-Terjebak Menjadi Simpanan-
Ting ...
Pintu lift terbuka.
"Mari Nona, saya akan menunjukkan jalan."
Kirana menganguk. Wanita itu menarik napas panjang, rasa syok tadi masih ia rasakan sebelum melangkah mengekori langkah sekretaris Roy yang berjalan mendahuluinya di depan.
Sekretaris Roy berhenti di sebuah pintu. Kirana mengerutkan alisnya. Ia tepat berada di belakang Roy.
Wanita itu menghela napas panjang. Pandangannya mengamati keadaan sekitar. Warana dindingnya sangat cantik, elegan dengan di dominasi warna gelap, emas dan putih gading.
'Apa tempat ini akan menjadi miliknya?'
'Perbuatan apa yang ia lakukan di kehidupan sebelumnya sampai mendapatkan keberuntungan ini.
Sekretaris Roy meletakkan kartu kunci sebelum kemudian membuka pintunya.
"Masuk Nona."
Kirana menganguk paham. Manik hitamnya menatap keadaan sekirtar. Ruangannya luas. Rapi den penuh dengan furnitur mewah di beberapa sudut ruangan.
Dindingnnya berwarna putih gading dengan beberapa lukisan yang tergantung di atasnya.
"Tuan, Nona Kirana sudah datang."
Suara sekretaris Roy membuat Kirana tersadar dari lamunannya sendiri.
Wanita itu menoleh, sosok Mahesa berdiri di depan sofa dengan tangan di lipat di dada. Matanya tajam, menatap lurus ke arah Kirana.
"Duduk," serunya.
Kirana langsung duduk. Perasaannya langsung berubah kacau ketika bertemu dengan sosok Mahesa Danaswara.
Ada tekanan tersendiri yang di pancarkan oleh laki-laki itu untuk sekelilingnya.
"Sebelum aku memulai peraturan kita ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan."
Kirana diam memperhatikan. Seolah menegaskan jika ia setuju.
"Apa kau sudah mengatakan kesepakatan kita pada keluargamu?"
"Tidak."
"Bagus. Karna kesepakatan kita hanya diketahui olehmu, aku dan Roy. Jika ada diluar sana yang mengetahuinya aku anggap kau melanggar perjanjian kita."
Glukk...
Kirana meneguk ludahnya dengan susah payah. Wanita itu merasa perkataan Mahesa persis seperti bentuk ancaman tersirat.
Kirana mengedip-kedipkan matanya beberapa kali dan mengangguk setuju.
"Peraturan pertama. Kita akan tinggal di sini."
"Tunggu, apa harus?"
"Kau pikir aku sedang main-main?"
Kirana mengeling. Ia sedikit takut dengan nada bicara laki-laki itu.
"B-bukan begitu, hanya saja ada kakaku di rumah. Jika aku tinggal di sini dia akan curiga. Saat ini aku bisa menemui tuan, hanya karna kakaku sedang dinas keluar kota."
Mahesa menghela napas pelan. "Berapa lama kakakmu dinas?"
"Dua hari."
"Kalau begitu, kau disini selama dua hari. Untuk selanjutnya aku akan memangilmu lagi ketika aku memutuskan untuk menginap."
"Baik, tuan."
"Kedua, saat kita tinggal bersama jangan pernah mengurusi kehidupanku. Jangan pernah memanggilku saat aku sedang berada di ruang kerja, dan jangan sekalipun berani membangunkanku ketika aku tidur, dan juga jangan pernah menghubungiku kecuali ada hal yang penting. Kau paham."
"Terakhir." Mahesa mengehetikan ucapannya beberapa saat. Manik hitam itu meliriknya jauh lebih dalam di bandingkan biasanya.
"Apa kau tau siapa istriku?"
Kirana mengangguk, "Nyonya Monica."
"Yah. Dia kakak dari mantan kekasihmu."
Kirana diam. Ia tidak berusaha membuka suara saat itu.
"Ini yang terpenting dari kesepakatan kita. Jika kau ingin balaes dendam, maka aku juga. Jadi, jika suaru hari kau berhadapan dengan istriku, maka bersikaplah seolah kau wanita yang paling di cintai olehku. Jangan pernah mengalah walau dia membentakmu."
"Ingat, jika melawan wanita itu maka aku akan selalu mendukungmu. Jangan segan-segan memperluhatakn kekuatanmu sebagai seorang wanita yang kucntai."
****
Kirana terbangun oleh cahaya matahari yang menerobos di sela-sela gorden kamarnya. Matanya berkedip-kedip menyesuaikan beberapa saat sampai manik hitam itu terbuka sepenuhnya.
Pandangan pertama yang ia tangkap adalah langit-langit kamar yang tinggi. Dinding berwarna putih gading yang elegan dan beberapa furnitur mewah yang jelas bukan berada di dalah satu sudut kamarnya yang dipenuhi buku lama.
Degh...
Kirana langsung menyadari jika saat ini ia berada di Penthouse bersama Mahesa Danaswara.
Wanita itu repkles mengamati penampilannya di balik selimut.
"Masih lengkap," gumamnya lega.
Ia masih mengenakan pakaian tidur tertutup seperti terakhir kali sebelum ia tidur di kamar ini. Sepertinya Mahesa menepati janjinya untuk tidak menyentuhnya malam ini.
Kirana duduk, ia menoleh ke samping. Tempat itu kosong. Tidak ada sosok Mahesa di seluruh kamar ini. Bahkan di kamar mandi, tidak ada suara percikan air yang menandakan tidak ada siapapun di sana.
"Apa dia sudah pergi?"
Kirana mengeling, ia langsung bangkit. Membersihkan diri sebelum beranjak dari dalam kamar.
Ketika ia membuka pintu kamar. Aroma kopi tercium. Kirana mengerutkan alisnya. Tidak ada yang menyeduh kopi. Kecuali ada orang lain di dalam Penthouse ini.
Wanita itu beranjak mendekati. Perlahan, mengingat rasa takut masih ada di dalam benaknya.
Toh, dia penghuni baru di tempat ini.
Siapa yang tau jika Penthouse mewah ini dulunya mungkin jadi salah satu tempat angker.
Kirana bergidik negeri. Ia membayangkan ia akan tinggal dengan hantu mengingatkannya pada sahabatnya Nata yang selalu takut ketika berkunjung ke rumahnya.
"Kenapa aku jadi parno sendiri."
Kirana menyelinap, mengikuti sumber aroma kopi yang berakhir di depan ruangan yang terlihat seperti dapur bersih.
Tidak jah dari meja pantry nya ada sosok laki-laki yang tengah menyeduh kopi.
Kirana terisam beberapa saat. Ia menyipitkan matanya beberpaa kali sampai sosok itu menoleh ke belakang.
"Kau sudah bangun," gumamnya pelan.
Kirana masih terdiam di tempat yang sama. Wanita itu terposona dengan penampilan Mahesa yang jauh dari apa yang ia lihat selama ini.
Sosok Mahesa yang ia kenal adalah sosok yang elegan. Pakaiannya selalu rapi dengan kemeja dan setelan jas formal yang luar biasa dan berkelas.
Sedangkan saat ini, penampilannya jauh terlihat lebih santai dengan kaos polos dan celana trining. Rambutnya acak-acakan khas bangun tidur.
Hanya saja bedanya Mahesa jauh terlihat lebih sempurna dibandingkan dirinya yang sudah mandi dan berpakiaan rapi.
Bahkan dapur ini terlihat jauh lebih bersinar dengan keradaan Mahesa di dalamnya.
"Kau mau kopi?"
"Eh?"
Kirana tersendak kaget. Wanita itu langsung berdahal pelan. Kesadaramnya sudah pulih. Ia mendekat.
"Kopi. Kau mau kopi juga?"
Kirana mengeling. Ia tidak suka kopi.
"Anda tidak pulang tuan?"
Mahesa mengehentikan kegiatannya. Laki-laki itu menatap Kirana dengan tatapan datar namun dahinya berkerut kecil.
Pandangannya beralih, mengamati penampilan Kirana yang sudah kembali mengenakan pakaian rapi.
"Kau mau kemana?" tanyanya balik.
"Pulang. Saya harus bekerja. Err... anda tidak bekerja juga tuan?"
'Hari ini masih hari rabu bukan?'
Meski Kirana mabuk dengan kekayaan yang tiba-tiba ia dapatkan namun ia masih ingat dengan tanggung jawabnya di restoran.
"Kau tidak ingat perjanjian kita tadi malam?"
"Ya, tapi-"
"Ganti pakaianmu. Aku sudah mengatakan kita akan hidup bersama, kau tau arti hidup bersama. Pekerjaan luar di larang kau lakukan selama aku ada di sini. Kecuali aku sedang tidak mampir, kau boleh bekerja."
Kirana mendenggus pelan. "Tapi saya harus bekerja, atasan saya akan marah."
"Kau ambil cuti sampai dua hari ke depan." putusnya secara sepihak. "Jika kau dipecat bahkah lebih bagus lagi. Kau bisa lebih fokos melayaniku saja."
To be continued....