Hujan telah mereda, menyisakan genangan air yang mengalir ke tempat yang lebih rendah, dedaunan masih menampung tetesan air yang menempel dan angin dingin bertiup, sayup-sayup.
Liu melangkah dengan pelan, menggendong Ellen di belakang tubuhnya. Sebisa mungkin ia bergerak tidak terlalu keras karena takut wanita yang ia gendong akan bergerak.
Ellen memejamkan mata, ia terlalu lelah dengan semua hal yang terjadi di hari ini. Punggung Liu tidak selebar punggung laki-laki lain yang bertubuh tinggi dan besar, tapi itu sudah cukup membuat ia merasa nyaman dan terlindungi.
"Mau sampai lebih cepat?" Liu bergumam, Ellen yang ada di belakangnya tidak bergerak, ia mendengkus.
Jika Ellen mau, Liu bisa menggunakan kekuatannya saat ini juga agar mereka bisa sampai di klinik dalam satu kedipan mata.
"Biarkan saja seperti ini, jarang-jarang aku digendong olehmu." Ellen mengeratkan tangannya di leher Liu, diam-diam tersenyum.
Laki-laki yang ia kejar adalah laki-laki paling cuek dan gengsi yang pernah ada di dunia ini, meski ia terlihat seperti itu di permukaan. Ellen tahu kalau Liu sebenarnya peduli padanya. Dan juga, momen seperti ini harus ia abadikan, jika tidak bisa lewat ponsel, ya lewat ingatannya saja.
Ellen menghirup napas, mencoba mengingat aroma tubuh Liu, aroma air hujan yang dingin agar ia tidak melupakannya suatu saat nanti.
"Kita harus mengobati luka-lukamu." Liu melirik ke jalanan yang lenggang, malam mulai merayap naik dan suasana semakin dingin. "Kalau lukamu infeksi atau kau demam karena masuk angin. kau akan merepotkan semua orang."
Liu bisa menahan dinginnya suhu, tapi ia tidak yakin Ellen bisa. Manusia tetaplah manusia, memiliki banyak kelamahan di tubuh mereka.
"Aku tidak mau, gendong aku sampai klinik pokoknya!"
"Kau akan demam besok, itu akan membuatku repot." Liu melangkahkan kakinya menjauhi genangan air, Ellen hanya bergumam dengan suara yang tidak jelas. "Apa? Kalau kau ingin mengatakan sesuatu, bicaralah dengan jelas."
"Kau kau bukan manusia, apa susahnya berjalan beberapa langkah lagi?" Ellen berbisik ke telinga laki-laki itu, tangannya naik mencubit pipi Liu. "Ayo, ayo, bawa aku ke klinik dan obati aku. Aku adalah pasienmu!"
Liu tidak mengatakan apa-apa lagi, tidak ada gunanya karena Ellen akan terus membahasnya. Mereka berdua berjalan melintasi jalanan yang gelap hingga mencapai ke klinik.
"Turun." Liu sampai di depan pintu, menggerakkan tubuhnya yang masih menggendong Ellen. "Cepat turun, kuncinya ada di saku celanaku."
Ellen tidak mau turun, kakinya melingkar di pinggang Liu dan sebelah tangannya turun.
"Hei!"
"Kau bilang ada di saku celanamu," kata Ellen tanpa dosa, ingin merogoh tapi tangan Liu lebih cepat darinya. "Ya ampun, kau benar-benar kuno."
"Kau yang sebaiknya jangan sembarangan," kata Liu sambil memutar kunci dan kemudian mendorongnya. "Duduk di sofa, aku akan mencari obat."
"Ya, ya, terserahmu saja." Ellen menggendikkan bahu, duduk dan langsung bersandar sofa. "Kakiku sakit … tanganku sakit ... ayo obati aku dokter tampan …."
Liu menggerutu pelan, Ellen tidak bisa mendengarnya.
Dalam waktu satu menit laki-laki itu sudah menyiapkan baskom berisi air hangat dan sebotol bubuk daun disertai perban.
"Ewh, kenapa kita tidak memakai salep saja, lebih praktis."
Ellen tahu seperti apa luka-lukanya, ia pikir hanya dengan salep saja maka semuanya akan baik-baik saja, daripada ia harus memakai ramuan bubuk daun yang aromanya sangat menyengat.
Salep memang tidak ada di klinik ini, tapi benda kecil itu masih bisa ditemukan di toko sekitar, Liu seharusnya membeli beberapa untuk dirinya, bukannya malah mendemonstrasikan bagaimana bagusnya ramuan bubuk daun yang sekarang tengah ia pegang.
"Gulung lengan bajumu."
Liu tidak memedulikan apa yang dikatakan Ellen, ia merendam handuk ke dalam air hangat.
Ellen melakukan apa yang dikatakan Liu, terlihat jika di balik lengan bajunya terdapat banyak memar.
Ellen tidak tahu apakah ini karena ia diinjak, atau dipukul empat laki-laki tadi, semuanya sama, sakit.
"Ingat apa yang aku katakan?" tanya Liu sambil menyeka handuk hangat ke lengan Ellen, wanita itu meringis.
"Apa?" Ellen mengerucutkan bibir, menyahut dengan ogah-ogahan. "Kau cinta padaku?"
Liu tidak menanggapi kalimat terakhir.
"Panggil saja namaku kalau kau dalam masalah." Liu menekan handuk ke memar berwarna ungu, merasa kesal. "Apa susahnya memanggil namaku?"
"Aku tidak mau memanggil namamu," gerutu Ellen dengan pipi menggembung. "Aku maunya memanggilmu sayang, biar ada romantis-romantisnya gi … akh! Sakit! Kau sebenarnya tidak ingin menyembuhkan lukaku, kan?"
"Jangan bercanda, aku serius."
Liu menggelengkan kepala, ia tidak habis pikir bagaimana bisa Ellen mencampur adukkan suasana serius dengan bercanda, sangat konyol.
"Ya, ya, maaf."
Ellen mengangguk-angguk, daripada memarnya ditekan lagi, lebih baik ia diam saja untuk sementara.
Liu tidak mengatakan apa-apa selama beberapa saat, ia sibuk mengoleskan ramuan dari bubuk daun ke atas memar dan Ellen menahan napas merasakan sensasi dingin yang menenangkan.
Tapi baunya, membuatnya mual.
Liu tiba-tiba menatap Ellen, wanita itu tersipu, pipinya memerah dan ia tersenyum-senyum.
"Ternyata sampai ke kepala juga, ya?"
"Huh, apa?"
Ellen memiringkan kepalanya. Liu berdiri dan meletakkan tangannya di kepala Ellen, meraba.
"Aduh!"
Liu menekan kepala Ellen dan menemukan memar lagi, ia mengambil ramuan bubuk daun, berniat menempelnya.
"Jangan, jangan pakai itu!" Ellen langsung menjauhkan tubuhnya dari Liu, memegang tangan laki-laki itu agar tidak menyentuh kepalanya. "Itu baunya sangat kuat, aku tidak mau keramas satu botol sampo hanya untuk menghilangkan baunya!"
"Kepalamu memar, mungkin saja luka, biar aku periksa."
Liu tidak mengerti dengan kerasnya penolakan Ellen, ramuan bubuk hijau yang ada di tangannya didorong sekuat tenaga oleh Ellen.
"Tapi itu bau!" Ellen tidak dapat memungkiri kalau ia tidak suka dengan bau bubuk daun itu, terlalu menyengat dia ia pasti akan menjadi olok-olokan para Nenek yang berobat ke klinik besok.
"Kau lebih peduli bau daripada kepalamu?" Liu menahan bahu Ellen agar ia tidak bergerak kemana-mana. "Pikirkan apa yang terjadi pada kepalamu."
"Aku baik-baik saja, kepalaku juga akan baik-baik saja." Ellen berusaha menarik tangan Liu dari bahunya. Tapi laki-laki itu terlalu kuat dan bergeming dari tempatnya.
"Sudahlah, jangan banyak tingkah aku akan …."
PLASH!
"Ah!"
Ellen langsung terdiam, karena tangannya yang bergerak-gerak menahan tangan Liu, ia tidak sengaja menyenggol botol berisi ramuan bubuk daun tadi.
Dan sekarang semua isinya berakhir di kepala Ellen, wanita itu melongo.
"Bagus, sekarang aku tidak perlu mengoleskan bubuk daun, kau bisa melakukannya sendiri." Liu terkekeh dan menepuk tangannya, merasa puas.
Sedangkan Ellen, perasaannya menjadi semakin dongkol.
Di saat seperti ini, bisa-bisanya ia menjadi orang yang paling konyol di depan laki-laki yang ia sukai.