Hari-hari ku lewati seperti biasa. Tak ada yang berubah dalam hidupku, aku tetap belajar di sekolah yang sama saar pertama kali masuk sekolah dasar dulu. Karena permintaan untuk pindah sekolah, tidak dituruti oleh Papa dan Mama. Mau bagaimana lagi, jika mereka saja sudah menolak. Aku tak bisa berbuat apa-apa, andai posisiku ditukar dengan Gavriel, pasti sudah dituruti sejak lama. Merengek sedikit saja, dia sudah bisa mendapatkan apa yang dia mau. Tak seperti diriku, meski sudah berusaha keras. Namun, bukan kehendak dari Papa dan Mama, mana mungkin dituruti.
Sudah beberapa bulan aku menjalani aktivitas baru dikelas yang baru pula. Begitu pula dengan Gavriel dan Viola, sekarang ini mereka sudah semakin dekat. Bahkan tak jarang, aku melihat mereka cenderung bersama di rumahku. Kadang juga di rumah Viola.
Bahkan sekarang, Gavriel sudah sangat jarang bermain denganku. Hal itu membuatku semakin merasa sendiri dikeluarga ini. Karena, tak jarang pula Mama melarangku untuk ikut bermain dengan Gavriel dan Viola. Sebab peristiwa jatuhnya Viola ke kolam, beberapa bulan lalu saat dia baru pindah dan menjadi tetanggaku. Hal itu tetap saja diungkit oleh Mama, meski kejadiannya sudah lumayan lama.
Hari ini weekend. Tapi aku tetap bergelut di kamar sendirian. Karena tak memiliki teman untuk diajak bermain. Sejak tadi aku hanya bermain PS sendirian, dan itu membuatku sangat bosan. Biasanya Gavriel akan ikut bermain denganku, meski Mama selalu menyuruhku agar mengalah saat bermain dan membiarkan Gavriel untuk menang. Karena ketika Gavriel kalah, dia akan menangis. Hal itu membuat Mama marah dan tak suka jika aku selalu mengungguli Gavriel, bahkan saat bermain pun.
Pagi-pagi sekali Mama sudah pergi dengan Gavriel tadi. Aku tidak tau mereka mau kemana. Saat ku tanya pada Bi Sri pembantu rumah tangga yang memiliki tugas membereskan rumah, katanya Mama akan berkunjung ke rumah tetangga sebelah. Mungkin yang Bi Sri Maksud ke rumah Tante Ningrum. Selalu saja begitu, aku tak pernah diajak. Meski jaraknya sangat dekat. Jika aku datang sendiri, aku takut sampai disana malah dimarahi oleh Mama.
Papa tetap terlihat sibuk, meski hari ini libur. Rasanya membosankan sekali hari ini, tak tau harus berbuat apa. Tinggal di rumah yang besar tapi kesepian. Ku putuskan untuk kembali ke kamar, saat ku lihat dari tangga tak ada siapapun di rumah ini.
Minggu depan aku harus mengikuti lomba olimpiade SAINS antar sekolah. Aku belum memberi tau Papa dan Mama, karena rencananya aku ingin memberikan kejutan pada mereka nanti. Semoga saja aku bisa mendapatkan juara, agar Papa bisa semakin bangga padaku. Untuk Mama, aku tidak yakin. Kalau dia juga akan bangga jika menang olimpiade nanti.
***
Sudah setengah hari, aku menghabiskan waktu di kamar sendirian. Mama dan Gavriel sepertinya belum pulang, saat aku hendak turun ke bawah untuk makan siang. Tiba-tiba terdengar suara mobil masuk ke halaman depan rumah. Sepertinya ada tamu, tapi siapa ya! Sontak aku menoleh saat tamu itu masuk ke dalam rumah tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, ternyata yang datang adalah Eyang putra dan putri.
Aku pun menghampiri mereka untuk bersalaman, sebagai bentuk sopan santunku sebagai seorang cucu. Ekspresi wajah mereka tampak datar saat aku sudah berada didepan mereka.
Ya, aku tak merasa aneh lagi. Karena memang selama ini, mereka tak pernah menyukaiku. Yang lebih mereka sukai adalah Gavriel, padahal kami sama-sama cucu mereka.
"Mana Mama papamu, Jo. Adikmu juga?" Tanya Eyang putri saat aku sudah menyalaminya terlebih dahulu.
"Mama sama Gavriel lagi main ke rumah Tante Ningrum, Eyang. Kalau Papa dikamar, mungkin sedang istirahat."
Tak ada percakapan lagi antara aku dan Eyang. Mereka duduk di sofa ruang tamu sedangkan aku masih berdiri dihadapan mereka. Aku melihat sesuatu yang dibawa Eyang putri, yang diletakkan disampingnya.
"Eyang,"
Terdengar suara panggilan anak kecil, yang bisa dipastikan itu adalah Gavriel. Saat ku lihat asal suara Gavriel, ternyata dia sudah datang bersama Mama dan juga Viola yang dituntun oleh Mama. Aku tak melihat keberadaan Tante Ningrum, mungkin dia tidak ikut kesini.
"Papa sama Mama sudah lama nyampeknya?"
"Nggak, baru aja nyampek. Ini juga baru duduk kok. Kamu dari mana saja? Dan ini siapa?"
"Aku dari rumah Ningrum, Ma. Temenku pas masih SMA dulu, dia baru pindah kesini. Baru beberapa bulan, rumahnya disebarang jalan rumah ini. Dan ini anaknya, namanya Viola. Gavriel, Vio, salim dulu sana, sama Eyang."
Mama menyuruh mereka untuk meyalami Eyang. Maklumlah, mereka masih sangat dini untuk langsung mengerti, jika ada tamu atau orang yang lebih tua berkunjung. Harus disalami, karena itu merupakan sopan santun. Aku tau itu, saat guru agamaku disekolah, mengajarkan tentang taktakrama terhadap orang yang lebih tua.
"Duh, cucu Eyang udah gede ya! Sekarang sudah masuk SD. pasti seru ya! Disekolah yang sekarang ini?" Eyang putri mencium Gavriel, dan berkata demikian. Setelah itu ia beralih pada Viola. Sama halnya pada Gavriel, Eyang juga mencium Viola. Padahal Vio itu orang baru yang dijumpai, tapi Eyang seperti sudah menganggap Vio sebagai cucunya sendiri. Tapi kenapa, saat padaku Eyang tak pernah bersikap seperti itu.
"Iya, Eyang. Seru banget! Di sekolah Gavriel yang sekarang lebih bagus loh dari yang dulu waktu masih TK. Kalau belajar pakek tablet, terus mainannya juga banyak. Gavriel suka sekolah yang sekarang. Iya kan, Vio?" Viola hanya mengangguk mengiyakan ucapan Gavriel yang duduk dipangkuan Eyang putra, sedangkan Vio duduk di sofa dekat Eyang putri. Mungkin Vio masih merasa malu pada Eyang, Karena mereka orang baru bagi Vio. Sejak tadi, dia tidak berkata apapun, hanya diam dan mengagguk atau menggeleng bila ditanya.
"Oya, Eyang sampek lupa. Ini ada oleh-oleh buat Gavriel, tadi Eyang mampir ke toko coklat kesukaan Gavriel. Kebetulan Eyang beli dua. Jadi bagi sama Vio sama ya!"
Eyang putra menyodorkan oleh-oleh untuk Gavriel. Ia pun menerima dengan girang saat tau, kalau Eyang membelikan coklat kesukaannya. Hanya saja, kenapa Eyang tidak berkata untuk berbagi denganku juga. Aku juga suka coklat, sama halnya dengan Gavriel.
"Yeay, Gavriel seneng. Ini Vio, untuk kamu."
"Makasih, Gavriel."
Pasti coklat itu sangat enak, Gavriel saja memakannya dengan lahap. Tapi kenapa dia tidak berinisiatif sama sekali untuk memberiku sedikit saja. Padahal selama ini, jika aku punya makanan, aku selalu berbagi dengannya.
Vio menoleh ke arahku, dia memotek sedikit coklatnya dan memberikannya padaku.
"Ini untuk, Mas Jo. Coklatnya enak, Vio suka." Aku menerimanya dengan senang hati.
"Makasih, Vio."
Syukurlah, masih ada yang peduli denganku. Aku benar-benar ingin mencicipi coklat yang dibawa Eyang.
"Vio, makan kamu aja ya! Mas Jo kan udah gede, jadi harus ngalah sama yang lebih muda," padahal Vio hanya memberiku sedikit saja, tapi Mama sudah melarangnya untuk berbagi coklat denganku.
"Gak papa kok, Tante. Mommy selalu bilang sama Vio, kalau punya makanan harus saling berbagi. Vio cuma ngasih sedikit sama Mas Jo, gak banyak. Karena coklatnya enak."
Viola saja tau arti berbagi, tapi kenapa Mama melarang? Harusnya Mama juga mengajarkan demikian pada Gavriel, bukan padaku saja. Agar dia tau, caranya berbagi dengan sesama.