Dengan sedikit keraguan, aku mendekat ke arah perbincangan Papa, Mama dan juga Eyang. Jujur aku sangat takut, untuk mengutarakan niatku pada mereka. Tapi jika tidak ku katakan dari sekarang, sudah pasti akan jadi masalah nantinya. Dan lagi, bisa saja Papa ataupun Mama akan marah besar padaku.
"Pa, Jo mau ngasih tau sesuatu." Seketika percakapan di ruang tamu terhenti karena terpotong olehku.
"Mau ngasih tau apa, Jo?" Tanya Papa, semua mata memandang ke arahku. Raut muka kedua Eyangku terlihat datar, tak bereskpresi apapun saat aku berkata demikian pada Papa.
Hatiku mulai berdegup kencang, antara takut dan bingung. Entah respon apa yang akan aku dapati dari mereka semua. Papa masih menunggu jawabanku, dengan penuh harapan semoga saja apa yang akan aku dapat nantinya bukanlah sebuah amarah.
"Minggu depan Jo ada lomba Olimpiade, Pa. Dan Jo butuh ditemani oleh Papa maupun Mama. Ada beberapa temen Jo yang ikut juga, dan mereka juga akan didampingi oleh orang tua mereka masing-masing."
Mama menatapku sinis. Aku tahu, mungkin Mama tidak suka jika harus mendampingiku. Jika Mama tidak mau, tidak apa-apa. Asal ada Papa saja, sudah cukup bagiku. Selama ini yang mau menuruti keinginanku hanya Papa, jadi aku tidak mungkin memaksa Mama untuk menyetujui permintaanku. Jika aku memaksa, pasti Mama akan marah.
"Minggu depan itu, tepatnya hari apa, Jo?" Tanya Papa lagi, untung saja Papa bisa menanggapi dengan santai. Aku kira tadi Papa akan langsung menolak permintaanku.
Tapi aku belum tau, apakah setelah ku sebutkan harinya, Papa akan tetap memenuhinya. Bagaimana jika tidak? Aku menghela nafas, berusaha untuk tenang dengan tanggapan Papa selanjutnya.
"Tepat weekend nanti, Pa."
"Apa?" Serentak Eyang dan Mama kaget dengan apa yang aku sampaikan tadi. Aku menelan saliva saking kagetnya mendegar ucapan mereka secara bersamaan.
"Gak bisa, Mama sama Papa gak akan nemenin kamu, Jo. Kami ada acara, dan acara ini sangat penting untuk keluarga kita. Kamu sendirian saja, jika memang akan ikut olimpiade itu. Kami juga gak bisa bantu apa-apa kok, meski ikut mendampingi."
Padahal Papa belum menanggapi, tapi Mama sudah memutuskan terlebih dahulu. Jika memang Mama tidak mau, tidak apa-apa. Tapi jangan dengan Papa, setidaknya salah satu dari mereka harus mendampingiku.
"Ma, jangan bicara seperti itu. Kasian Jo, Ma. Kalaupun memang Mama tidak bisa ikut mendampingi Jo, biar Papa sendiri saja yang nantinya ikut ke Olimpiade itu."
Ucapan Papa tadi membuat hatiku sedikit tenang. Karena ternyata, Papa lebih memilih menemaniku dari pada acara keluarga itu. Aku juga ingin ikut serta dalam acara itu, tapi mau bagaimana lagi, jika jadwalnya saja bentrok dengan Olimpiade yang akan aku ikuti.
"Gak bisa gitu dong, Mas. Lebih dulu Papa sama Mama mengutarakan tentang acara keluarga yang akan dilaksanakan minggu depan. Dan kamu tadi juga menyetujui untuk hadir, jangan asal ambil keputusan dengan lebih mengutamakan olimpiadenya Jo dong! Kalau begini sama saja kamu tidak menghargai kedua orang tuaku."
Mengapa Mama harus berkata demikian? Aku tahu, aku memang bukanlah anak yang penting seperti Gavriel untuk Mama. Tapi niatan Papa untuk mendampingiku, sama sekali tidak ada kaitannya dengan menghargai atau tidak pada Eyang.
Jika seperti ini, Papa akan merasa bersalah dan mungkin akan menolak untuk mendampingiku. Lagi pula jika olimpiadenya cepet selesai, aku dan Papa bisa segera menyusul kok. Meskipun sangat tidak mungkin dilakukan, karena jarak tempuh yang cukup jauh.
"Benar kata Sekar, Yasa. Apalagi ini masih perdana dilaksanakannya. Jadi kamu sama Sekar dan juga Gavriel wajib menghadiri, andai sudah berulang kali dilaksanakan. Sudah pasti tak apa," eyang putra menyetujui perkataan Mama tadi. Mereka semua memang kompak, jika itu berhubungan denganku.
Aku menunduk dan tidak berani untuk melihat ke arah merek. Apalagi aku merasa tatapan Eyang dan Mama begitu tajam padaku, tersirat rasa tidak suka karena gara-gara aku, Papa jadi ingin membatalkan untuk menghadiri acara keluarga besar Eyang.
"Tapi, Pa. Jika salah satu diantara aku dan Sekar tidak ada yang hadir, bagaiamana dengan Jonathan? Kasian dia kan, teman-temannya ditemani oleh orang tua masing-masing. Lalu dia disana sama siapa?"
"Pasti ada guru yang mendampingi, Yasa. Kamu pasrahkan saja dia pada guru pendampingnya nanti, lagi pula olimpiade ini masih tingkat rendah bukan? Apa benar begitu, Jo?" Tanya Eyang putra padaku.
Aku mendongak sedikit untuk melihat ke arah Eyang putra dan lainnya. Memang benar, olimpiade ini hanya antar sekolah saja. Tapi jika bisa masuk final, akan dikirim ke tingkat kabupaten dan seterusnya.
"Iya, Eyang."
"Nah, benar kan! Kata Papa, jadi kamu tak perlu terlalu khawatir jika tidak mendampingi Jonathan saat olimpiade nanti."
Aku menoleh ke arah Papa yang mencoba menatapku, seperti sedang berfikir keputusan apa yang akan Papa ambil selanjutnya. Menghadiri acara keluarga, atau mendampingi ku selama olimpiade.
"Ayolah Pa, sekali saja Papa lebih menuruti kemauanku. Sekali ini saja, Pa. Jika Papa bersedia, Jo akan buktikan, kalau Jo bisa mendapatkan juara dan maju ke babak selanjutnya." Batinku dalam hati. Aku hanya bisa menggerutu dalam benakku saja, jika ku katakan secara langsung. Pasti akan mendapatkan perlawanan dari Mama.
"Kamu gak papa kan, Jo. Kalau Papa gak bisa ikut mendampingi kamu saat olimpiade? Benar kata Eyang tadi, olimpiadenya kan masig tingkat dasar. Jadi pesertanya sudah pasti tidak begitu banyak, jika nanti kamu bisa masuk babak final atau selanjutnya. Papa janji, akan nemenin kamu ya!"
Ya Tuhan... Ternyata Papa sama saja, ia malah terhasut bujukan Eyang.
"Tapi, Pa..."
"Gak ada tapi-tapian lagi, Jonathan. Itu sudah menjadi keputusan Papa, jangan memaksa lagi. Sekarang cepat kamu pergi dari sini, pergi main sana sama Gavriel dan Vio. Tapi awas ya, kalau sampai kamu ceroboh, dan mencelekai mereka lagi."
Mama memang tak berperasaan sama sekali padaku, padahal aku belum sempat melanjutkan perkataanku tadi. Tapi Mama sudah memotongnya, dan mengusirku. Biasanya juga aku tidak diperbolehkan untuk bermain dengan Gavriel dan Vio, sekarang malah disuruh. Karena tidak mau membahas tentang olimpiadeku lagi.
Aku berlari menuju halaman depan, tidak terasa mataku ternyata tidak bisa berbohong. Aku sedih dengan perlakuan Mama padaku, aku sedih karena Papa tidak bisa mendampingiku, aku sedih karena meski aku mengikuti olimpiade, tidak ada yang merasa bangga padaku. Termasuk juga Papa.
Tidak ada gunanya juga aku berjuang keras selama ini, mempertahankan prestasi yang ku miliki. Jika kedua orang tuaku saja tidak pernah merasa bangga atas perjuanganku.
Saking pedihnya rasa sakit karena Papa dan Mama juga Eyang. Aku sampai tidak melihat ke arah depan dan menabrak seseorang hingga terjatuh ke lantai. Pantatku sakit, tapi tidak seperti sakit kala kedua orang tuaku tidak memperdulikanku.