Tubuhnya bergetar melihat bagaimana suaminya memangku seorang wanita seksi di paha yang biasa dia duduki.
Luna menggeleng, dia tak ingin percaya dengan yang matanya lihat. Namun, hatinya menolak untuk tetap percaya jika yang ada di depannya hanya ilusi.
Sampai Luna tak mampu lagi, dia pergi dari sana. Wanita malang itu berlinangan air mata, dengan penampilannya yang berantakan.
Menuju mobil, lantas mengendarai mobil seperti orang kesetanan.
"Tidak, aku pasti salah lihat! Itu bukan suamiku, Ekal tidak mungkin seperti itu...."
Guna membuat dirinya yakin itu hanya ilusi, Luna harus menegaskan itu pada dirinya sendiri. Dia tak ingin kepercayaannya hancur pada sang suami.
Bagaimana pun juga mereka sudah berjanji untuk saling percaya, tetapi. Pemandangan tadi masih sangat membekas di matanya.
"TIDAK! Itu bukan Ekal, berhenti membayangkan itu Luna!" teriak Luna di dalam mobilnya, apapun usaha yang dirinya lakukan.
Bayangan menjengkelkan itu, masih saja enggan menghilang dari matanya. Maka, dengan nekad Luna mengucek matanya berkali-kali dengan ke dua tangan.
Tak peduli dengan kakinya yang saat ini masih menginjak pedal gas, dan melaju sekencang angin.
Dengan kesedihan yang mendalam, Luna tak bisa mendengar begitu banyak suara klakson dari pengendara lain. Sebab mobil wanita itu sudah ugal-ugalan.
Dan, detik selanjutnya mobil hitam mewah milik wanita yang tengah patah hati itu terbalik sebab ditabrak oleh mobil truk yang juga sepertinya tak bisa mengendalikan kendaraannya.
Semuanya terjadi begitu cepat, yang Luna pikiran saat itu hanyalah....
"Kuharap aku mati detik ini juga...."
Itu kalimat terakhir, satu detik setelahnya tubuhnya terasa sakit-sesakitnya. Bahkan Luna hampir tak bisa merasakan tubuhnya sendiri.
Sampai matanya menggelap dan pendengarannya berdengung begitu nyaring, Luna ditelan oleh kegelapan dengan rasa luka yang dia bawa.
***
Langkah lebar itu membawa Ekal ke ruang IGD di mana istrinya ditangani, dia syok bukan main saat mendengar kabar jika Luna kecelakaan hingga mobilnya hancur.
Ekal tak bisa bayangkan seperti apa kini kondisi istrinya itu, seperti tak punya malu. Di sampingnya ada seorang wanita yang tadi dilihat Luna hingga dia berakhir di ruangan kematian itu.
"Luna...."
Ekal tak bisa melakukan apapun selain menunggu di luar ruangan itu dengan wajah panik, melihat itu wanita di sisinya menatap Ekal dengan kesal.
Dia tak suka kala Ekal khawatir dengan wanita manapun, walau itu adalah istri pria itu sendiri.
"Sayang, kamu jangan panik, ya!"
Ya, wanita itu bahkan memanggil Ekal dengan sebutan yang biasa Luna berikan pada Ekal. Hanya dengan itu saja sudah menandakan seperti apa hubungan ke duanya.
"Bagaimana aku tidak panik, Sania. Istriku di dalam sana tengah berjuang antara hidup dan mati," ungkapnya dengan lirih, dia mengusap wajahnya frustasi.
Wanita yang disapa Sania itu membuat Ekal menghadap padanya, lantas dia mengusap ke dua rahang tegas yang selalu disentuh Luna.
"Aku ada di sini, aku akan temani kamu menunggu istrimu."
"Aku tidak akan bisa tenang kalau sampai sesuatu terjadi pada Luna, dia segalanya bagiku."
Sania terdiam, tangannya kontan jatuh. Bersama tatapannya yang berubah.
"Lalu, apa aku bukan segalanya bagi kamu?"
"Berhenti, Sania. Ini bukan saat yang tepat!"
Intonasi Ekal naik satu oktaf, dan dengan itu Sania memilih diam. Dia duduk dengan tak santai di kursi tunggu.
Sementara Ekal masih setia berdiri menatap nanar ke arah pintu IGD, berharap ada seseorang yang keluar dari sana.
Agar dirinya bisa bertanya tentang bagaimana kondisi istrinya saat ini, sesekali Sania menggerutu karena sikap Ekal yang sangat menjengkelkan itu.
Selang beberapa saat, akhirnya dokter muda tampan keluar dengan wajah yang santai. Padahal di dalam sana ada pasien tengah dalam keadaan yang tak baik-baik saja.
Tak ingin memikirkan tentang hal itu, secara naluri Ekal langsung mendekati dokter dan bertanya bagaimana kondisi istrinya.
"Pasien mengalami cedera yang serius pada bagian kepala, kami harus melakukan tindakan operasi secepatnya, dan untuk itu. Kami membutuhkan persetujuan keluarga," ungkap dokter sukses membuat jantung Ekal semakin berdegup tak karuan.
Lidahnya keluh untuk beberapa saat, sehingga dokter harus sabar menantikan respon pria itu.
Untungnya dia dokter yang memiliki usia tak beda jauh dengan Ekal, dan dirinya paham dengan kesedihan Ekal.
Sania yang sadar akan hal demikian, bangkit. Dia mengenyampingkan egonya, lantas menyentuh lengan Ekal guna membawa kesadarannya kembali.
"Sayang, dokter lagi bicara sama kamu," bisik Sania.
"Lakukan yang terbaik, Dok. Saya mohon, tolong selamatkan istri saya," pintanya dengan amat sangat.
Itu saja sudah menjelaskan, sebesar apa rasa sayangnya pada sang istri.
Dokter mengerutkan keningnya, dia memikirkan sesuatu. Namun, hanya bertahan beberapa detik saat melihat Sania. Tak lama setelahnya dokter mengangguk mantap.
"Itu memang tugas saya, saya akan melakukan yang terbaik. Anda, silakan urus surat persetujuannya terlebih dahulu."
Setelah mengatakan itu, dokter kembali masuk ke ruangan IGD. Tanpa mau buang-buang waktu lebih lama.
Ekal langsung pergi untuk mengurus surat persetujuan yang dokter maksud, dia meninggalkan Sania di sana seorang diri.
"Ck, kenapa Ekal harus peduli dengan istri yang tidak bisa memberikan dia keturunan itu," gerutu Sania kesal bukan main.
Di ruangan itu, Luna terbaring tak berdaya dengan tubuh berlumuran darah. Bahkan untuk hidup kini tubuhnya harus dipasang oleh banyak alat penunjang kehidupan.
Sang dokter terus memantau keadaan Luna, matanya yang tegas harus selalu memastikan jika pasiennya akan selamat. Itu adalah mottonya sebagai dokter muda.
***
Di ruang operasi itu, Luna sudah siap dengan beberapa dokter yang turun langsung untuk melakukan tindakan padanya.
Di bawah lampu yang fokus pada bagian yang akan mereka oeprasi, para dokter saling mengangguk memberikan isyarat jika masing-masing sudah siap.
Ekal kini berdiri di luar ruangan operasi, tak ada perubahan pada pria itu. Dia masih memikirkan istrinya dan Sania masih selalu memantau setiap gerak-gerik Ekal.
"Sayang, apa kamu tidak lelah terus mondar-mandir?"
Ekal menoleh, dia menarik napas panjang lalu ia hembuskan perlahan. Melihat Sania, rasa bersalah karena sudah berkata kasar pada wanita itu muncul dalam benaknya.
Padahal itu adalah hal yang tak perlu, tak ingin membuat Sania merasa tak dianggap, Ekal akhirnya duduk di samping wanita yang kini pun ia cinta.
"Sayang, aku minta maaf karena sudah bicara kasar tadi, ya."
Diam-diam Sania tersenyum tipis, dia tahu Ekal akan menyesal di akhir. Guna menjaga hubungan ke duanya tetap baik-baik saja.
Sania memilih mengangguk, enggan memperpanjang masalah ini. Sebab dia masih bisa maklum dengan sikap Ekal tadi.
"Hmmm, tidak usah terlalu dipikirkan. Aku mengerti kenapa tadi kamu bersikap begitu," ucap Sania sok manis.
Padahal sejak tadi dia mengutuk Luna karena kecelakaan ini, Ekal menunjukkan kekhawatirannya.
***