Kenjo merasakan dalam dada nya ada hawa panas, seperti sate dipanggang di atas bara api. Begitu rasanya bila pikirannya mengingat wajah asisten chef di hotel kita yang sama persis dengan wajah Mirawati. Berulang-ulang mencoba melupakan perkenalan dengan Mirawati, namun wajah wanita itu dengan senyum manis nan menggoda semakin jelas muncul di pelupuk mata.
Saran dari kawan nya beberapa tahun lalu kini dia ingat kembali, "Bila kamu sulit melupakan wajah wanita yang kamu cinta, cobalah wajahmu basuh dengan air berulangkali, sampai kamu merasakan dingin air menyejukkan otak yang panas," kemudian saran itu dipraktekan.
Dalam waktu kurang dari satu jam sudah tiga kali Kenjo membasuh muka namun bayangan wajah wanita bernama Mirawati tetap saja mengganggu di pelupuk mata.
Gundah-gulana di hati Kenjo semakin menjadi-jadi. Kedipan mata dan rayuan Mirawati yang menggoda membuat Kenjo percaya dia bisa menjalin sebuah hubungan. "Kamu percaya kita nanti akan bertemu lagi?" Mirawati menganggukkan kepala, senyum dengan mata berkerling menggoda.
Lelaki mana yang tidak tergoda bila menemui wanita yang memberi isyarat cinta? Jandoet memaklumi kondisi Kenjo yang gelisah karena jatuh cinta. "Yang sedang dirasakan oleh Kenjo sama dengan patah hati, mencintai wanita tidak kesampaian karena ditolak," kata Jandoet kepada Jeanni ketika melihat perubahan Kenjo menahan rasa sakit di hati.
Jeanni kemudian berseloroh, tangan kanan mengepal ditempelkan di dada, "Sakit nya di sini, ya!?" Seloroh Jeanni.
Mata Jandoet melotot. "Biasa aja kamu.... ," hardik nya kepada Jeanni.
Jeanni tertawa terkekeh sambil berjalan menuju suara telepon berdering.
Jandoet menggelengkan kepala melihat
Jeanni bisa berseloroh. Wanita yang selalu bersikap angkuh dan menjaga jarak, punya semboyan hidup harus selalu serius itu baru saja dilihat mengajak bergurau.
Lama Jandoet memusatkan perhatiannya dari Jeanni berjalan, kemudian mengangkat gagang mictelepon sampai meletakan kembali gagang mictelepon itu ke tempatnya. "Telepon dari siapa?" Tanya Jandoet melihat Jeanni tidak bersemangat setelah menerima panggilan telepon.
"Dari kantor hotel kita, supervisor nya mengundang Kenjo untuk bertemu besok," jawab Jeanni, berjalan melewati Jandoet. Menemui Kenjo yang sedang berada di dalam kamar.
"Sampaikan kabar gembira itu secepatnya, siapa tahu kabar itu jadi obat buat hati Kenjo yang lagi galau," ujar Jandoet berharap mendapat timpalan kata dari Jeanni. Tetapi ditunggu sampai lama, sampai dia memiringkan kepala memasang pendengaran, Jeanni tetap tidak mau bersuara.
"Ya, ya, yaaa," ujar Jandoet hati nya kesala, berjalan masuk ke kamar besar tempat latihan menyanyi.
Dalam kamar itu nampak beberapa alat musik seperti Gitar spanyol, acoordion, harmonika, dan piano tergeletak di pojok. Bila sudah masuk ruangan itu Jandoet lama tidak ke luar lagi. Dia latihan menghafal lagu baru yang lagi trending buat bekal performen menyanyi.
***
Jeanni mengerutkan kening, kedua bola mata seperti mengecil namun sorotan nya tajam ke arah Kenjo. Dan bicara nadanya terdengar congkak. "Aku kira kamu datang ke kota sudah siap menerima kekejaman perilaku orang kota."
Kenjo tidak bereaksi, berpikir hati-hati sebelum bicara dengan Jeanni. Orang lain satu kata dia sudah berpuluh-puluh kata, terutama bila bergunjing soal orang lain.
Setelah lama berpikir, tidak ingin memberi kesempatan buat Jeanni bicara kali kedua. "Ada apa kamu masuk ke kamar ini? Kamu rindu kepada saya?" Kata Kenjo, mata nya melirik ingin melihat reaksi Jeanni.
"Oaks! Oaks...Okho okho! "
"Kenapa?"
"Kepengen muntah"
"Muntah di kamar mandi, jangan di sini"
Jeanni cemberut, kesal mendengar ucapan Kenjo. "Sakit di sini, tahu," sambil meletakan tangan ke dada.
Kenjo tertawa.
Sesaat suasana hening. Kenjo dengan lamunan nya. Jeanni teringat dengan tujuan ke datangannya.
"Aku mau menyampaikan kabar, tadi dari hotel kita menelpon, supervisor meminta kamu besok datang menemui dia," kata Jeanni, kemudian pergi ke luar.
Mengerutkan kening nya beberapa saat, Kenjo berpikir tidak paham mengapa belum lama bertemu supervisor minta bertemu lagi.
Mengingat-ingat wajah Sunny supervisor itu biasa saja. Tidak menyimpan tanda-tanda dia sedang terpesona. Ramah kepada orang yang datang ke hotel itu sesuatu keharusan dan wajar.
Sikap suka dan tidak Kenjo terhadap kabar dari hotel kita membuat orang seisi rumah bingung melihatnya.
Kenjo sudah mau mengangkat kepalanya menunjukan wajah buat memperlihatkan perasaan dia baik-baik saja.
"Kamu harus datang menemui supervisor hotel itu, pertemuan itu bisa jadi sebuah jalan ..," saran Jandoet ketika mereka ngobrol sebelum makan siang.
"Jalan apa?" Jeanni nimbrung bicara.
"Tidak tahu jalan apa," balas Jandoet.
"Terimakasih," kata Kenjo, buat ke dua kawan yang menaruh perhatian.
"Ha ha ha...," Jeanni tertawa mendengar ucapan terimakasih tadi, setelah itu tidak berkata lagi.
Menghela nafas dalam-dalam, Kenjo dan Jandoet sama menatap kepada Jeanni.
"Dalam Minggu terakhir ini, aku benar-benar gembira, kamu menjadi bawel," ujar Jandoet.
"Setelah ada saya di rumah ini, mungkin tidak?" Sahut Kenjo
Jeanni mendesah dalam, melihat Kenjo. Sorotan mata Jeanni bikin hati Kenjo ciut.
Suasana menjelang makan siang itu seperti melihat kucing dan tikus. Pertentangan Kenjo dengan Jeanni selalu terjadi dengan tiba-tiba.***