Chereads / Pembalasan Sang Nyonya / Chapter 3 - Pembuktian yang Pahit

Chapter 3 - Pembuktian yang Pahit

Kinara memutuskan untuk maju saja. Tidak peduli kemungkinan mana yang akan terjadi. Dirinya tidak boleh kalah oleh rasa takut, sekalipun luka menyakitkan akan langsung merasuk ke dalam hatinya. Namun, kemungkinan lain yang berpihak pada keyakinannya masih bisa diharapkan. Ya, belum tentu ucapan Tiara benar.

Kinara menempelkan kartu itu pada alat yang terpasang di pintu kamar hotel tersebut. Irama jantung yang kian tidak beraturan mengiringi gerakan tangan Kinara. Tak berselang lama, pintu itu pun terbuka. Kinara menelan saliva, yang rasanya cukup pahit dan getir. Kakinya mulai melangkah, lalu dirinya melesak ke dalam pintu yang benar-benar telah menganga.

Kamar presidensial dengan segala fasilitas kelas atas mulai menyapa. Mata Kinara memeriksa setiap detail dari tempat itu. Langkahnya pun kembali terayun, dari gerakan lambat lalu berubah cepat. Mata Kinara beralih menatap sebuah ranjang. Pemandangan yang sangat mengejutkan sukses membuat Kinara terpaku dalam kegamangan.

Tiara benar! Abimana benar-benar berselingkuh. Pria itu tampak sedang tidur sembari memeluk erat seorang wanita yang tidak Kinara kenal. Siang bolong seperti ini, apa yang mereka lakukan di dalam hotel dalam keadaan se-demikian mesra, jika tidak sedang berselingkuh?

"Tiara ... benar." Suara Kinara keluar, meski tenggorokannya masih terasa tercekat.

Pemandangan yang tidak semestinya terjadi justru menjadi sajian yang menyambut kedatangan Kinara di Bali. Suami yang selalu ia segani mendadak menjadi pria pengkhianat yang paling menyakiti. Luka yang begitu perih pada akhirnya tetap merasuk ke dalam hati seorang wanita hebat—Kinara Dewi Pradipta. Keyakinan Kinara sudah berubah menjadi penderitaan yang sangat menyakitkan.

"Abimana," ucap Kinara masih berusaha bersikap tenang dan elegan. Ia berusaha untuk menjadi wanita yang tidak sedang mengemis cinta. Ia tidak mau terlihat menderita hanya karena ulah Abimana yang sudah keterlaluan.

"Abimana Erlangga!" Suara Kinara berubah tegas dan cukup keras. Ia hanya ingin Abimana cepat terjaga dan lantas memberikan penjelasan padanya.

Abimana mendengar suara Kinara yang ia pikir hanya ilusi semata. Namun, meski begitu ia tetap mencoba membuka mata. Hari sudah semakin siang rupanya. Sejak tadi pagi ia hanya berada di kamar bersama wanita simpanannya. Padahal, seharusnya hari ini ia kembali ke Jakarta karena urusan bisnis telah selesai. Rengekan sang wanita simpanan yang menginginkan satu hari penuh bersamanya, membuatnya memutuskan untuk tetap tinggal.

"Abimana Erlangga! Ini aku. Kinara, istrimu." Kinara kembali berucap karena melihat Abimana masih saja belum sadar sepenuhnya.

Suara Kinara kali ini sukses membuat mata Abimana terbuka lebih lebar. Ia menelan saliva, lalu memeriksa ke arah sumber suara. Betapa terkejutnya diri Abimana mendapati sang istri sudah berdiri tegak sembari menenteng tas jinjing yang pernah ia hadiahkan.

"Ki-kinara ...?" ucap Abimana dengan lidah yang sudah kelu. Detik berikutnya, ia bergegas untuk turun dari ranjang itu. "Ba-bagaimana bisa? Ba-bagaimana bisa kau ada di sini?"

"Mm ... ada apa, Tuan Abi?" Sang wanita simpanan merasa terganggu oleh suara Abimana, lantas membangunkan diri tanpa membuka matanya terlebih dahulu.

"Tuan Abimana?" ucap wanita itu lagi saat Abimana tidak kunjung memberikan jawaban untuknya. Ia membuka mata dan menoleh ke arah Abimana. Sama seperti yang dirasakan oleh Abimana, diri wanita itu juga terkejut bukan kepalang. "Ma-mati aku ...." Ia bergumam sangat pelan.

Sementara itu, Abimana yang sudah sangat bingung karena terpergok bersama wanita lain segera mengambil sikap. Ia yang tidak ingin ada adegan adu jambak, memutuskan untuk membawa Kinara menjauh dari keberadaan wanita simpanannya.

Abimana menghentikan langkahnya, diiringi oleh berhentinya langkah kaki Kinara, di sudut ruangan yang paling dekat dengan pintu keluar. Sebelum mengatakan sebuah penjelasan, Abimana menengok ke belakang hendak memeriksa jika sang wanita simpanan sudah benar-benar aman.

"Jelaskan padaku apa yang sedang kau lakukan bersama wanita itu, Abimana," pinta Kinara dengan suara yang terdengar datar, seolah tidak ada perasaan apa pun yang terkandung di dalamnya.

Abimana kembali menatap Kinara. Matanya bergerak-gerak, meskipun fokus utamanya adalah wajah cantik milik sang istri. "Aku bisa menjelaskan soal ini, Kinara. Bahwa Bianca hanyalah salah satu relasiku. Aku—"

"Relasi untuk urusan yang sangat-sangat spesial maksudmu?" sela Kinara.

"Bukan begitu, a-aku dan Bianca tidak memiliki hubungan apa pun, Kinara. Sungguh!" Abimana masih saja berkilah, meskipun sudah tertangkap basah.

Kinara tersenyum tipis. "Kenapa kau berselingkuh, Abimana? Kau pikir aku bodoh? Kau pikir aku akan memercayai kebohongan yang tidak tersusun dengan rapi seperti itu? Jujur saja, Abimana, sejak kapan kau melakukan perselingkuhan ini? Dengan wanita lain yang bahkan tidak lebih cantik dariku? Oh bagaimana bisa? Apakah dia anak seorang politisi, pengusaha, atau hanya sekadar kupu-kupu malam?"

Abimana menelan saliva. Ekspresinya berubah, dari yang sebelumnya panik kini cenderung lebih marah. Ia hanya tidak tahu harus berbuat apa. Pasalnya Kinara bukanlah istri biasa, melainkan wanita dengan jabatan tinggi dengan kemampuan otak yang cemerlang. Dengan kata lain, Kinara bukanlah orang yang bisa dibohongi dengan mudah. Cara paling tepat untuk menghadapi wanita semacam itu adalah dengan cara memberikan tekanan. Abimana harus mendominasi keadaan.

Sebuah senyum sinis menarik salah satu sudut bibir Abimana. "Kau ... memang wanita yang sulit ditipu, ya. Kau terlalu pintar, Kinara," ucapnya sarkastis.

"Kenapa kau berselingkuh, Abimana? Aku bertanya sejak tadi, tapi belum kau jawab sama sekali. Aku rasa aku lebih cantik darinya. Aku lebih kaya dan memiliki karier yang bagus. Meskipun begitu, aku tetap menjalani kewajiban sebagai istrimu. Aku menyiapkan segala keperluanmu, menyiapkan makanan untukmu, dan aku juga masih tetap bekerja. Aku benar-benar tidak bisa memahami mengapa kau bisa melakukan kecurangan ini, Abimana. Jadi, tolong jelaskan padaku," sahut Kinara.

"Sepertinya memang tidak ada gunanya lagi untuk berkilah. Baiklah, kuakui aku memang berselingkuh, Kinara." Abimana tersenyum lebar. "Kau ingin tahu alasannya, bukan? Dengarkan aku dengan baik, Kinara."

Kinara menghela napas untuk sedikit membuat dadanya lebih bebas dari rasa sesak yang tengah menyiksa. "Katakan, Abimana."

"Kesibukanmu membuatku seperti seorang duda kesepian, Kinara. Selain itu, kau ... tidak bisa memberiku keturunan dalam satu tahun pernikahan kita." Abimana mengungkapkan alasan di balik perselingkuhannya tanpa raut penyesalan sedikit pun. "Jadi, aku pikir perselingkuhan yang aku lakukan adalah sebuah kewajaran. Kau adalah penyebabnya. Kau memang menyiapkan segalanya untukku, tapi apa kau lupa bahwa aku juga butuh waktu berduaan dengan seorang istri? Aku ingin didengar, diajak bercanda, bukan hanya soal pekerjaan, Kinara. Tapi, kau terlalu kaku dan hal itu membuatku bosan padamu. Lagi pula, aku juga menginginkan seorang anak."

Jawaban yang Abimana berikan ibarat petir yang langsung menggerus semua kebahagiaan hidup Kinara. Pada ungkapan soal anak yang belum kunjung Kinara berikan adalah bagian paling menyakitkan yang tidak bisa Kinara toleransi lagi. Ia tidak mengerti mengapa Abimana memiliki kata-kata sejahat itu, dengan kenyataan yang terjadi selama ini.

Kenyataan mengatakan bahwa Kinara memiliki rahim yang normal. Ia tidak mandul. Bukankah yang perlu dipertanyakan adalah kesehatan Abimana? Selain itu, pihak yang sangat sibuk bukan hanya Kinara seorang, tetapi Abimana pun memiliki banyak agenda. Bahkan, Abimana sering pulang telat dengan alasan ada pekerjaan yang harus segera diselesaikan.

Namun, mengapa hanya Kinara yang menjadi pihak paling bersalah? Jika memang bosan dengan pembahasan soal pekerjaan dan perusahaan, bukankah Abimana bisa mengatakannya secara langsung daripada harus berselingkuh? Dan jika, sudah ingin memiliki keturunan, Abimana bisa mengajak Kinara untuk menjalani program kehamilan?

Kali ini, raut wajah Kinara mulai berubah. Bibirnya yang sejak tadi pagi tampak segar mendadak pucat bagaikan tidak ada aliran darah. Matanya yang memiliki bulu mata lentik berangsur menatap keberadaan sang wanita simpanan yang hanya menyaksikan dari atas ranjang. Wanita simpanan suaminya tersebut sangat menyebalkan karena sudah menjadi orang ketiga di dalam pernikahannya, tetapi pihak Abimana menjadi pihak paling bersalah karena sudah tidak setia.

Kinara yang selalu kuat memutuskan untuk menahan kesedihannya. Ia tidak akan membiarkan satu bulir air mata pun jatuh hanya untuk menangisi sosok Abimana. Tangisan derita milik Kinara hanya akan membuat Abimana merasa semakin berkuasa. Oleh sebab itu, Kinara berjanji untuk tidak akan pernah merintih atau menangis hanya demi cinta.

"Abimana," ucap Kinara lalu berusaha mengulas senyuman manisnya. Ia menatap Abimana lalu kembali berkata, "Mari kita bercerai. Mm ... tidak, tapi, aku melayangkan gugatan cerai untukmu."

Abimana tercekat. "Cerai? Ayolah, Kinara. Perselingkuhan ini hanya terjadi kali ini saja, jika kau mau berubah, aku berjanji tidak akan pernah melakukannya lagi. Lagi pula, bukankah kedua orang tua kita akan sangat bersedih jika kita berpisah? Aku berjanji akan bersabar sampai kau bisa memberiku seorang anak, Kinara. Lagi pula, merger di antara perusahaan kita masih bagaimana?"

"Maafkan aku, tapi orang tuaku akan lebih bersedih jika diriku masih bertahan dengan suami yang tidak bisa setia." Kinara menjawab dengan tenang dan elegan. "Merger? Cih ... apa kau benar-benar sudah tidak tahu malu? Sudah berbuat salah, justru menyalahkanku, lalu masih membahas soal merger?"

"Kinara?"

"Abimana, aku ingin bercerai! Dan merger di antara perusahaan kita akan aku batalkan!" tegas Kinara.

"Apa? Tidak! Kinara, dengarkan aku!"

Abimana panik. Ia pikir penekanan yang ia berikan akan membuat Kinara lantas merasa bersalah. Namun, tidak! Alih-alih merasa bersalah, Kinara justru melayangkan gugatan perceraian dan pembatalan merger secara langsung. Demi mempertahankan penggabungan perusahaannya dengan perusahaan sang istri, Abimana berusaha untuk merayu istrinya itu lagi. Abimana menyembah dan mengatakan belasan kata-kata cinta yang sudah tidak berguna lagi bagi Kinara. Sayangnya, usaha Abimana harus tandas, ketika Kinara memutuskan untuk pergi dari kamar hotelnya.

Sementara Kinara yang terus menahan diri untuk tidak menangis berjalan menyusuri lantai marmer hotel itu. Ia melesak ke dalam elevator, lalu terduduk dengan lemas.

"Tidak. Air mataku terlalu mahal hanya untuk menangisi pria semacam Abimana. Aku tidak boleh lemah. Setelah bercerai, aku pastikan aku akan membalas rasa sakit ini dengan cara menghancurkannya," ucap Kinara dengan napas yang tersenggal-senggal.

***