"Ayolah, Pa. Sekali ini saja. Jonathan hanya ingin satu sekolah dengan Gavriel, apapun syaratnya, akan Jo usahakan. Asalkan bisa sekolah di tempat Gavriel, Pa."
Tak ada tanggapan dari Papa, yang sudah mulai memainkan ponselnya kembali. Apakah permintaanku terlalu berlebihan? Hingga Papa tak mau menurutinya? Aku tak meminta mainan, atau hal yang tak berguna. Aku hanya minta pindah Sekolah. Itu saja, kenapa malah tak diperbolehkan?
"Papa banyak urusan, Jo. Kalau kamu tetap memaksa, minta saja sama mamamu, biar dia yang bantu uruskan."
Bagaimana mungkin aku meminta semua itu pada Mama? Selama ini saja, Mama tak pernah mengurus sekolahku, belajar saja aku selalu mandiri. Tak pernah sekalipun Mama menanyakan bagaimana dengan sekolahku.
"Ada apa ini? Kenapa Mama dibawa-bawa, mau apa anak ini, Pa." Serentak aku dan Papa menoleh kearah suara tadi. Ternyata itu Mama, sejak kapan Mama sudah berada disini. Aku tak mendengar suara mobil masuk ke halaman, tiba-tiba saja Mama sudah ada disini.
"Ini, Ma. Jo minta pindah sekolah ke tempat Gavriel. Tapi Papa melarang, buat apa harus pindah sekolah segala. Semua sekolah kan sama menurut Papa, tapi Jo malah maksa. Katanya sekolah Gavriel lebih elite dan lengkap, jadi dia mau sekolah bareng Gavriel. Ya sudah, Papa suruh dia minta sama Mama. Kalau Papa yang urus, sekarang ini pekerjaan Papa lagi numpuk-numpuknya di kantor. "
Mama melirikku dengan tatapan yang tak bisa ku artikan dengan pasti. Akan tetapi hal itu berhasil membuatku takut, untuk berlama-lama bertatap muka dengan Mama. Aku menunduk dan tak lagi menatap Mama, kenapa Papa harus menyerahkan semuanya pada Mama? Jika saat aku pertama masuk sekolah dasar saja, yang mengurusnya adalah Papa. Apa mungkin Mama akan mau kali ini? Aku harap, semoga saja Mama mau.
"Nggk, aku gak mau, Mas. Ngurusin pendafataran Gavriel saja ribet, apalagi ditambah urusan pindah sekolah. Untuk apa sih, pakek mau pindah-pindah sekolah segala. Bisa sekolah itu disyukuri, bukan malah minta yang aneh-aneh begini."
Jawaban Mama sangat ketus sekali. Meski Mama tak langsung berkata padaku, tapi aku merasa bahwa Mama sudah tak mau mengurusiku lagi. Adakah yang salah denganku? Hingga Mama selalu bersikap seperti itu padaku.
"Tapi, Ma. Aku juga pengen ngerasain sekolah yang punya fasilitas lengkap seperti sekolah Gavriel, dari dulu Jo selalu saja masuk sekolah biasa saja. Tidak seperti Gavriel, yang sejak dulu masuk sekolah elite yang bagus."
"Heh, denger ya, Jo. Kamu fikir masuk sekolah elite itu gampang! Enggk, gak semudah yang kamu fikir. Gavriel itu anak Mama, jadi wajarlah. Mama pengen yang terbaik buat dia."
Teganya Mama berkata seperti itu, seolah-olah aku ini bukan anaknya juga. Jika Gavriel saja bisa menjadi anak kesayangannya. Lantas, aku ini dianggap apa oleh Mama? Sialnya aku harus terlahir sebelum Gavriel. Andai aku yang menjadi seorang adik, pasti nasibku tak akan Seperti ini.
Ya Tuhan... Tidak bisakah kau tukar saja posisiku dan Gavriel, agar aku juga bisa merasakan kasih sayang yang begitu besar dari Mama. Hingga ia rela memperjuangkan segalanya untukku.
"Aku juga anak Mama, kenapa Mama gak mau ngurusin berkas-berkas untuk persyaratan pindah sekolah Jo, Ma. Kalau Jo pindah ke sekolah tempat Gavriel belajar, Jo janji. Akan membuktikan, kalau Jo tetap bisa juara, Ma." Semoga dengan begini Mama bisa luluh, dan mau mengurus berkas perpindahan sekolah serta syarat-syarat yang harus dipenuhi, jika aku pindah ke sekolah Gavriel.
Aku yakin, meski aku pindah sekolah ke tempat yang elite sekalipun. Aku akan tetap mendapat juara kelas, aku akan belajar lebih giat lagi. Agar Mama dan Papa percaya, kalau aku pintar bukan hanya karena kualitas sekolah yang jelek. Tapi karena memang berkat usahaku sendiri.
Sampai detik ini, Papa tak menanggapi apapun dengan pembicaraanku dan Mama. Papa masih sibuk dengan ponselnya, mungkin dia benar-benar memiliki banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Pantas saja, tadi terlihat masam saat baru pulang dari kantor.
"Mau kamu juara kelas atau tidak, tetap saja Mama gak akan mau. Mama capek ngurus ini itu, kamu pikir Mama hanya ngurusin pendafataran Adik kamu! Kerjaan Mama juga banyak, apalagi di butik. Harusnya, kamu itu gak perlu sok-sokan mau pindah sekolah segala. Sekolah aja yang bener, jadi anak yang pinter. Udah gitu aja, jangan banyak maunya. Dan jangan suka nyusahin orang tua."
Mendengar ucapan Mama tadi, aku sudah kehilangan akal. Alasan apalagi yang harus ku katakan pada Mama, agar bisa pindah sekolah. Ku fikir, membujuk Papa mudah. Gak taunya malah dilempar alih pada Mama. Jelas ini sangat sulit, sudah tau Mama sikapnya selalu begitu padaku. Tapi kenapa Papa malah menyuruhku untuk minta uruskan pada Mama?
Harusnya Papa mengerti tanpa harus dijelaskan Kembali. Kalau Mama selama ini, memang tak pernah mau mengurusiku. Bukan malah lempar tangan begini. Papa dan Mama kaya, tapi sayangnya mereka tidak bisa memenuhi keinginan anaknya yang menurutku tidaklah susah. Hanya saja, mereka memang tak terlalu memperdulikan aku dalam keluarga ini.
Hidupku tidaklah sempurna, meski berkecukupan dan memiliki segalanya. Sekolah diantarjemput, uang saku yang tidak sedikit, dan yang mengurusi keperluan juga ada pembantu khusus. Meski aku sering mengurus sendiri keperluanku untuk sekolah dan belajar. Tapi sayangnya semua itu tak berpengaruh apa-apa, tetap saja aku tak memiliki hal yang anak lain miliki. Yaitu kepedulian dan kasih sayang dari orang tuaku.
"Ya sudahlah, Ma. Aku tak akan minta pindah sekolah lagi ke sekolah Gavriel. Tapi, saat masuk SMP nanti, aku mau sekolah di tempat yang elite ya, Ma. Yang fasilitasnya lengkap, dan kualitasnya bagus. Agar Mama percaya, kalau Jo pinter karena usaha Jo sendiri. Bukan karena kualitas sekolah Jo yang jelek."
Mama membaca majalah. Bahkan ia tak menghiraukan perkataanku tadi, rasanya seperti tak berguna saja, walaupun aku mendapatkan juara kelas setiap periode. Mama dan Papa sama sekali tak merasa bangga padaku, bahkan mereka sangat acuh.
"Itu sih terserah Papamu. Mama gak tau menau tentang itu." Ucap Mama dengan tetap fokus pada majalah yang Mama baca, tanpa melihat kearahku.
Yah, lagi-lagi aku harus menelan kekecewaan atas apa yang Mama katakan tadi. Tak bisakah Mama menghargai usahaku, bahkan usaha yang ku lakukan secuil kukupun rasanya tak ada artinya apa-apa bagi Mama.
"Gimana, Pa?" Ku alihkan pertanyaanku pada Papa. Untuk meminta kepastian atas apa yang ku pinta tadi.
"Kamu belajar saja yang rajin ya, Jo. Papa akan usahakan, untuk saat ini jangan ganggu Papa dulu. Kamu lihat sendirikan, Papa sedang sibuk. Ada beberapa cabang perusahaan yang harus Papa awasi sekaligus. Ini juga demi menghidupi dan membiayai sekolah kamu, lho!"
"Tuh, dengerin apa kata papamu. Orang tua lagi sibuk kerja juga, malah minta yang aneh-aneh."
Baiklah, aku menyerah. Aku tidak mau lagi memperdebatkan perihal pindah sekolah lagi, aku tidak mau dianggap anak yang hanya bisa menyusahkan orang tua. Aku beranjak dari tempat dudukku. Meninggalkan Papa dan Mama yang masih sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing.