Kinara tidak pernah berharap dirinya bisa bahagia setelah rencananya untuk berpisah dengan Abimana benar-benar terlaksana. Ia begitu sadar diri, wanita yang telah gagal di dalam sebuah pernikahan pastinya akan semakin sulit menuai kebahagiaan baru. Rumah tangga yang ia yakini sudah cukup normal saja bisa berantakan, apalagi memulai hubungan yang baru dan yang akan membuatnya merasa lelah karena trauma di masa lalu. Dan tidak ada lagi alasan untuk menunda-nunda membicarakan rencana sekaligus risiko yang akan ia terima nantinya pada kedua orang tuanya.
Ya, siang ini Kinara telah memutuskan untuk melewatkan jam makan siangnya demi menuju kediaman mewah milik sang ayah. Setelah beberapa hari masih diam dan merahasiakan kenyataan pahit yang menimpanya, Kinara akhirnya merasa bahwa dirinya harus segera mengatakan hal yang sebenarnya pada Bram. Kabar buruk yang akan sangat mengejutkan dan pasti akan melukai hati Bram! Risiko itu pun tidak bisa ia sanggah. Lagi pula mana ada perceraian seorang anak bisa yang memberikan kelegaan bagi orang tua? Tentu saja tidak ada. Sekali lagi, Kinara begitu sadar diri.
Menunda pembicaraan atas fakta tersebut dengan jangka waktu yang lebih lama rasanya bukanlah sesuatu yang bagus. Lebih baik merasa sakit lebih awal, daripada belakangan di saat masalah semakin melebar. Apalagi jika Abimana mencari celah untuk menggagalkan usaha Kinara dalam rencana tersebut dengan cara memanipulasi kenyataan di hadapan Bram dan Meysa—ibunda Kinara. Meski terkesan tidak tahu malu, kemungkinan Abimana akan melakukan hal itu masih tetap ada, bukan? Merger antara Erlangga dan Diamond Palace masih menjadi alasan paling tepat untuk mempermalukan diri.
Kinara yang sejak tadi mengendarai mobil pribadinya sendiri segera membelokkan arah menuju kediaman sang ayah. Perumahan elite menjadi tempat yang ia tuju saat ini. Rumah-rumah megah dan gagah menjadi pemandangan yang bagi Kinara sudah sangat biasa. Bahkan mungkin rumah yang ia tinggali bersama Abimana selama satu tahun ini jauh lebih indah dan mewah. Ia memang nyaris seperti seorang ratu yang selalu dikelilingi oleh banyak kemewahan.
***
Sementara itu, makan siang di rumah Bram telah terjadi sejak beberapa menit yang lalu. Tak hanya Meysa—istrinya—yang menemaninya saat ini, melainkan juga anak angkatnya yang bernama Angga dan juga ... Abimana. Awalnya Bram cukup heran dengan kedatangan Abimana, mengingat menantunya tersebut selalu saja sibuk. Bram sendiri adalah pengusaha sebelum dirinya menyerahkan perusahaan pada Kinara, sehingga memahami situasi Abimana tentu saja bukan hal yang sulit, bahkan Kinara yang merupakan satu-satunya anak perempuannya bisa lebih sibuk daripada menantunya tersebut.
"Ayah dengar kau habis dari Bali, ada banyak agenda penting di sana?" tanya Bram pada Abimana, selain sedikit ingin tahu, ia berusaha untuk memecah keheningan yang ada.
Abimana langsung menatap Bram, dan tak berselang lama ia mengulas senyum di bibirnya. "Benar, Ayah Mertua," jawabnya sembari menganggukkan kepala. "Saya memang berada di Bali beberapa hari terakhir ini. Ada banyak rapat dan acara perusahaan yang tidak bisa saya tinggalkan, Ayah. Sayang sekali saya tidak bisa ke pulau yang indah itu dengan membawa Kinara. Saya sangat menyesal, Ayah, karena cenderung meninggalkan Kinara sendirian."
Bram tersenyum. "Tidak apa-apa asalkan kau masih memperlakukan putriku dengan sangat baik. Kinara itu sangat spesial. Luar biasa spesial. Dia akan lebih memahami dirimu, daripada orang lain."
Ucapan Bram membuat Abimana langsung tersenyum masygul. Memahami? Kinara? Tidak. Bram salah. Kinara nyaris seperti robot yang tidak bisa diajak bercanda. Di awal pernikahan, Abimana sudah berusaha untuk memberikan kata-kata manis dan romantis, tetapi tanggapan Kinara justru jauh dari ekspektasi, yang akhirnya membuat Abimana menjadi malu sendiri.
Hal itu menjadi sebab awal Abimana mulai mencari pelampiasan. Ia mencintai Kinara, atau mungkin justru cenderung mengagumi istrinya tersebut. Namun, rasa sepi membuat Abimana akhirnya memutuskan untuk berbuat curang. Dan baginya kecurangan itu adalah sebuah kewajaran. Pengusaha mana pun pasti melakukannya, bahkan mungkin Bram pun pernah bermain di belakang Meysa.
"Bagaimana dengan ... program untuk memiliki anak? Apakah kalian sudah melakukannya? Sudah satu tahun sejak kalian menikah, tak mungkin kalian masih menunda-nundanya, bukan? Usia kalian tidak lagi muda, Nak," ucap Meysa.
Pembahasan mengenai anak atau lebih tepatnya cucu pertama selalu menjadi topik yang paling Meysa minati ketika sedang bertemu Abimana ataupun Kinara sendiri. Menurut Meysa, usia Kinara yang sudah 35 tahun, dan Abimana yang lebih tua satu tahun di atas sang istri sudah tidak pantas untuk menunda-nunda tentang memiliki anak. Kenyataan juga mengatakan jika mereka pun telah sukses menjabat sebagai pimpinan di perusahaan keluarga masing-masing. Masalah materi bukanlah hal sulit.
Namun, Abimana pun menyadari bahwa hal itu tetap akan sulit. Selama satu tahun pernikahannya dengan Kinara, jangka waktu pertemuannya di rumah dengan istrinya itu terbilang sangat sedikit. Apalagi setelah perselingkuhannya dengan Bianca diketahui oleh Kinara, dapat dipastikan akan membuat Kinara terus menolak melewati malam bersamanya. Saat ini saja, Abimana tidak tahu rencana siapa yang akan berhasil. Rencana istrinya untuk bercerai, atau rencananya sendiri yang tidak ingin bercerai.
"Saya ingin menuruti keinginan Kinara saja, Ibu. Sebab dia yang nantinya akan melahirkan anak kami. Bukankah tidak baik jika Abimana yang memaksa?" sahut Abimana lalu tersenyum manis, semanis kata-katanya yang sebenarnya hanyalah kepalsuan saja. Ia menjadi pria egois yang tidak ingin berada di posisi bersalah.
Meysa menghela napas. "Tapi, sepertinya Kinara sudah menginginkan momongan. Jadi, tidak ada yang perlu kalian ragukan lagi, bukan? Terutama kau, Abi."
Ada serangan yang mendadak menghantam dada Abimana. Ibu mertuanya seperti mencurigai dirinya. Mata Meysa menatap Abimana dengan tatapan menuduh, yang tentu saja membuat perasaan Abimana mulai tidak nyaman. Dan memang benar, bahwasanya Meysa menemukan sesuatu yang aneh. Dari kebersamaannya dengan Kinara sebelumnya, lalu kini dirinya bertemu Abimana. Mereka seolah tidak kompak, atau memang benar-benar tidak kompak. Insting Meysa sebagai seorang ibu yang meski sudah tua, tetap harus dipertimbangkan. Sepertinya memang ada yang tidak beres.
"Ibu bertemu dengan Kinara belum lama ini. Dan dia sudah memastikan rahimnya baik-baik saja, Nak Abi. Hanya saja, dia tidak mengatakan tentang program kehamilan." Meysa memberikan serangan kedua yang sulit dihindari oleh Abimana. "Kau juga baik-baik saja, bukan? Dan bukan karena kau tidak ingin memulai program punya anak, 'kan?"
Abimana menelan saliva. "Itu ... tentu saja saya sehat, Ibu, dan—"
"Bu, jangan seperti itu. Siapa tahu Tuhan memang belum memberikan mereka keturunan," sela Bram. "Sudahlah sedang makan, ada baiknya membicarakan hal yang baik, hal yang tidak menimbulkan masalah baru. Seperti misalnya sekolah Angga."
Angga yang terdiam sejak awal sampai tersentak karena ayah angkatnya itu mendadak menyebut namanya. "Saya akan mendapatkan nilai yang bagus agar bisa masuk universitas terbaik, Ayah," katanya tanpa ditanya sama sekali.
"Ayah selalu mengharapkan hal itu, Angga. Dan lebih baik, kau memilih universitas di mana kakakmu pernah bersekolah."
"Saya akan berusaha, Ayah!"
Pembicaraan mengenai perguruan tinggi yang akan menjadi calon sekolah baru bagi Angga terus berlanjut. Bram mengatakan beberapa hal tentang kelas bisnis, atau kesenian yang belakangan ini ia ketahui sangat diminati oleh anak yang telah ia angkat sejak berumur lima tahun tersebut. Perbincangannya dengan Angga terbilang sangat hangat.
Namun kehangatan itu tentu saja tak dirasakan oleh Abimana yang sudah terlanjur merasa aneh, setelah ibu mertuanya memberikan tatapan menuduh padanya. Menurut kabar, Meysa memang wanita yang cerdas. Bahkan meski sudah nyaris 60 tahun, Meysa belum juga pikun, malah cenderung awet muda dan sehat. Abimana sempat menilai jika Kinara sangat mirip dengan Meysa. Hanya saja, kadang kala Meysa jauh lebih hangat dan keibuan, kecuali dalam momen-momen seperti saat ini.
"Abimana ...? Apa dia pikir dia bisa membujukku dengan cara menarik hati kedua orang tuaku?" Tak jauh dari ruang makan yang mewah itu, Kinara berdiri. Kehadirannya belum diketahui oleh seisi ruang makan. Namun, ia sudah mendengar segala ucapan ayah, ibu, serta suaminya. "Apa dia lupa betapa ambisiusnya diriku? Aku bisa melakukan apa pun demi misiku, terutama misi untuk menghancurkanmu? Bahkan meski keputusanku akan membuat ayah dan ibuku kecewa ...."
Kinara menggertakkan gigi, bersamaan dengan itu ia mengepalkan kedua jemarinya tanpa kesadaran. Kemarahan di dalam dirinya sudah membesar, yang tak berselang lama mendorongnya untuk segera mengambil sikap. Ya, pada akhirnya Kinara mulai melangkah. Ia berjalan menuju ruang makan. Lantas, apa yang akan Kinara lakukan? Apakah Kinara akan menumpahkan se-baskom sop panas ke wajah suaminya yang laknat?
***