-Terjebak Menjadi Simpanan-
Mahesa keluar dari mobilnya, melangkah lebih cepat ketika para maid membukakan pintu utama. Roy mengikuti di belakang. Ia tau saat ini tuannya tengah menahan marah dengan berita kedatangan Nyonya Monica ke kediaman pribadi ini.
Mansion yang merupakan tempat sakral bagi sosok Mahesa Danaswara.
"Mahesa!"
Wanita cantik dengan rambut di tata rapi itu berdiri dari sofa mewah, tempat ia duduk sebelumnya.
"Mau apa kau kemari." Mahesa berseru setengah kasar.
"Apa maksudmu. Memangnya ada yang salah saat istrimu sendiri datang ke kediaman suaminya?"
"Kau tau apa maksudku, Monica. Mansion ini adalah milikku. Tidak boleh ada satupun yang diizinkan masuk kecuali sudah mendapat persetujuan dariku."
Mahesa memiliki kediaman pribadi. Tempat dirinya tinggal sendirian dengan kata lain.Bukan tempat orang tuanya tinggal, bukan mansion utama. Tapi tempat ini tidak kalah dari mansion utama keluarga Danaswara.
Tidak ada yang berani masuk tanpa izin termasuk istrinya sendiri.
Monica mengepalkan kedua tangannya. Tatapan para maid yang tidak jauh dari mereka tampak bisa di tebak.
Beberapa maid kediaman suaminya itu tidak ada satupun yang berpihak padanya. Padahal ia jelas-jelas istri dari seorang Mahesa Danaswara. Nyonya masa depan yang akan memimpin kekayaan Danaswara grub bersama suaminya.
Monica benar-benar dijatuhkan di hadapan para maid.
"Kau memperlakukanku seperti orang lain saja. Padahal aku ini istrimu!" Monica menahan air mata kesalnya.
Sementara Mahesa menghela kasar. Ia tidak termakan sama sekali dengan air mata buaya yang sang istri mainkan.
"Katakan apa maumu datang kemari. Aku sibuk."
"Mahesa!! Kau sudah keterlaluan. Kau pikir kau akan baik-baik saja jika aku mengatakan pada semua orang jika hubungan kita tidak sebaik yang orang pikirkan."
Mahesa terkekeh pelan. Seolah baru saja menemukan sesuatu yang lucu.
Laki-laki itu berjalan pelan, sebelum duduk di sofa yang jaraknya paling jauh dari sang istri.
"Kau ingin bertingkah eh? Bukannya selama ini aku yang mengemis agar orang lain tidak mengetahui betapa buruknya hubungan kita."
Degh....
"Kau!"
Monica menggeram pelan.
"Katakan apa yang kepentinganmu sampai nekat masuk ke dalam kediamanku. Jangan banyak basa basi. Aku bukan orang yang ramah perihal waktu."
Monica menghela nafas pelan. Berusaha agar emosinya tidak terpancing. Wanita itu berdehem.
"Keluarga Aurora akan mengadakan pesta pertunangan untuk keluarag di pulau pribadi pekan depan."
"Lalu?"
"Aku ingin kau mengosongkan waktu untuk datang. Akan sangat buruk jika keluarga Aurora melihat kita tidak harmonis."
Mahesa mengangguk. Ia juga berpikir hal yang sama. Aurora Sebastian adalah adik dari sahabatnya Rian. Selain itu Diamond Hospital sangat sayang untuk dilepas jika hubungan mereka memburuk.
Pernikahan ya pernikahan, tapi bisnis tetap akan jadi bisnis.
"Akan ku pikirkan."
"Harus Mahesa. Aku tidak ingin dicap sebagai perempuan yang tidak bisa mengambil hati suaminya sendiri."
"Memangnya aku peduli."
"Mahesa!"
"Apa itu saja? Jika sudah silahkan angkat kaki dari kediamanku."
Monica mendengus pelan. Wanita itu menggigit bibir bawahnya, menahan kekesalan yang luar biasa.
Selama ia hidup hanya Mahesa lah yang memperlakukannya dengan kasar. Laki-laki itu bahkan tidak pernah memperlihatkan ketertarikannya sama sekali. Padahal di luar sana banyak laki-laki yang menganti hanya untuk sekedar bertegur sapa dengannya.
"Kau masih diam. Apa kau tidak punya telinga?"
"Tunggu." Monica mencegah sang suami yang sudah berdiri. Nyaris meninggalkannya.
"I-ibu bicara denganku beberapa waktu yang lalu."
Mahesa mengangkat alisnya pelan. Menunggu sang istri melanjutkan ucapannya.
"Ini tentang hubungan kita. Ibu meminta-"
"Tidak akan ada cinta dalam kehidupan rumah tangga kita. Bukahkan kau sudah menyetujuinya." Mahesa memotong ucapan sang istri. Laki-laki itu seolah mengetahui kemana arah pembicaraan ini.
"Bukan itu. Mahesa dengar dulu. Ibu ingin kita memiliki anak. Kau tau kan, pewaris Danaswara selanjutnya harus berasal dari keluarga ini, dan kau satu-satunya putra mereka."
"Jadi tolong, kesampingkan egomu."
Mahesa terdiam beberapa saat. Rautnya tidak berubah sama sekali. Tetap datar tanpa emosi. Hanya helaan napas pelan yang terdengar berhembus panjang.
"Itu saja?"
Monica mendongak. Ada terbesit senyum tipis di bibir ketika mendengar respon sang suami.
"Kau setuju?"
"Tidak!"
Degh...
"Mahesa!"
"Tidak ada anak diantara kita. Kau pikir aku tidak tau apa yang ada di dalam otak kotormu itu." Ia berseru ketus. "Jangan harap aku akan terpengaruh. Padahal menikah denganmu saja sudah keuntungan besar bagi keluarga Atmaja. Jadi jaga sikapmu, jangan banyak bertingkah."
"Aku akan mengadukan semua pada ibumu. Dia akan menindak sikap putranya yang terlalu egois ini." Monica menunjuk kasar pada Mahesa. Emosinya sudah di ambang batas.
"Kau berani mengancamku." Mahesa menyipitkan matanya.
"Itu hakku. Aku istrimu ingat itu. Suka atau tidak suka, nyatanya tetap namaku yang tertera sebagai nyonya Danaswara Grub bukan wanita asing yang sudah membusuk di dalam tanah."
Prank...
Mahesa melempar vas bunga di depannya. Matanya melotot marah. Nafasnya naik turun tidak stabil.
"Jangan berani-berani mengungkit tentang masa lalu Monica Atmaja! Aku tidak akan mengampunimu lagi di lain waktu. Camkan itu baik-baik."
"Ma-"
"Pergi!"
"Ta-tapi-"
"AKU BILANG PERGI!!! KAU TIDAK PUNYA OTAK HAH!! MENYINGKIR DARI KEDIAMANKU, WANITA RUBAH!"
Monica tidak bisa berkata-kata lagi. Wanita itu hanya menghela nafas panjang. Mengambil tasnya sebelum melangkah keluar dari pintu utama.
Mahesa masih berdiri ditempat yang sama. Laki-laki itu mengepalkan kedua tangannya dengan kesal.
"Tuan, saya panggilkan dokter untuk memeriksa tangan anda." Roy berseru.
Mahesa langsung tersadar. Laki-laki itu melirik tangannya yang mengeluarkan sedikit darah. Ia meringis pelan, bahkan rasa sakitnya juga baru ia sadari.
Mahesa duduk kembali ke kursinya. Manik hitam itu menatap keadaan di sekitarnya yang penuh dengan pecahan keramik dari vas bunga yang ia lempar.
"Tuan?"
"Tidak perlu. Ini bukan luka besar," serunya.
Ia hanya emosi sesaat. Padahal biasanya ia tidak mudah terprovokasi. Miris rasanya melihat fakta jika sosok di masa lalu itu masih memberi dampak yang sama padanya.
"Saya mengerti tuan. Ada yang anda butuhkan?"
Mahesa menggelengkan kepalanya. Ia memejamkan matanya beberapa saat sebelum mendongak.
"Roy. Menganai wanita itu.Wanita yang tidur denganku. Kau bilang kalian akan bertemu lagi untuk membahas kompensasi?"
Roy terdiam beberapa saat sebelum ia mengangguk membenarkan.
"Kalau begitu ubah semua persyaratan dan perjanjian yang sebelumnya. Ubah juga tempat perjanjiannya menjadi tempat privat."
"Maksud tuan?"
"Aku ingin mengajukan beberapa hal pada wanita itu. Aku sendiri yang akan bertemu dengannya. Jadi atur waktunya secepat mungkin."
Roy yang mengerti dengan jelas kemana arah pembicaraan sang majikan langsung mengangguk setuju.
"Akan saya atur sesegera mungkin."
"Kalau bisa besok. Aku ingin menyelesaikannya sebelum pesta pribadi pertunangan pasangan baru itu nanti."
To be continued....