"Selamat siang semua!"
Kinara menghentikan langkah setelah berjalan masuk ke dalam ruang makan itu. Sama seperti biasanya, ia tampak begitu elegan. Wajahnya begitu cerah dan tentu saja sangat cantik. Bulu mata yang lentik, hidung mancung sempurna, dan bibir sensual yang selalu menggoda. Namun, kecantikan paripurna yang ia miliki justru tak bisa membuat Abimana merasa betah di rumah. Gilanya, suami dari Kinara Dewi Pradipta tersebut justru berselingkuh.
Kedatangan Kinara yang tanpa kabar membuat Bram dan Meysa terkejut, sekaligus kegirangan. Juga heran, sebab putri kesayangan mereka tersebut jarang sekali mampir ke rumah, selain ketika mendapatkan undangan dari salah satu orang tuanya. Meysa bahkan sampai terperangah. Ada apa gerangan sampai Kinara datang tanpa perlu diundang? Apakah Kinara memang sudah mengatur rencana untuk makan siang bersama Abimana di rumah kediaman orang tuanya? Setidaknya pertanyaan itu yang langsung terlintas di benak Meysa dan mungkin juga Bram, serta Angga.
Namun, perasaan agak tidak senang justru melingkup diri Abimana. Ia tidak mengira istrinya akan datang tepat ketika dirinya akan melancarkan aksi pertama. Bagaimana jika Kinara hendak mengatakan kenyataan yang sebenarnya terjadi? Bagaimana jika Kinara justru akan membuat rencana Abimana yang belum se-berapa berhasil itu menjadi hancur dan berantakan? Ah, tidak mungkin. Itu sama sekali tidak akan terjadi.
Mana mungkin Kinara yang sangat berbakti sanggup melukai hati orang tuanya sendiri, dipaksa menikah bisnis denganku saja, Kinara menurut. Hal itu sudah membuktikan se-berapa besar kebaktiannya pada ayah dan ibunya, pikir Abimana. Ia masih mencoba menenangkan diri dan hati. Bahkan, ia tidak segan untuk menyunggingkan senyuman demi menghalau rasa tidak nyaman yang datang menyerang setelah Kinara datang.
"Ayo, cepat! Mumpung makanan kami masih banyak. Kau tidak datang hanya untuk memamerkan senyuman, bukan?" Meysa bangkit. Detik berikutnya, ia menggiring Kinara untuk ke salah satu kursi yang kosong.
Angga dengan sigap menarik kursi kosong yang tak jauh darinya itu. "Silakan duduk, Kak," ucapnya pada Kinara.
"Terima kasih untuk Ibu, dan Angga." Kinara tersenyum. Tak berselang lama ia lantas menyelipkan tubuhnya di antara kursi dan meja. "Maaf karena datang tanpa memberikan kabar terlebih dahulu."
"Halah!" sahut Bram. "Kau pikir kami akan murka jika kau mendadak pulang ke rumah kami, yang notabene adalah orang tuamu sendiri?"
"Saya rasa tidak, Ayah," jawab Kinara dengan santun. "Tapi, saya tetap merasa bersalah atas kedatangan saya yang tanpa permisi kali ini, karena—"
"Sayang, kau harus makan dengan baik," potong Abimana. Ia pun segera menuangkan nasi ke dalam piring kosong yang sudah ia raih. "Kau suka sekali masakan Ibu dan Mbak Arum, bukan? Ini lezat sekali." Abimana tidak akan membiarkan Kinara membuka perbincangan yang akan membahayakan dirinya. Maka bersikap manis nan romantis seperti sikap yang sering ia tunjukkan pada Bianca, mungkin saja adalah cara yang paling tepat.
Jujur saja, Kinara agak terperangah. Matanya menyorot diri Abimana yang sok manis di hadapannya. Otak Kinara yang memang cerdas pun langsung menyusun analisa. Tidak mungkin Abimana bersikap manis secepat itu setelah ketahuan melakukan perselingkuhan dengan wanita lain. Sepertinya dugaan awal Kinara merupakan sebuah kebenaran, yakni Abimana memang sedang berencana membatalkan gugatan perceraian yang dilayangkan oleh Kinara dengan cara mencuri hati Bram dan Meysa.
"Terima kasih, Sayang," jawab Kinara sembari menerima piring berisi seporsi makan siang yang telah disajikan oleh suaminya. Seulas senyum tak lepas ia torehkan dan tertuju pada Abimana. "Kenapa kau datang ke rumah orang tuaku, tanpa memberi tahu diriku terlebih dahulu?" Dan … akhirnya serangan lanjutan langsung Kinara berikan.
"Apa? Jadi, kalian saling tidak tahu jika hendak ke rumah Ayah?" sahut Bram.
Abimana menelan saliva. "Itu … kami kan sama-sama sibuk, Ayah Mertua. Saya datang karena sudah lama tidak berkunjung, dan hari ini hari libur saya setelah nyaris satu minggu penuh berada di Bali," jelasnya.
"Ya, saya saja sampai tidak tahu jika Abimana sudah kembali dari Bali, Ayah. Libur?" Kinara kembali menatap Abimana, setelah sebelumnya terpaku pada sosok sang ayah. "Ah, kenapa kau tidak membicarakan soal libur padaku, Sayang? Aku bahkan tidak mendengar embusan napasmu di rumah kita. Sayang sekali …."
"Kalian ini kan sudah menikah, tapi kok—" Bram yang heran hendak melontarkan pertanyaan baru, tetapi Meysa justru menahannya dengan cara mencubit lengannya.
"Mari makan! Bukankah Kinara harus segera kembali ke kantor? Waktu semakin berjalan lho." Meysa merasa memang ada yang tidak beres. Sejak awal firasatnya memang mengatakan hal itu. Mencampuri ketegangan di antara anak dan menantunya sepertinya bukan sesuatu yang bagus. Saat dirinya menagih cucu saja, paras Abimana langsung kecut. Sebagai seorang ibu mertua, sebaiknya ia bisa bersikap bijak. Tak boleh memberikan luka terlalu banyak.
Meski memutuskan untuk diam dalam sementara waktu, Meysa merasa dirinya harus tetap mencari tahu ketidakberesan yang terjadi di antara Kinara dan Abimana. Pernikahan mereka harus diselamatkan, bahkan meski dari masalah yang sangat kecil. Bukankah masalah besar berasal dari masalah yang kecil? Ada baiknya, mereka harus mengatasi masalah sekecil apa pun itu di masa yang lebih awal.
Berkat Meysa makan siang itu tetap berlanjut, bahkan berakhir tanpa perbincangan apa pun. Angga pergi tanpa mengambil jatah pencuci mulut. Meysa dan Bram juga bangkit dan berencana untuk menuju ruang santai, mereka pun telah meminta Kinara dan Abimana untuk ikut. Meski waktu istirahat Kinara semakin sedikit, Bram tetap ingin mendengar laporan tentang perusahaan dan rencana merger.
"Jangan lama-lama, segera temui Ayah di ruang santai, Ayah ingin mendengar rencana merger kalian," ucap Bram sebelum benar-benar keluar dari ambang pintu ruang makan. Ia bahkan sampai menoleh ke arah Kinara dan Abimana yang masih terduduk di ruangan tersebut.
"Baik, Ayah," sahut Kinara dan Abimana secara bersamaan.
"Saya pun akan segera berdiri," lanjut Kinara. "Ada sesuatu yang juga ingin saya katakan pada Ayah."
"Keputusan yang bagus, Kinara!" sahut Bram lalu tersenyum lebar. Detik berikutnya, ia pun bergegas untuk melanjutkan rencana awalnya setelah menghabiskan porsi makan siangnya.
Selepas ayah dan ibunya menghilang dari pandangan mata, Kinara berangsur menghela napas. Ia menatap piringnya yang masih tersisa beberapa sendok nasi. Sial sekali, Abimana menyediakan makanan yang lebih banyak dari porsi yang biasanya Kinara santap. Pria itu benar-benar gagal menjadi seorang suami. Pria egois yang tak bisa memahami setiap kebiasanan sang istri.
"Sial …," lirih Kinara yang nyaris tidak terdengar. Sudah sangat lama ia menahan diri untuk tidak memaki. Wajah, ... tidak, tetapi sekadar embus napas Abimana sangat membuatnya mual. Gilanya, ia sempat memanggil pria itu dengan sebutan 'sayang'.
Abimana menggertakkan gigi. Tak senang dengan perkataan singkat dan lirih dari Kinara yang tetap bisa ia dengar. Letak duduknya memang tak jauh dari keberadaan wanita itu. Lebih tepatnya mereka saling berhadapan satu sama lain. Kalau Angga tidak menarik kursi kosong di sisi itu, mungkin Abimana sudah membuat Kinara duduk di sampingnya. Dan lagi, posisi duduk tak terlalu bermasalah bagi keluarga Bram, tidak ada aturan khusus hanya untuk menyantap makan siang.
"Hei!" Abimana otomatis bangkit ketika melihat Kinara hendak mengambil langkah untuk keluar dari ruang makan itu. "Kinara!" Cepat, ia meraih lengan Kinara ketika Kinara tak juga memberikan respon atas seruannya.
Kinara menghela napas. Geram. Giginya menggertak, suara gemelutuk pun sampai terdengar. Dan yang paling terasa adalah rasa jijik. Sentuhan kulit Abimana sangat menjijikkan.
"Singkirkan tanganmu, Abimana," ucap Kinara masih berusaha elegan. Tidak ada nada keras dalam suaranya. Kemarahan yang ia tunjukkan tetap terlihat anggun dan penuh karisma. "Setidaknya kau harus tahu diri sebelum berani menyentuh seseorang yang telah kau khianati." Selanjutnya, Kinara memutar badannya. Ia menatap Abimana dengan sorot mata yang tegas dan tajam.
"Kenapa? Kita masih suami istri, bukan sesuatu yang haram jika kita saling bersentuhan, 'kan?" balas Abimana. "Dan lagi, apa yang ingin kau katakan pada ayahmu? Apa kau berencana mengatakan tentang situasi kita? Tentang gugatan cerai yang kau layangkan padaku? Apa kau sudah gila?"
"Ssstt ...!" Kinara meletakkan jari telunjuknya di atas permukaan hidungnya yang mancung. Kemudian ia mengulas sebuah senyuman. "Kenapa panik begitu? Pelan-pelan, Abi. Santai, jangan gugup. Aku bahkan belum mengatakan apa pun kok. Jika ingin tahu, bukankah kita harus bertemu dengan Ayah terlebih dahulu?"
"Kinara! Jika kau berencana mengatakan situasi kita, apa kau tidak kasihan pada mereka? Apa kau ingin melukai hati ayah dan ibumu sendiri?! Aku bahkan tidak tega untuk melakukan hal itu!" tegas Abimana. "Ayolah, Kinara! Kita perbaiki semuanya. Aku bisa meninggalkan wanita itu ... demi dirimu, demi pernikahan kita."
"Abimana, berhentilah bicara, dan hadapi ayahku jika kau memang ingin tahu apa yang akan aku katakan pada beliau. Kau terlalu berisik, bualanmu membuatku semakin mual, Sayang."
Kinara tersenyum sampai matanya menyipit. Detik berikutnya, ia berusaha menyingkirkan tangan Abimana dari lengannya meski harus menggunakan tenaga ekstra. Beruntung, Kinara mampu melepaskan diri dari pria itu, yang membuat dirinya bisa bergegas untuk menyusul ayah dan ibunya.
"Kinara ... aku tidak akan membiarkanmu mengacaukan semuanya!" ucap Abimana sembari mengepalkan kedua jemarinya dengan sekuat tenaga. "Wanita gila ...!"
***