Secangkir kopi susu tiba-tiba muncul di hadapan Kinara yang masih sibuk menikmati kelengangan jalan raya. Saat ia mendongak, Kresna sudah ada di sampingnya sembari memegang gagang dari cangkir berisi minuman tersebut. Meski awalnya bimbang, pada akhirnya Kinara segera memutuskan untuk menerima minuman itu dari tangan sang pengacara.
Tepat ketika kopi telah berpindah tangan, Kresna lantas mengambil sikap duduk di sebelah Kinara. Ia tidak memedulikan izin dari wanita itu, terlebih ia lebih memiliki kuasa atas tempat ini. Kalau dipikir-pikir desain bangunan dan taman memang cukup membuat nyaman. Siapa pun akan senang untuk mampir sebentar sembari menatap ke arah depan, di mana jalan raya berada dan menyajikan pemandangan ratusan kendaraan yang setiap hari bermunculan.
"Terima kasih atas kopinya, Tuan Kresna," ucap Kinara. Sejujurnya ia tidak terlalu menyukai kopi susu, tetapi tak pantas jika dirinya mengatakan atas ketidaksukaannya itu. Setidaknya minuman tersebut masih bisa diterima oleh lidah dan perutnya.
Kresna menatap Kinara sementara wanita itu langsung membuang muka. Kinara tampak tidak nyaman, mungkin karena hari sudah terlalu malam dan tidak ada agenda untuk membicarakan pekerjaan.
"Sama-sama, Nyonya. Hanya kopi murah yang disediakan di kantor." Kresna memberikan jawaban meski terjeda dalam beberapa detik. "Tapi, setidaknya bisa menemani rencana Anda untuk berada di sini lebih lama lagi."
"Saya akan segera pulang ketika kopi ini sudah habis, dan saya akan segera menyerahkan cangkirnya." Kalau saja Kresna tidak memintanya untuk menunggu, mungkin Kinara pun sudah melajukan mobilnya untuk kembali ke hotel. "Kalau begitu, Anda bisa memulai pembahasan. Hari sudah terlalu malam, Tuan."
Dahi Kresna mengkerut detik itu juga. Matanya pun masih menatap wajah Kinara sementara wanita itu masih tetap menatap ke arah jalan. "Anda pikir saya akan membahas sesuatu yang berkaitan dengan kasus?"
"Tidak ada alasan lain, selain hal tersebut, bukan?"
"Waaah! Hidup Anda terlalu kaku, Nyonya!"
Kinara menelan saliva. "Ya, benar, dan mungkin hal tersebut menjadi salah satu alasan mengapa Abimana berselingkuh dengan wanita lain."
Oh, sial! Maki Kresna untuk dirinya sendiri. Sayang sekali, ia lupa menekan rem ketika berbicara, sampai membuat Kinara menjadi tidak nyaman. Seharusnya tidak boleh mengatakan soal karakter seseorang, dengan nada menyalahkan begitu, bukan? Kresna merasa menyesal. Situasi membuatnya harus diam dalam beberapa saat sampai muncul ide untuk meredam kecanggungan. Well, mungkin kecanggungan itu ia yang merasakannya sendirian, sementara Kinara pastinya sangat kesal terhadap ucapannya. Seorang pengacara memang selalu memiliki kata-kata yang pedas, tetapi untuk saat ini, Kresna tidak berada di waktu yang tepat.
Wanita yang kaku? Baik, Kinara harus mengakui akan hal itu. Dan seperti yang ia katakan barusan, kekakuan hidupnya bisa saja membuat Abimana sampai bermain api di belakangnya. Salah satu kekurangan yang bahkan tidak bisa Kinara perbaiki sampai saat ini. Dirinya sudah hidup dengan karakter yang mungkin buruk sejak bertahun-tahun yang lalu, sampai dirinya berusia 35 tahun seperti sekarang. Namun, pasangannya tidak mampu menerima hal itu dan justru menyerah lalu mencari wanita idaman lain. Padahal kalau diingat-ingat, Kinara tidak pernah gagal dalam melakukan tugasnya sebagai seorang istri, bahkan meski sangat sibuk sekali.
Ah! Kalau dipikir-pikir rasanya sangat menyebalkan dan juga ... benar-benar menyakitkan!
"Nyonya, jangan salah paham, saya tidak berniat untuk mendakwah Anda dengan hal seperti itu," ucap Kresna setelah berhasil mengumpulkan sejumlah keberaniannya. "Maafkan saya untuk itu."
"Soal kaku?" Sembari memberikan sahutan, Kinara berangsur menatap Kresna. "Tentu tidak masalah. Anda tidak bersalah soal itu, Tuan Kresna. Karena pada kenyataannya, saya bukanlah wanita yang menyenangkan."
"Anda akan sangat menyenangkan, tidak, tapi akan menjadi menyenangkan ketika bertemu dengan seseorang yang tepat setelah semua ini."
Kinara terkekeh kecil. "Orang yang tepat? Oh, rasanya tidak mungkin."
"Ke-kenapa? Kenapa tidak mungkin? Anda masih bisa dan masih terhitung muda untuk mencari pria lain, Nyonya. Dan ... Anda begitu cantik."
Wajah Kresna merona ketika kata 'cantik' meluncur begitu saja dari mulutnya. Mengatakan kata itu dalam keadaan serius benar-benar bikin malu, bahkan mual. Namun, ia harus mengakui bahwa wanita yang lebih tua darinya itulah memang sangat jelita. Mungkin pria muda pun akan tergila-gila pada Kinara.
Desiran aneh mendadak menghantam hati Kinara setelah dirinya dipuji. Namun, ia segera menghela napas panjang dan membuang perasaan yang tak nyaman itu. Pujian dari pria muda tentunya hanya seperti ocehan tak penting, jadi, lebih baik dibuang saja.
"Sayangnya, meski saya cantik dan muda sekalipun, saya tidak berniat untuk menikah lagi," ucap Kinara. Mungkin rencana ini tidak perlu ia katakan, tetapi, sudah terlanjur. Sayang sekali.
"Hah?" Kresna cukup terperanjat. "Oh, baik. Mungkin Anda masih sangat terluka karena Tuan Abimana, jadi untuk sekarang Anda memiliki rencana seperti itu."
"Tidak. Begini, coba bayangkan trauma yang akan menghantui saya ketika sudah menikah lagi. Ketidakpercayaan. Sebaik apa pun suami saya nantinya, saya tidak akan bisa memercayainya setelah trauma di pernikahan pertama. Bukankah ketidakpercayaan di dalam pernikahan yang akan membuat pernikahan itu rusak. Lalu—"
"Anda tidak harus berpikir berlebihan seperti itu, Nyonya."
Kinara mendesah. Tidak ada gunanya mengatakan penjelasan pada pria yang jauh lebih muda. "Anda belum pernah menikah, Anda tidak akan paham. Jadi, sebaiknya kita tidak membahas soal rencana-rencana masa depan saya lagi."
Hening pun mulai menyapa, ketika tak ada lagi kata yang tercipta sejak Kinara menekankan kalimat terakhirnya pada Kresna. Namun, bukan berarti Kresna menyerah begitu saja. Ia mencoba menjadi kalimat serangan baru untuk menyadarkan pola pikir itu. Soal anak misalnya, kalau tidak menikah, Kinara akan mendapatkan penerus baru dari siapa. Namun, ketika ide itu tercetus, Kresna memutuskan untuk tidak mengatakannya. Ia ingat kesalahan pertama yang ia lakukan dan membuat Kinara tampak tidak nyaman.
Sementara hari semakin malam. Angin berembus. Dingin menerpa kedua insan yang sedang tenggelam ke dalam pikiran masing-masing. Kopi di cangkir mulai habis bersamaan dengan terkikisnya niat Kinara untuk mampir lebih lama. Sebaiknya ia segera pulang.
Namun, sebelum Kinara berhasil mengutarakan niatnya, Kresna justru berkata, "Pernikahan itu tak selalu baik. Sebagai seorang pengacara saya sering menemukan kasus-kasus perceraian dengan beragam sebab. Perselingkuhan, ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga, hingga sulitnya mendapatkan seorang anak. Di dunia ini tidak hanya yang sedang berduka karena sebuah perceraian, Nyonya. Anda harus bangkit, karena banyak hal yang menjadi keberuntungan bagi Anda. Cantik, pintar, dan kaya-raya. Tidak semua korban perceraian seberuntung diri Anda, banyak dari mereka yang langsung sulit mencari uang setelah tidak punya suami."
Kinara tersenyum sinis. "Lalu?"
"Apa?" Kresna menatap wajah ayu wanita itu.
"Dengan mengatakan hal-hal itu, Anda ingin membuat saya segera move on. Membuka lembaran baru, menutup luka, dan melupakan semuanya? Agar saya pun melepaskan Abimana begitu saja?"
"Bukan seperti—"
"Tuan, Kresna, semua orang memiliki level penderitaan masing-masing. Korban-korban yang Anda katakan, mereka nyaris tidak sanggup melalui segala risiko setelah perceraian dengan kehidupan baru mereka. Saya pun begitu, meski level penderitaan kami berbeda. Saya ...." Kinara menghadapkan diri pada Kresna. Detik berikutnya, ia memajukan wajahnya, sampai membuat Kresna otomatis memundurkan tubuh. "Saya menderita, benar-benar menderita. Saya memergoki suami saya dengan wanita lain di ranjang hotel dengan mata kepala saya sendiri. Saya menaruh harapan besar pada suami saya, dan sudah begitu memercayainya. Setelah bercerai, dia masih bisa berbahagia dengan wanita itu. Sementara saya? Saya sendirian di sini, bersama luka! Saya menderita dengan level penderitaan saya sendiri. Ingatan itu benar-benar menyakitkan. Jangan samakan saya dengan korban lain, karena kami menderita dengan risiko kami masing-masing."
Kinara langsung bangkit dari duduknya, lalu menatap Kresna dengan pandangan yang tajam. Sementara pengacara itu masih saja terdiam sembari menelan saliva sampai berkali-kali. Tak lama berselang, Kinara meletakkan cangkir kopinya yang sudah kosong. Setelah mengatakan terima kasih, Kinara bergegas untuk pergi. Ia menuju basemen yang bisa dilalui dengan jalan kaki demi mencari mobil pribadinya.
"Aku salah lagi deh, rumit sekali wanita itu," gumam Kresna sembari menggaruk-garuk kepalanya. "Padahal, aku hanya ingin membuatnya sadar. Dendamnya pada mantan suaminya akan jauh lebih menyakitkan, bukan? Kenapa dia justru mengambil jalan yang sulit?"
***