"KEMARILAH, YENA..."
"Tidak! Jangan mendekat, kumohon ...." Yena beringsut mundur dengan tubuh gemetar.
Ular besar bersisik gelap itu merayap ke arahnya. Mata merah darahnya menyala pekat.
Yena terjebak antara dinding batu yang lembab dan ular raksasa tersebut.
Dia tidak bisa melarikan diri.
Ular itu membelit kaki Yena dengan ekornya, dan merayap ke atas tubuhnya.
"Tidak! Jangan lakukan ini padaku! Tolong!!!" Gadis itu menjerit ketakutan.
Tubuh dingin mahluk itu telah menyelimutinya, menekan tubuhnya, dan sesuatu menyelinap di antara selangkangannya.
Pupil mata jernihnya melebar.
"Jangan! Tidak!!!"
Yena menjerit, tersentak bangun dari tidurnya.
Sang sahabat, Rumi yang tidur di sebelahnya juga terbangun karena terkejut.
"Yena, kamu mimpi buruk lagi?" Rumi mengambil segelas air dari atas nakas dan memberikannya pada Yena.
Yena langsung menghabiskannya dalam satu kali tegukan. Wajahnya tampak pucat dengan butir-butir keringat yang menetes dari pelipisnya.
Ini sudah ke tujuh kalinya ia memimpikan hal buruk yang sama sejak ia datang ke Seoul dua minggu lalu.
"Nana, ikuti apa kataku. Kamu mungkin telah melakukan sesuatu yang salah. Coba ingat-ingat lagi, apa kamu melakukan hal yang agak tidak biasa setelah tiba di sini?" Rumi berkata dengan raut wajah serius.
"Seoul tidak terlihat seperti kelihatannya. Bisa jadi kamu telah melakukan hal tabu atau sesuatu yang mungkin telah mengganggu mahluk lain." Seperti biasa, Rumi selalu mengaitkan segala sesuatu dengan hal mistis.
Yena adalah orang yang skeptis dengan hal-hal seperti itu. Namun, untuk kali ini saja Yena akan mendengarkannya.
Itu karena mengalami mimpi buruk yang sama sebanyak tujuh kali agak tidak masuk akal.
"Aku tidak tau ...."
Yena mencoba mengingat-ngingat kegiatan apa saja yang mereka lakukan setelah datang ke negeri gingseng ini.
Dia datang ke Seoul untuk berlibur dengan Rumi. Selama dua minggu ini dia sudah mengunjungi banyak tempat wisata di Seoul.
Yena adalah orang yang beretika dan beradab. Dia mengerti pepatah 'di mana bumi dipijak di situ langit dijungjung'. Jadi dia tidak pernah melakukan hal aneh di negeri orang.
Akan tetapi, Yena ingat kapan pertama kali ia mengalami mimpi buruk itu.
"Rumi, aku tidak ingat apa-apa. Tapi ... aku mulai mengalami mimpi buruk itu di malam setelah kita pergi ke Insadong Street Market," ujar Yena.
Rumi mengerutkan alisnya dalam.
"Wakti itu kita tidak melakukan apa pun selain jalan-jalan, makan calzone dan pangsit madu, juga membeli beberapa souvenir ... oh Nana, barang apa saja kamu beli hari itu?"
"Tidak banyak. Hanya sebuah bola kristal imitasi, lukisan cat air gwanghamun, dan ... yah, sebuah tembikar bergambar naga yang kita beli di pedagang kaki lima--"
"Gambar naga kamu bilang?" potong Rumi dengan ekspresi terkejut, seolah ia telah mengetahui sesuatu.
"Nana, kamu yakin ular yang kamu lihat dalam mimpimu itu bukan naga?" Rumi bertanya dengan raut serius.
Yena mengerti.
"Rumi, apa jangan-jangan ...."
"Ya! Kita harus segera mengembalikan tembikar itu besok."
***
Insadong Street Market merupakan objek wisata dan pasar jalanan terkenal di Seoul.
Banyaknya bangunan bersejarah, kuil, dan bangunan moderen yang berdampingan membuat tempat tersebut menjadi pertemuan masa kini dan masa lampau.
Khusus untuk akhir pekan, Insadong Street hanya diperuntukkan untuk pejalan kaki saja.
Di antara ribuan orang yang berlalu lalang, salah satunya adalah seorang gadis Asia Tenggara yang membawa tembikar di pelukannya.
"Yena, kita sudah berkeliling selama berjam-jam. Ayo istirahat dulu." Rumi ngos-ngosan. Dia menarik gadis berambut cokelat itu untuk menepi.
Mereka membeli dua gelas minuman di salah satu kedai untuk melepas dahaga. Seoul lumayan trik hari ini.
"Rumi, seingatku lapak pedagang tembikar itu berada di samping Brew 3.15, kenapa hari ini dia tidak ada?" Yena bergumam bingung.
Kedua gadis itu duduk di kursi kedai untuk melunturkan letih.
"Yena, tamat sudah riwayatmu," celetuk Rumi.
"Orang itu sengaja memberikanmu barang terkutuk ini lalu dia menghilang begitu saja. Kamu sudah tidak bisa diselamatkan lagi!"
"Sial! Jangan bilang begitu," umpat Yena. Bulu kuduknya tiba-tiba merinding.
"Lagipula, mungkin kamu salah Rumi. Mahluk dalam mimpiku benar-benar ular, bukan naga." Yena tiba-tiba menyanggah.
Rumi menarik sebelah sudut bibirnya.
"Kamu tau apa? Mahluk dalam mimpimu itu bukan ular biasa, melainkan Imoogi."
"Imoogi?" Yena menautkan kedua alis.
Rumi mengangguk yakin.
"Iya. Dalam mitologi Korea Imoogi adalah calon naga. Katanya dia dikutuk sehingga tidak bisa berubah menjadi naga dan naik ke langit sebelum menemukan Yeouiju yang jatuh dari surga. Naga adalah mahluk hebat, kamu bekali-kali mimpi deperkosa olehnya keren juga."
"Jangan bicara sembarangan!" Yena menoyor jidat Rumi dengan sebal.
Beruntung mereka bicara dalam bahasa Indonesia. Jika tidak, apa yang akan dipikirkan orang-orang di sini?
"Apa kamu waras? Bercinta dengan seekor binatang reptil sama sekali tidak keren, itu menjijikan!"
Prangg
Tiba-tiba suara benda pecah mengagetkan mereka.
Yena menengok ke belakang dan melihat seorang pria berpakaian tertutup dengan tangannya yang berdarah. Sepertinya dia terkena pecahan gelas.
Sebelum Yena sempat melihatnya dengan jelas pria itu berkelit dan pergi.
Netra Yena mengikuti sosoknya. Tiba-tiba saja pupil matanya melebar saat ia menangkap tato bergambar naga di pergelangan tangan pria itu.
"Rumi, dia orangnya!" Yena tiba-tiba berseru seraya bangkit dan mengejar pria itu.
"Eh? Yena? Tunggu!"
"Tunggu!" Yena memacu langkahnya melewati keramaian jalan mengejar sosok itu.
Ia lari sekencang-kencangnya namun entah mengapa langkah lebar pria itu tidak bisa disusulnya sama sekali.
Yena tahu, dia memang bukan manusia!
"Wait! Please!!" Yena tidak menyerah. Pria itu semakin menjauh tetapi langkah Yena hanya semakin kencang saja. Tidak peduli dia menabrak anak kecil atau menginjak kaki orang.
Harus dapat, Yena tidak ingin dikutuk!
Makian terdengar sepanjang jalan yang ia lewati, hingga akhirnya ia keluar dari jalur wisata Insadong Sreet dan memasuki wilayah sepi.
Bugh!
Yena tersandung dan kedua lututnya seketika membentur aspal. Tembikar yang dibawanya terlempar dan pecah berantakan.
"Ukhh! Tembikarnya ...." Tak memedulikan lututnya yang berdarah, Yena segera bangkit dan memburu tembikar yang telah hancur berkeping-keping itu.
"Tidak tidak tidak ...." Yena panik. Dia melempar pandangannya ke jalanan yang lenggang, pria itu sudah menghilang.
"Bagaimana ini ...?" Yena dengan keringat dingin buru-buru memunguti pecahan tembikar itu.
Sudah berakhir, siluman itu pasti akan membunuhnya.
Yena linglung.
"Tidak, aku harus segera pergi ...." Yena membuang pecahan tembikar itu kembali dan buru-buru bangkit untuk melarikan diri.
Namun, sayangnya sudah terlambat. Bahkan sebelum ia melangkah hawa yang dingin tiba-tiba menusuk kulit punggungnya.
Embusan napas sejuk menyapu telinganya.
Seluruh bulu kuduk Yena berdiri.
"YEOUIJU ... GIVE ME BACK IT ...."
Bisikan halus itu membuat Yena membeku pucat.