Ku lihat siapa yang tadi ku tabrak. Ternyata itu Kakek dan Nenek, aku senang jika mereka ada disini. Setidaknya ada orang yang benar-benar peduli dan menyayangiku selain Papa dan Mama juga Eyang.
"Kamu kenapa, Jo? Kok nangis, sakit ya! Makanya jangan lari-lari begitu, jadi nabrak kan." Ucap Nenek sambil membantuku berdiri, aku menghapus sisa-sisa air mata yang membasahi pipiku.
Aku menunduk saat tau kalau Nenek mengetahui jika aku menangis. Aku ini laki-laki, harusnya bisa kuat dan tidak cengeng. Apalagi usiaku sudah hampir menginjak 9 tahun. Aku merasa malu pada Kakek dan Nenek dengan keadaanku yang seperti ini. Tapi yang ada bukannya berhenti menangis, aku malah semakin terbawa suasana dan ingat tentang perkataan Mama tadi, dan juga ingat bagaimana Papa memberikan harapan palsu padaku.
Air mata terus berjatuhan dari pelupuk mata. Membuatku semakin terlihat cengeng saja, aku bukan lagi anak TK. Mengapa aku harus seperti ini? Harusnya aku bisa mengontrol emosi dan perasaanku, agar tidak terus-menerus mengingat kejadian tadi.
"Jo, kenapa? Kenapa makin jadi nangisnya, mana yang sakit. Bilang sama Kakek ya," aku menggelengkan kepala agar Kakek dan Nenek tidak bertambah khawatir padaku.
Kakek memandang kearah Nenek, begitu pula sebaliknya. Menyiratkan tanda tanya tentang kenapa aku bisa sampai menangis begini? Aku ingin mengatakannya, tapi jika aku katakan pada Kakek dan Nenek, aku takut nanti malah mereka menyalahkan Papa dan Mama. Dan kedua orang tuaku semakin merasa kesal karena aku adukan pada Kakek dan Nenek tentang keputusan mereka tadi.
Selama ini, Papa tidak pernah membantah perkataan Kakek dan Nenek. Karena yang ku tahu, Papa adalah anak yang penurut dan selalu berusaha menuruti semua perintah maupun ucapan Kakek. Apalagi Mama, yang tak mungkin berani melawan mertuanya sendiri.
"Lalu kenapa, Jonathan. Bilang sama Kakek dan Nenek, kenapa kamu menangis? Apa Papa dan Mamamu memarahi kamu?"Aku tetap diam membisu tanpa mau menjelaskan apa pun pada mereka.
"Katakan, Jo. Jangan takut, kalau sampai Mama ataupun papamu memarahi atau semena-mena sama kamu lagi, Kakek dan Nenek akan melindungi kamu. Sekarang katakan pada kami, apa yang sebenarnya tadi?" Ujar Nenek yang berusaha meyakinkanku.
Nenek mengelus pelan kepalaku, membuatku sedikit merasa tenang. Apa mungkin aku katakan saja ya, pada mereka. Lagi pula mereka juga harus tau kalau aku akan ikut olimpiade, jika Papa dan Mama tidak merasa bangga dengan pencapaianku, siapa tau Kakek dan Neneklah yang akan bangga pada apa yang telah ku perjuangkan selama ini.
"Minggu depan Jo ada olimpiade antar sekolah, Nek. Tapi Papa sama Mama gak bisa mendampingi Jo, karena waktunya barengan sama acara keluarga Eyang di puncak. Jo sedih, karena temen-temen Jo yang ikut olimpiade akan didampingi oleh orang tua masing-masing. Tapi Jo, gak ada satupun yang mau nemenin Jo. Karena Papa dan Mama akan menghadiri acara itu juga." Tuturku pada Nenek yang mulai paham dengan apa yang terjadi hingga membuatku menangis.
"Memangnya gak bisa ya, kalau mereka gak ikut acara itu. Anaknya ikut olimpiade bukannya senang dan ditemani, malah ditelantarkan." Tegas Kakek yang seperti tidak suka dengan sikap Papa dan Mama yang mengabaikan keperluan sekolahku.
Semoga saja Kakek tidak memarahi Papa maupun Mama. Bagaimana nanti jika mereka malah memarahiku karena aku mengadukannya pada Kakek dan Nenek.
"Ayo, Jo. Kita temui Papa dan mamamu, biar Kakek yang bicara pada mereka berdua. Kamu jangan sedih lagi ya! Selama ada Kakek, akan dipastikan kalau kamu juga berhak mendapatkan perhatian dari mereka berdua."
Bukannya senang, aku malah ketakutakan dengan pembelaan Kakek. Apalagi saat ini juga ada Eyang, bagaimana kalau sampai mereka cekcok hanya karena masalah olimpiadeku.
"Tapi, Kek. Jo takut nanti Papa dan Mama marah sama Jo, kalau sampai Kakek memarahi mereka. Lagi pula acara itu bukan acara seperti biasanya, Kek. Jadi Papa sama Mama harus hadir, begitu pula dengan Gavriel."
"Lantas kamu sendirian yang tidak akan menghadiri acara Keluarga itu? Kamu dibiarkan sendiri ikut olimpiade sedangkan mereka senang-senang tanpa memperdulikan kamu, begitu?" Kali ini Suara Kakek agak meninggi. Aku saja yang mendengarnya jadi tidak berani menatap Kakek.
Aku bukannya mau ditinggal sendiri lagi seperti kemarin, tapi mau bagaimana lagi. Jika keadaanya sudah seperti ini. Lebih baik aku menahan diri saja untuk tidak memaksa apa pun pada Papa dan Mama. Aku juga tidak mungkin bisa membatalkan diri untuk tidak ikut olimpiade, karena semua itu sudah ketentuan dari sekolah.
"Jo, Nenek ngerti. Kamu pasti sangat ingin ikut dalam acara itu, bukan? Hanya saja kamu tidak bisa berbuat banyak untuk ikut, karena kamu juga ada keperluan di sekolahmu. Tapi sebagai orang tua, Papa dan Mamamu harus juga memikirkan kamu, Sayang. Bagaimana perasaan kamu, jika yang lainnya didampingi oleh orang tua masing-masing. Sedangkan kamu hanya sendiri. Kakek hanya tidak ingin kamu menjadi anak yang tanpa orang tua, Jo." Ujar Nenek yang mencoba memberi pemahaman padaku.
"Kakek dan Nenek gak perlu khawatir. Karena Papa akan menitipkan Jonathan pada guru pendamping nanti, jadi kalau butuh apa-apa, Jo tinggal bilang sama guru Jo saja kok, Kek."
Ikhlas dan menerima keadaan mungkin lebih baik. Aku tidak ingin mengacaukan acara keluarga itu, biarlah aku yang harus bersabar dan menahan diri lagi. Setelah kemarin aku juga ditinggal liburan oleh keliargaku sendiri. Dan saat ini juga, hanya aku yang tidak ikut ke acara keluarga itu.
Kakek menghel nafas panjang mendengar penuturanku. Aku tahu, maksud Kakek itu baik. Ingin memberikan yang terbaik. Agar aku diperlakukan baik oleh kedua orang tuaku, agar aku dipedulikan layaknya Gavriel. Agar aku mendapat hak juga sebagai anak Papa dan Mama. Tapi dari pada harus ada percekcokan hanya karena aku, lebib baik seperti ini saja. Toh kapan-kapan acara keluarga itu pasti akan diadakan lagi, dan aku bisa ikut juga. Karena Eyang juga bilang, kalau minggu depan adalah pertama kalinya acara itu diadakan, dan suatu waktu pasti diadakan kembali.
Sedangkan untuk olimpiade, belum tentu aku bisa ikut lagi. Karena pastinya memilih anak yang lebih berprestasi dari pada aku. Setelah dirasa lebih tenang, aku menyeka air mata yang tadi jatuh sebelum menjelaskan kebenaran pada Kakek dan Nenek.
"Kakek, Nenek, Jo main dulu ya sama Gavriel dan Vio didepan. Maaf juga, tadi Jo gak sengaja nabrak Kakek, gara-gara lari-larian dan gak liat kearah depan."
Aku berpamitan pada kedua Kakek dan Nenek. Agar mereka tidak menanyai aku lagi tentang kejadian tadi. Dan lagi agar mereka tidak mempermasalahkan soal aku yang tidak bisa didampingi oleh Papa san Mama saat olimpiade nanti.
"Ya sudah, jangan nakal ya! Jaga adik-adikmu agar tidak bertengkar," ucap Kakek padaku.
"Iya, Kek. Pasti Jo akan jaga mereka kok. Oya, didalam juga ada Eyang loh! Mereka sudah agak lama sampainya."
Tidak ada tanggapan dari Kakek dan Nenek. Mereka hanya mengangguk bersamaan. Aku pun memilih untuk menghampiri Gavriel dan Vio, sudah lama juga aku tidak bermain bersama mereka. Mumpung ada kesempatan aku akan ikut bergabung dengan mereka, siapa tau aku juga bisa menjadi teman bermain mereka mulai dari sekarang.