"Yasa, Papa mau bicara sama kamu. Temui Papa di taman belakang, kalau kamu sudah selesai membersihkan diri."
Belum juga merebahkan diri, baru sampai di rumah saja, Papa sudah ingin berbicara suatu hal denganku. Kenapa tak sedari tadi sih, saat masih diperjalanan. Kan bisa sambil bicara juga.
Tapi, apa yang ingin dibicarakan oleh Papa denganku. Sepertinya, ada sesuatu yang membuat dia marah atau ada kesalahan yang ku perbuat. Ku rasa tak ada.
Ah, sudahlah. Dari pada pusing memikirkan hal apa yang ingin dibicarakan oleh Papa, lebih baik aku segera berbenah dan membersihkan diri. Biar urusannya cepat kelar. Aku sudah tak sabar, untuk merebahkan diri dan tidur.
***
Setelah beberapa menit menghabiskan waktu di kamar mandi, aku segera mengambil kaos dan celana panjang yang biasa ku pakai saat di rumah. Saat hendak ingin keluar untuk menemui Papa, Sekar tiba-tiba mengagetkanku dari luar pintu kamar.
"Mas, sebenarnya ada apa, sih? Kok Papa kayaknya, pengen bicara serius deh sama kamu. Ku lihat tadi, Mama juga ada di taman belakang. Mereka berdua menunggu kamu sejak tadi."
Belum juga ku temui Papa, Sekar sudah bertanya apa yang ingin dibicarakan denganku. Aku mana tahu, aku saja belum menemui mereka. Tapi, aku juga sedikit penasaran, sama halnya dengan yang diucapkan Sekar tadi.
"Ya mana ku tahu, aku saja masih disini. Kamu ini ada-ada saja ya! Pikirannya. Sudah sana cepet mandi, aku mau menemui Papa sama Mama dulu."
Aku berlalu meninggalkan Sekar yang mengerucutkan bibirnya karena responku tadi. Tak mau berlama-lama agar tak membuang waktu juga. Tak ku lihat Jonathan maupun Gavriel bermain, mungkin mereka sedang tidur siang.
Papa dan Mama terlihat sedang duduk di taman belakang, mereka seperti sedang menikmati teh bersama. Aku segera mempercepat langkahku untuk menemui mereka, biar cepat selesai pula urusan Papa padaku.
"Mau bicara apa, Pa?" Papa dan Mama menoleh kearahku yang sudah berada dibelakang mereka.
"Duduk sini, Yasa. Biar Mama kedalam dulu, untuk menyuruh Bi Maria membuatkan teh atau kopi buat kamu." Mama beranjak dari tempat duduk yang ia tempati tadi. Aku pun menggantikan posisi Mama dan duduk didekat Papa yang sedang menikmati tehnya.
"Papa cuma mau bilang sama kamu, jangan bersikap keterlaluan sama Jonathan. Dia itu masih kecil, yang bisa kamu tuntut untuk selalu benar. Jangan membeda-bedakan antara Jo dan Gavriel, meski Jo bukan anak kandung kamu dan Sekar."
"Kenapa Papa bilang begitu? Memangnya, Yasa berbuat apa sama anak itu, Pa. Sampai Papa bilang sikap Yasa keterlaluan?"
Papa mengehela nafas panjang, sebelum menjelaskan apa perbuatanku yang dianggapnya keterlaluan. Ku rasa tak pernah berbuat hal aneh pada Jonathan selama ini, mengapa tiba-tiba Papa berkata seperti itu?
"Tindakan kamu menghukum Jonathan dengan meninggalkan dia di rumah, sedangkan kamu, Sekar dan Gavriel pergi liburan. Menurut Papa, itu perbuatan yang salah Yasa. kamu tidak tahu, bagaimana terlukanya anak itu. Usianya masih 8 tahun, dan tak sepatutnya kamu menghukum dia seperti itu. Meskipun benar, dia sudah lalai menjaga Vio. Tapi, bukankah dia sudah berusaha untuk menolong sesama temannya, itu membuktikan bahwa dia tak tinggal diam saat seseorang dalam bahaya."
Jadi ini yang membuat Papa menganggap sikapku salah, karena menghukum Jo dengan tidak membawa dia liburan. Aku menghukumnya, untuk memberikan efek jera pada Jonathan. Agar dia lebih bisa mengalah pada adik-adiknya saat bermain, sehingga kejadian seperti kemarin tak terulang lagi.
"Aku melakukan itu pada Jo, supaya dia bisa jera, Pa. Dia harus mau mengalah pada adik-adiknya. Agar tidak terulamg lagi kejadian seperti kemarin. Andai Jo bisa menggantikan Gavriel menjaga, sudah pasti Gavriel tak akan kesal dan tak sengaja menyenggol bahu Viola, hingga ia jatuh kedalam kolam."
"Tetap saja, Yasa. Kamu harus bisa bersikap adil, jangan timpang sebelah. Bila kamu mau Jo mengalah, maka kamu juga harus memberi pemahaman pada Gavriel. Bahwa bersikap seenaknya saja, itu tidak boleh. Papa tau, Gavriel masih kecil. Tapi, kamu terlalu menuntut Jo untuk lebih tau, sedangkan pada Gavriel, tidak pernah kamu beri pemahaman yang benar. Apakah akan terus seperti itu hingga ia dewasa? Jelas itu membuat watak yang salah nantinya pada Gavriel."
Perkataan Papa sebenarnya, ada benarnya juga. Tapi, bagaimana Gavriel mampu memahami. Sedangkan usianya saja masih sangat dini untuk memahami. Beda halnya dengan Jo, yang sedikit banyak sudah bisa mengerti perkataan orang dewasa.
"Akan ada waktunya masing-masing, Pa. Usia Gavriel masih sangat dini untuk paham apa yang orang katakan. Sedangkan Jonathan, aku yakin sedikit banyak dia lebih paham perkataan orang dewasa dari pada Gavriel."
"Usia boleh dini, Yasa. Tapi pembelajaran seperti itu tak bisa diabaikan, mulailah sejak dini. Agar lambat laun dia juga bisa paham. Bukan menunggu usia untuk paham, tapi kamu sebagai orang tua harus bisa bijak dalam menyikapi."
Aku tak lagi merespon ucapan Papa, memang ada benarnya juga sih. Jika tak dimulai sejak dini, maka Gavriel akan tetap seenaknya saat sedang bermain dengan teman-temannya. Apalagi, saar ini dia sudah mau masuk sekolah dasar, yang pasti harus beradaptasi dengan lingkungan baru dan teman-teman barunya. Jo sejak dulu memang selalu mengalah untuk Gavriel, tak pernah ia membantah meskipun sering disalahkan saat terjadi sesuatu pada Gavriel.
Apa iya, sikapku sudah keterlaluan padanya? Aku melakukan itu, juga karena hasutan dari Sekar. Apalagi dia mengaitkan ini dengan Pras, jelas aku merasa bahwa perbuatan Jo harus mendapatkan hukuman, seperti yang dikatakan Sekar. Karena Pras adalah sahabat karibku, apalagi dia hanya memiliki satu orang anak saja. Jelas aku merasa bersalah, saat tau kalau Vio hampir mati tenggelam.
"Papa..." Suara Jo tiba-tiba membuyarkan lamunanku tentang dia. Aku menoleh kearahnya, ternyata dia berlari menuju padaku dengan Mama yang berada dibelakangnya.
"Ada apa, Jo?" Tanyaku saat dia sudah berada dekat denganku.
"Oleh-oleh untuk Jo mana, Pa? Papa gak lupa, kan?"
"Nggak dong, Jo. Mana mungkin Papa lupa, Papa sudah membeli beberapa oleh-oleh buat kamu. Ada satu hadiah paling besar loh! Papa yakin, kamu pasti suka." Jonathan sumringah mendengar perkataanku. Sama seperti anak lainnya, dia seperti sudah tak sabar untuk mendapatkan oleh-oleh yang ku janjikan padanya.
"Ayo, Pa! Kita ambil hadiahnya. Jo penasaran, hadiah apa yang Papa bawa untuk Jo." Jonathan menarik lenganku, untuk membawanya mengambil hadiah yang ku janjikan padanya.
Aku bangkit dari dudukku, dan berlalu meninggalkan Papa. Sampai di ruang tengah, aku memberikan kardus yang paling besar diantara yang lainnya. Ku berikan kardus itu pada Jo, untuk segera dibuka. Jo segera membuka hadiah yang ku berikan padanya, perlahan ia mengeluarkan isi dari kardus itu.
"Wah, mobil remote. Jonathan suka, Pa. Suka banget, mobilnya juga besar banget. Makasih ya, Pa." Jo berhambur memelukku.
Benar apa yang Papa katakan tadi, sikapku yang salah. Seperti membeda-bedakan antara Jonathan dan Gavriel. Meskipun dia bukan darah dagingku, setidaknya dia pernah menemani masa kesepian di rumah tanggaku dulu saat aku dan Sekar belum memiliki anak. Dan karena dia pula, aku bisa tau cara merawat dan mengasihi seorang anak.
"Jo, Papa minta Maaf ya! Karena sudah menghukum kamu, dan tidak membawamu liburan kali ini."
Jo yang sejak tadi asik Membolak-balikan mobilnya kini menatapku. Anak kecil yang tak tau apa-apa itu seolah mengerti rasa bersalah yang ku perbuat padanya.
"Iya, gak papa kok, Pa. Jo tau, Papa melakukan semua itu demi kebaikan Jo juga. Lain kali Jo harus lebih memperhatikan anak yang usianya lebih muda dari Jo, apalagi Jo punya adik yang baru masuk sekolah dasar, yaitu Gavriel. Jo juga minta maaf ya, Pa. Kalau Jo sering buat ulah sama Papa dan Mama, Jo sayang Papa sama Mama."
Oh Tuhan... Betapa egosinya aku pada anak ini. Dia amanah yang Kau titipkan pada pada keluarga kecilku, tapi aku sering kali melupakan itu.