku ingat." Ellen mengangguk mengiyakan, sedikit gugup. Laki-laki itu menyukai sesuatu yang berwarna putih, tapi ia jarang memakai pakaian putih di klinik karena takut akan mengotori pakaiannya, Liu selalu memakai sepatu putih dan tidak membiarkan sepatunya kotor sedikit pun, ia sangat hati-hati.
Hanya ada beberapa kemungkinan kalau laki-laki itu memakai sepatu hitam.
Pertama, ia akan pergi ke gunung.
Kedua, ia akan …..
Ingatan tentang apa yang terjadi dulu saat ia pertama kali bertemu Liu terlintas, Ellen tersedak.
"Liu tidak akan mungkin melakukan sesuatu yang konyol, kan?"
"Aku tidak yakin, tapi kau bilang ia tidak ke gunung. Maka hanya satu alasan itu saja yang tersisa."
"Tapi kalian para Ksatria Naga tidak punya musuh, untuk apa mengajak seseorang berkelahi?" Ellen menggelengkan kepala, tidak habis pikir dengan apa yang Istvan katakan.
"Liu bukan seseorang yang mudah diprovokasi, ia tidak seperti si konyol Aodan." Istvan menggoyangkan gelasnya yang kosong, mata birunya itu terlihat sendu. "Tapi … jika ia sudah menetapkan target, ia tidak akan melepaskannya."
"Target?"
Istvan terkekeh, jadi ingat masa lalu. Liu memang yang paling tenang dan paling tidak menonjol di antara Ksatria Naga lainnya, tapi ia yang paling tahu apa yang terjadi di sekitar, Liu adalah seorang pengamat.
Adakalanya sang pengamat menjadi orang yang paling berbahaya untuk keadaan sekitar. Liu bisa tiba-tiba memukul seseorang atau memberi mereka ramuan yang salah karena mereka sudah menjadi targetnya selama berhari-hari.
Pernah Istvan tanyakan apa masalahnya, laki-laki itu hanya mengatakan hal sepele, seperti orang itu mengambil sikat giginya, menginjak tanaman obat yang ia rawat atau memecahkan guci. Mungkin hanya pada Ksatria Naga lainnya ia akan bersikap lebih toleran.
Liu bukan orang yang baik hati, oleh karena itu ia menjadi sosok yang terkesan tidak terlihat di antara semua orang dan diam-diam berbahaya.
"Mari kita tunggu sampai hari ketiga," kata Istvan sambil menghela napas panjang untuk yang kesekian kalinya, ia paham akan kegelisahan Ellen, jika ia dan Larson terpisah, ia juga akan merasakan hal yang sama. "Liu bukan orang yang akan pergi selama tiga hari tanpa kabar apa-apa, selain itu aku juga Kakaknya."
"Baiklah," sahut Ellen sambil mengangguk, seakan sudah mendapatkan jawaban, ia merasa sedikit lebih tenang daripada sebelumnya. "Semoga saja ia kembali besok."
***
Sementara itu di sebuah lembah yang gelap dan dingin, sepasang sepatu hitam menginjak semak belukar yang tinggi, jaket hitam yang terikat di pinggangnya terlihat berkibar, angin bertiup menggoyangkan dedaunan di atas pohon, mengeluarkan suara gemerisik yang samar.
"Aha, kau menemukanku?" Seseorang duduk di atas cabang pohon yang sudah mati, ia memegang cerutu panjang yang mengeluarkan asap. "Apa kau merindukan aku, Liu?"
Liu menatap lurus seorang wanita berpakaian putih yang ada di depannya, wanita itu memiliki mata jingga cerah dan sepasang telinga rubah yang bergerak di atas kepalanya, kakinya yang telanjang itu bergerak, menarik pakaiannya hingga memperlihatkan pahanya yang putih mulus.
Wanita itu menyeringai, memperlihatkan gigi taring.
"Aku sudah menyembunyikan diriku dengan baik, tapi kerinduanku padamu tidak bisa dibendung lagi." Wanita itu memiringkan kepalanya, berdiri dan ekor rubah yang berwarna jingga mengembang di belakang tubuhnya. "Tapi aku sedih … siapa wanita itu? Kenapa dia ada di sekitarmu dan mengatakan cinta setiap hari?"
Nada suara wanita itu terdengar mendayu-dayu, wajahnya bersemu merah, terlihat cantik sekali di bawah sinar bulan di atas langit.
Liu langsung teringat Ellen, wanita itu mungkin sekarang sedang khawatir padanya dan juga akan mengadu pada Istvan.
Tapi Ellen lebih baik bersama Istvan daripada bersama dirinya, wanita itu manusia, ia tidak akan bisa menghadapi hal-hal di luar nalar seperti ini.
"Kau seharusnya sudah mati," kata Liu dengan kedua tangan terkepal erat, alisnya saling bertaut dan matanya berkilat-kilat. "Kenapa kau masih hidup?"
Ia masih ingat dengan jelas bagaimana ia mengakhiri hidup wanita yang ada di depannya ini, jauh sebelum ia bertemu dengan Istvan dan Ellen.
"Aku beruntung," kata wanita itu sambil melompat, gerakannya sangat ringan seperti hembusan angin yang bergerak di musim semi disertai aroma cendana samar yang menguar di udara. "Aku beruntung karena Sharem menyelamatkan aku untuk datang padamu, Liu."