Kenjo bercerita musabab dirinya bermalam di hotel di batas kota. Jandoet mentertawakan, dengan suara terkekeh-kekeh. "Pengalaman sial," ejek Jandoet diakhir tawanya.
Kenjo tersenyum dan menimpali ejekan tadi, "Ya, betul kamu." Kesialan itu sebenarnya harus sudah terbaca ketika mobil bus pertama mogok.
"Biasanya kamu sangat peka dengan pirasat-pirasat gitu," Jandoet balas menimpal.
Kenjo memiringkan kepala dan menatap wajah Jandoet, " Entah lah. Yang jelas saat itu dalam benak hanya ada gegap-gempitanya kota. Semangat hijrah ke kota menyusul kamu membuat saya tidak bisa membaca tanda firasat."
Jandoet menepuk-nepuk pundak Kenjo, melihat dari wajah Kenjo ada rasa malu yang begitu besar, dia ingin menghiburnya. "Jangan diingat-ingat lagi, simpan sebagai pengalaman baru untuk kamu ceritakan nanti kepada pasangan hidup kelak."
Kenjo menyeringai, "Akh, terlalu jauh berpikirnya! Yang pasti sekarang aku sedang memikirkan sebuah kesalahan."
"Apa itu?" Tanya Jandoet sambil mengerutkan keningnya.
"Seharusnya saya tidak meneruskan perjalanan ketika mobil bus mogok," kata Kenjo, suara bicaranya terdengar seperti sedang menyimpan perasaan malu. Sekarang dia merasa sebagai lelaki terbodoh di hadapan Jandoet. Saat di kampung dia merasa selalu di atas dan pandai dari Jandoet.
"Kamu sekarang jadi artis penyanyi terkenal, padahal waktu di sekolah kamu sangat tidak suka dengan pelajaran kesenian," Kenjo mulai mengomentari profesi yang disandang oleh Jandoet, sebenarnya dia ingin memberi pujian kepada kawannya yang sudah mempunyai rumah besar bersama asisten dua orang perempuan.
Jandoet tidak suka pujian, menurut dia keberhasilan manusia adalah berkat adanya misteri. "Ada sebuah misteri dalam kehidupan manusia yang sering kita lupakan, tapi bila kita tahu itu kita akan berpendapat semua kemajuan hidup manusia itu misteri," ujar Jandoet .
"Maksud kamu?" Tanya Kenjo.
"Kata kamu dulu aku tidak suka menyanyi, sekarang aku jadi penyanyi. Seperti itu namanya misteri," balas Jandoet. "Misteri keberuntungan."
Tidak ikut belajar vokal, hanya sering menyanyi di tempat karaoke akhirnya jadi penyanyi beneran. Sering-sering lah bernyanyi kalau punya keinginan menjadi penyanyi.
"Bagaimana caranya?" Tanya Kenjo.
"Aku memupuk rasa penasaran, dan ikuti rasa penasaran tadi sampai batas klimak...," sahut Jandoet asal menyahut.
Percakapan kedua lelaki bersahabat itu kemudian berhenti. Kedua nya mendengar langkah orang datang, Seorang wanita menghampiri Jandoet hanya untuk mengingatkan bahwa undangan panitia pengumpul dana amal hari ini pelaksanaannya. " Perjanjiannya kamu menyanyi hanya dua lagu," kata wanita itu, panggilannya Jeanni.
Dia sudah lama bergabung dalam manajemen penyanyi sebagai manajer.
Ketika Jandoet memperkenalkannya kepada Kenjo manajer itu hanya mengangguk sambil tersenyum kemudian pergi lagi. "Aku harus menjaga jarak dan kelihatan sebagai wanita berwibawa, walau lelaki itu kawannya Jandoet," pikir Jeanni.
Jandoet punya keinginan lain. Dia mau semua anggota manajemen penyanyi saling mengenal akrab. Melihat Jeanni belum pergi jauh Jandoet buru-buru memanggilnya, "Sebentar Jeanni, jangan pergi dulu!" Dengan cepat langkah Jeanni berhenti.
Di depan ada kamar kosong tempat menginap tamu, Jandoet meminta kamar itu dibersihkan untuk tempat tidur Kenjo. "Kamu antar Kenjo ke kamar itu," tugasnya kepada Jeanni.
Jeanni diam-diam merubah senyumnya menjadi sedikit ketus setelah mendengar dia diminta mengantar Kenjo ke kamar depan. Kamar itu cukup jauh letaknya dari ruangan tempat ngobrol sekarang. Tetapi mata Jandoet membaca perubahan yang terjadi pada sikap Jeanni, "Oh apa yang terjadi Jeanni? Aku hanya meminta kamu mengantar dan menunjukan kamar kepada Kenjo, bukan kepada Buaya," meledak kata-kata canda Jandoet buat Jeanni.
"Siapa takut?" Ujar Jeanni menghampiri, lalu melihat pada tas gendong milik Kenjo yang tergeletak di lantai bawah dekat tempat duduk, dan meraihnya. "Mari ikut, aku akan menunjukan kamar untuk kamu beristirahat." kata Jeanni mengajak Kenjo pergi menuju kamar yang akan dibersihkan.
Kedua nya berjalan tanpa saling bicara, seperti sama-sama menyimpan angkuh.
"Aku harus tetap jaga jarak," kata Jeanni dalam hati.
"Selama dia tidak menyapa, aku tidak mau mengajak dia bicara," ujar Kenjo berbicara dalam hatinya.
Tepat di depan pintu kamar yang dituju, kedua nya berhenti. Jeanni segera membuka pintu kamar. Di dalam nampak tempat tidur dengan seprai berantakan di atas kasur busa, bantal dan guling berantakan, Kenjo melihatnya tidak bersemangat.
"Ini kamar nya, maklum masih berantakan, nanti aku panggil pembantu untuk merapihkan dan mengganti seprai dengan yang baru," ujar Jeanni sambil membuka gorden jendela kamar, setelah meletakan tasgendong milik Kenjo di atas tempat tidur lalu Jeanni pergi.
Kenjo tersenyum.
***
Kenjo mengamati ruangan kamar, beberapa menit, menunggu pembantu rumah yang dijanjikan belum segera datang juga.
Setelah lama berdiri Kenjo melihat pembantu rumah datang membawa seprai baru, jalan dengan tergesa-gesa. Kemudian segera merapihkan tempat tidur yang berantakan itu, sambil kepalanya menggeleng-geleng, seperti sedang menahan perasaan kesal. "Bila Jeanni habis tidur di kamar ini, seprai nya pasti berantakan," terdengar kata pembantu itu mengeluh.
Kenjo,"???"
"Saya kira nanti malam dia masih akan tidur di kamar ini, makanya saya tidak merapihkan", ujar pembantu itu lagi.Kemudian dia bercerita tentang wanita masa lalu, tentang nasehat orang tua dulu yang selalu mengajarkan tentang kerapihan kamar tidur.
"Wanita harus selalu menjaga kerapihan kamar tidur nya, bila tidak ingin susah mendapatkan jodoh," kata pembantu yang mengaku sering menerima uang tips dari Jeanni pulang dari mengantar Jandoet show.
"Ibu sudah lama bekerja dengan Jandoet?" Tanya Kenjo, dia merasa senang bila bisa berbicara lama dengan pembantu rumah Jandoet.
"Sudah lama," tiba-tiba Jandoet datang dan menjawab pertanyaan, Kenjo dengan pembantu itu melihat ke arah pintu. Kemudian terdengar Jandoet memberi jawaban," Ibu ini bernama Siti. Bekerja di rumah ini sudah lama, aku sudah menganggap dia seperti ibu sendiri," kata Jandoet, suaranya terdengar tegas seperti memperlihatkan perasaan bangga."Ibu Siti, lelaki ini sahabatku dari kampung. Namanya Kenjo. Sementara waktu dia akan tinggal bersama kita, menempati kamar ini. Bila dia memerlukan air kopi tolong dilayani, seperti ibu melayani aku."
Pembantu rumah bernama Siti terlihat menganggukkan kepala, tak lama kemudian dia pamitan pergi.
"Sekarang terserah kamu, mau diam di kamar saja boleh, mau ikut aku ke acara pengumpulan dana, melihat aku menyanyi juga boleh," kata Jandoet sambil melihat waktu dari arloji di tangannya. "Sepuluh menit lagi aku akan berangkat, lihat tuh, Jeanni sudah menyusul memberi isyarat untuk berangkat."
Kenjo melihat ke arah Jeanni, lalu tersenyum kepada Jandoet. Sebagai jawaban tidak akan melewatkan kesempatan menyaksikan kawan menyanyi.****