Awalnya aku sangat bersemangat bersekolah hari ini, tapi karena tau kalau Gavriel tak satu sekolah denganku, aku jadi tak bersemangat seperti pagi tadi. Aku menjalani hariku seperti biasa di sekolah, belajar dan bermain dengan teman-teman sekelasku.
Hingga tiba saat pulang sekolah, semua teman-teman termasuk aku berlarian keluar dari kelas. Menuju gerbang sekolah dan menunggu dijemput oleh orang tua masing-masing, ku lihat kearah kiri dan kanan, mencari keberadaan Pak Joko, sopir pribadi yang bertugas untuk mengantar dan menjemput aku dan Gavriel sekolah. Tapi tak ku temui, biasanya Pak Joko selalu tepat waktu. Apa karena sekarang Gavriel juga sudah masuk sekolah dasar? makanya menjemput dia terlebih dahulu.
Beberapa menit pun berlalu, akhirnya pak Joko datang juga. Aku pun masuk kedalam mobil, disana sudah ada Gavriel dan Mama. Sekaligus Vio dan Tante Ningrum.
"Maaf ya, Jo! Kamu jadi menunggu agak lama tadi. Soalnya Pak Joko jemput Vio sama Gavriel dulu tadi."
"Gak papa kok, Tante. Gak terlalu lama juga, Jo juga baru keluar tadi." Tante Ningrum tersenyum padaku. Dan aku pun membalasnya, tak ada percakapan lagi setelah itu.
"Mommy, besok kita berangkat sekolahnya sama Gavriel, ya!" Ucapab Vio memecah keheningan didalam mobil yang kami kendarai, sepertinya dia mulai akrab dengan Gavriel.
"Loh, kalau pagi Vio berangkatnya sama Papa, Sayang! Kenapa minta berangkat sama Gavriel?"
Mereka berdua berhadapan dan saling melempar tatapan, pasti sangat seru sekali di sekolah mereka. Tak seperti di sekolahku.
"Lebih seru, Mommy."
"Kalau Vio mau, gak papa kok, Ningrum. Aku gak keberatan sama sekali. Malah akan lebih rame, kalau Vio ikut dengan kami."
Pasti Mama senang, karena Vio meminta untuk berangkat sekolah dengan Gavriel. Aku pun tak keberatan, siapa tau, aku juga akan dekat dengan Vio dan berteman dengannya, jika sering bersama.
"Akan ku bicarakan terlebih dahulu ya, Sekar. Takutnya malah gak dibolehin, dan ngerepotin kalian."
Mama menyetujui permintaan Tante Ningrum. Aku tau, Mama pasti tak akan merasa direpotkan, jika Vio berangkat dengan Gavriel.
***
Siang ini, aku ingin menunggu Papa pulang. Dan mencoba untuk meminta, agar aku dipindahkan ke Sekolah yang sama dengan Gavriel dan Viola. Aku ingin merasakan sekolah yang fasilitasnya lengkap, sama dengan mereka. Aku yakin, itu bukan hal sulit untuk Papa lakukan. Lagi pula, aku masih kelas 3 SD. Jadi masih banyak waktu untuk menuntut ilmu di tempat yang sama dengan Gavriel dan Viola.
Semoga saja Papa mau memenuhi keinginanku. Selama ini, aku selalu di sekolahkan di tempat yang menurutku tak sesuai dengan kedudukan keluargaku. Papa dan Mama kaya, tapi aku sebagai anaknya selalu saja di sekolahkan di sekolah yang biasa. Bukan di sekolah elite, dan itu hanya mereka peruntukkan untukku. Tidak pada Gavriel.
Apa-apa selalu Gavriel diberikan yang paling terbaik. Sedangkan aku, hanya biasa saja. Gavriel dimanjakan, tapi aku tidak. Mengapa aku harus terlahir terlebih dahulu sebelum Gavriel? Mengapa bukan aku saja yang menjadi Adik, kenapa harus Gavriel?
Ku pandangi foto keluarga yang diambil beberapa tahun lalu, saat aku dan Gavriel masih berusia balita. Saat itu, aku belum mengingat apapun tentang kasih sayang Papa dan Mama. Tapi, aku selalu bersyukur bisa memiliki keluarga yang utuh seperti keluargaku. Meski, seringkali aku mendapatkan perlakuan tak adil dari Mama, kadang dari Papa juga.
Suatu saat nanti, aku berjanji. Akan membuktikan pada Papa dan Mama, bahwa aku juga bisa menjadi anak yang paling mereka sayangi. Apapun akan ku lakukan, demi membuat mereka bangga padaku.
Suara mobil Papa sudah terdengar memasuki halaman rumah, lebih baik aku ke bawah, dan mengatakan apa yang telah ku fikirkan sejak siang tadi.
"Papa..." Aku berlari menuju arah Papa yang sudah turun dari mobilnya.
Papa menggulung lengan baju, hingga siku. Papa terlihat lelah setelah datang dari kantor hari ini, apakah dia akan mendengarkan serta menyetujui permintaanku, ya?
"Sini, Pa. Jonathan bantu."
Ku ambil tas yang biasa Papa bawa ke kantor. Ia menyerahkan tas itu dengan raut wajah yang masam, terlihat sekali, kalau saat ini mood Papa sepertinya kurang baik. Apa ku urungkan saja ya niatku? Aku takut Papa jadi marah padaku.
Papa terus saja berjalan masuk menuju kedalam rumah, tanpa memperhatikanku lagi. Padahal, aku sudah berusaha mencuri perhatian Papa. Namun, tetap saja Papa acuh padaku.
Ah, sudahlah. Mungkin setelah Papa selesai mandi saja, aku membicarakan keinginanku pada Papa. Siapa tau, setelah mandi, Papa akan kembali fresh. Dan tidak masam lagi seperti tadi.
***
Setelah menunggu sekian lama di ruang tengah sambil menonton televisi, akhirnya Papa turun juga dengan penampilan yang sudah agak fresh.
"Mana Mamamu, Jo?" Tanya Papa yang sudah duduk didekatku.
"Gak tau, Pa. Tapi sepertinya tadi pergi sama pak Joko, mungkin pergi ke butik." Papa memainkan ponselnya, apakah saat ini waktu yang tepat untuk aku mengatakan keinginanku pada Papa?
"Pa, Jo boleh minta sesuatu gak?" Papa tetap fokus pada ponselnya.
"Mau minta apa, Jo? Mainan baru atau apa? Asal jangan yang yang susah-susah." Tanpa melirik sedikit pun kearahku, Papa tetap saja sibuk dengan ponselnya.
"Bukan, Pa. Jo gak mau itu semua kok."
"Lalu?"
"Mmm_ boleh gak, Pa. Kalau Jo pindah sekolah ke tempat Gavriel."
Seketika Papa berhenti memainkan ponselnya, dan menatapku dengan mengerutkan dahi. Mungkin Papa merasa heran dengan pintaku, yang secara tiba-tiba minta pindah sekolah ke sekolah Gavriel.
"Kenapa mau pindah? Kamu sudah kelas 3 loh! 3 tahun lagi udah lulus,"
"Mmm_ aku pengen sekolah bareng Gavriel, Pa. Aku juga pengen ngerasain sekolah elite kayak Gavriel, yang fasilitasnya lengkap. Kualitasnya juga bagus, gak kayak sekolah Jo yang sekarang, Pa."
"Jo, semua sekolah itu sama. Gak ada bedanya, sama-sama tempat untuk belajar. Jadi, gak perlulah pakek pindah sekolah segala."
"Tapi, Pa. Dari dulu, Jo sekolahnya di tempat yang biasa aja. Sedangkan Gavriel, selalu di sekolah yang elite. Jo juga pengen ngerasain, sekali saja sekolah di tempat yang elite kayak Gavriel. Kenapa sih, Pa? Sekolah kami selalu dibeda-bedakan. Kenapa selalu Gavriel yang diberikan tempat terbaik? Sedangkan Jo tidak."
Sekilas aku melirik pada Papa, menunggu repon apa yang akan Papa berikan padaku.
"Gavriel masuk sekolah yang elite, itu karena kemauan Mama Jo. Tak ada sekalipun niat Papa untuk membedakan kamu dan Gavriel, lagi pula kalau masuk sekolah elite itu, banyak hal yang harus dipersiapkan, persyaratannya juga sangat banyak. Makanya, Papa dulu masukin kamu di sekolah yang biasa, karena lebih mudah cara masuknya."
"Kalau memang banyak persyaratan yang harus dilakukan, kenapa Gavriel gak masuk di sekolah Jo saja, Pa. Kata Papa tadi, lebih mudah cara masuknya."
Harusnya jika memang sekolah yang Gavriel masuki saat ini persyaratan masuknya sulit, lebih baik didaftarkan di sekolahku saja. Papa dan Mama selalu mengusahakan yang terbaik untuk Gavriel, sedangkan untukku. Sama sekali mereka tak mengusahakan yang terbaik. Cukup dengan kualitas yang pas-pasan saja.
"Yang mengurus semuanya Mama, Jo. Bukan Papa, jadi Papa gak tau menau tentang persyaratan itu. Toh, menurut Papa, semua sekolah itu sama, gak ada bedanya."
Selalu saja begitu, aku tak pernah bisa mendapatkan apa yang aku inginkan. Padahal aku hanya ingin membuktikan kalau aku, juga bisa berprestasi. Meski itu di sekolah elite pun. Aku ingin membuktikan pada Mama, kalau aku bukan hanya bisa mendapat juara karena kualitas sekolah yang jelek. Tapi, di sekolah yang elite, akan ku buktikan juga, kalau aku bisa mendapat juara juga setiap semesternya.