Hari ini Sekar mengajakku untuk mendaftarkan Gavriel disalah satu sekolah dasar elite yang ada di Jakarta. Akan tetapi, karena banyaknya pekerjaan kantor yang belum ku urus, jadi ku pasrahkan semuanya pada Sekar. Apa saja yang diperlukan sebagai persyaratan biarlah dia yang mengurusnya, aku percaya dia pasti bisa mengatasai semuanya dengan baik. Meski saat Jo masuk sekolah dasar, aku yang mengurusnya karena Sekar tidak mau mengambil alih pendaftaran sekolah Jonathan.
"Kamu yakin gak mau ikut mengurus berkas-berkas pendaftaran untuk Gavriel, Mas? Biar kita telaah dulu tempat sama fasilitasnya, cocok dan lengkap gak buat Gavriel. Kalau hanya aku saja yang mengurus, takut nantinya malah ada beberapa hal yang tidak sesuai. Aku belum punya pengalaman soalnya untuk pendaftaran di sekolah dasar."
"Gak perlu telaah segala, yang terpenting adalah sekolahnya punya fasilitas yang lengkap. Sudah, itu saja. Waktu Jo masuk sekolah dasar saja, aku tak perlu menimbang apapun. Meski sekolah Jonathan bukan sekolah elite seperti Gavriel, yang penting mereka bisa belajar dengan nyaman. Udah, itu saja."
Ku jawab pertanyaan Sekar tanpa melihat kearahnya, sambil tetap membereskan semua berkas-berkas yang harus ku bawa ke kantor hari ini. Lagi pula hanya mendaftarkan saja, untuk apa harus serempong itu, pakek telaah-telaah segala. Yang penting anak bisa belajar dengan baik sudah cukup menurutku, sekolah yang dipilih juga elite. Jadi tak mungkin masih memiliki kekurangan seperti sekolah dasar biasa, seperti sekolah tempat Jonathan belajar.
"Mama kan hanya ingin yang terbaik untuk Gavriel, Mas. Makanya harus benar-benar hati-hati dalam memilih dan menentukan sekolah terbaik untuk Gavriel. Dan lagi, aku sama sekali tak punya kenalan disana. Makanya ajak kamu buat ikut mengurus pendaftaran sekolahnya Gavriel."
"Haduh, Sekar. Bukankah kamu sendiri yang sudah menentukan Gavriel akan didaftrakan disana, sekolah itu sudah merupakan sekolah elite loh! Masak kamu masih ragu saja sih, sama fasilitas dan berbagai hal yang ada disana. Jo saja masuk sekolah dasar biasa, tak seribet ini dulu. Masih banyak pekerjaan yang harus ku lakukan hari ini, kamu tau sendiri kan, sebelum pergi liburan pekerjaanku ditunda dulu. Jadi, gak usahlah kamu ambil pusing hanya masalah sekolah itu. Kamu ajak saja Ningrum, bukannya dia juga akan mendaftarkan Vio di sekolah itu juga!"
Kadang aku merasa kesal sendiri dengan Sekar, sudah menjadi pilihannya sendiri, tapi masih ragu. Hal sekecil ini dipusingkan, seharusnya dia bisa dong mengatasi itu semua. Toh, hanya sekolah dasar saja kok. Apa ribetnya.
"Ih, kamu ya, Mas. Emang gitu, sama Gavriel aja gak mau ngurusin. Kalau sama Jo, yang bukan anak kandungmu malah diurusin. Ningrum mana tau tentang sekolah itu, dia saja baru pindah dari Kalimantan. Gak mungkinlah, dia tau banyak tentang sekolah-sekolah di Jakarta."
Nah, kan! Mulai lagi dia, aku mengurus pendaftaran Jonathan saat masuk sekolah dasar dulu, karena dia yang tidak mau mengambil alih. Sekarang malah aku yang disalahkan karena tidak mau mengurus pendaftaran Gavriel. Benar-benar membuatku naik darah saja.
"Ya Sudah, kalau kamu mau aku yang mengurusnya, Oke. Aku yang akan mengurusnya. Asal, kamu yang mengerjakan semua pekerjaa di kantor. Kita tukar posisi, gimana?" Aku yang sejak tadi membereskan berkas-berkas pekerjaan, berbalik menghadap kearahnya. Menampakkan bahwa aku sangat kesal dengan tingkah konyolnya, dengan banyak mempertimbangkan hal sepele seperti ini.
"Huh, ya sudahlah. Kalau begitu, aku sama Ningrum saja. Tak perlu tukar-menukar posisi segala, aku mana tau tentang menejemen. Jurusanku saja bukan menejemen."
"Nah, itu kamu tau. Dari tadi kek, bikin kepala mumet saja." Akhirnya perdebatan pun selesai, Sekar menyerah. Dan tak lagi merengek minta ditemani.
***
Hari ini, Papa dan Mama memutuskan untuk pulang ke rumah mereka. Awalnya aku melarang, namun mereka tetap kukuh untuk pulang. Karena sudah lumayan lama juga mereka disini, selama menemani Jonathan saat aku dan Sekar pergi berlibur.
"Yasa, kamu yakin mau mendaftarkan Gavriel di British School? Lalu, kenapa Jonathan kamu masukkan ke sekolah dasar yang biasa saja. Kalau Gavriel kamu daftarkan di sekolah dasar elite di Jakarta?"
Masalah satu selesai, muncul lagi masalah baru. Baru juga aku menapakkan kaki dimeja makan, Papa sudah memberikan pertanyaan tentang sekolah Gavriel dan Jonathan padaku.
"Itu semua kemauan Sekar, Pa. Aku hanya ikuti saja kemauannya, toh bukankah sama saja. Sekolah dasar biasa, sama yang elite. Sama-sama sekolah untuk anak-anak kok."
Papa tetap fokus dengan makanan dipiringnya, aku pun duduk dan mengambil sedikit saja nasi goreng yang dibuat Mama pagi ini. Inilah kebiasaan orang tuaku, meski sudah ada pembantu. Mama lebih suka memasak sendiri apa yang ia sukai, biasanya tiap pagi aku hanya makan roti selai dengan teh. Saat ada Mama, tiap pagi pasti sudah tersedia nasi goreng, kadang dengan telur, kadang juga sosis.
"Kamu gak lupa, kan! Apa yang Papa bicarakan kemarin sama kamu?"
Ya ampun, lagi-lagi Papa membahas hal itu. Padahal sudah ku jelaskan tadi, kalau semua itu kemauan Sekar. Bukan aku, jadi kenapa aku juga yang akan disalahkan oleh Papa.
"Iya, Pa. Yasa inget kok, tapi ini semua bukan kemauan Yasa kok. Lagi pula Yasa tidak membeda-bedakan antara Jo dan Gavriel lagi, menurut Yasa semua sekolah, itu sama saja. Mau yang elite atau biasa saja, tetap saja tujuannya untuk memberikan pengetahuan buat anak. Toh, meski begitu. Sekolah elite belum tentu juga bisa membuat anak jadi pintar, ini hanya persoalan status sosialnya saja menurut, Yasa. Lagi pula yang mengurus semuanya itu, Sekar, Pa. Jadi aku tak mungkin masih mengeluhkan segala macam padanya."
Tidak ada habisnya perbedebatan kali ini, tadi saat di kamar dengan Sekar. Sekarang malah dengan Papa, entah apa lagi yang akan jadi perdebatan setelah ini.
"Yasa benar, Pa. Sekolah dimanapun yang penting bagus untuk anak, mau elite atau biasa saja, itu tergantung dari anaknya sendiri. Kalau malas, meskipun sekolah di sekolah yang elite, tetap saja akan bodoh. Begitupun sebaliknya. Kita doakan saja yang terbaik untuk cucu-cucu kita, Pa."
Syukurlah, Mama membelaku. Setidaknya aku punya tonggak untuk menjawab Papa. Aku hanya malas saja, jika harus berdebat lagi dengan Sekar tetkait sekolah, jika aku tak menyetujui permintaannya untuk mendaftarkan Gavriel di sekah yang elite. Apalagi anak Pras juga didaftrakan di British School. Jelas aku sedikit minder kalau sampai Gavriel didaftrakan di sekolah yang sama dengan Jonathan.
"Ya sudah, tapi ingat pesan Papa, Yasa. Jangan sampai kamu melupakan apa yang sudah Papa katakan padamu kemarin. Papa gak mau, kalau kamu sampai bersikap seperti itu lagi."
"Tenang saja, Pa. Yasa akan ingat itu kok, aku tak akan mengulang kesalahan yang sama. Kecuali Jo melakukan kesalahan yang sangat fatal, aku pasti akan lebih bersikap tegas pada anak-anakku."
Tidak ada lagi perdebatan tentang sekolah. Akhirnya, aku bisa bernafas lega. Bisa lepas dari beberapa hal yang menurutku sepele, dan tidak perlu diperpanjang hingga membuat kepala pening saja. Aku memang tipikal orang yang tidak suka ribet, jika bisa mudah kenapa harus dipermasalahkan. Tapi kalau sudah emosi, kadang aku tidak bisa mengontrolnya.